35 Tahun Taruna Nusantara: Menjawab Tantangan Politik Identitas baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Tanggal 14 Juli 2025 menandai 35 tahun perjalanan SMA Taruna Nusantara (TN), sebuah institusi pendidikan menengah yang sejak awal dirancang dari sebuah visi tentang kebutuhan kaderisasi kepemimpinan nasional di masa depan. SMA TN didirikan pada tahun 1990, atas gagasan Menhankam saat itu Jenderal TNI L.B. Moerdani dengan melibatkan Perguruan Taman Siswa dalam proses pembentukannya.

Setelah lebih dari tiga dekade sejak didirikan, SMA TN kini telah melahirkan ribuan alumni yang tersebar di berbagai sektor: TNI, POLRI, birokrat, politik, professional, akademisi hingga dunia usaha. ‘Alumni TN ada dimana-mana’, karena memang begitu luas spektrum penyebaran alumninya.

Munculnya sejumlah nama dengan latar belakang alumni SMA TN di ruang publik, dalam beberapa jabatan stuktur pemerintahan, BUMN maupun partai politik, menghadirkan berbagai perbincangan menarik dewasa ini. Salah satu pertanyaan yang menarik: Apakah ini bentuk politik identitas baru berbasis almamater atau justru merupakan sebuah manifestasi dari kontribusi almamater terhadap kepemimpinan nasional?

Tantangan Politik Identitas Berbasis Almamater

Dalam karyanya The Politics of Recognition (1992), Charles Taylor mengemukakan sebuah konsep mengenai politik pengakuan, dimana selalu terdapat kelompok – kelompok yang berupaya untuk mendapat pengakuan mengenai identitasnya dari masyarakat luas. Pada dasarnya, kelompok – kelompok pada masyarakat cenderung lebih mudah tertarik untuk mencari dan melakukan glorifikasi tentang kesamaan identitas yang dapat memberikan karakter yang ekslusif.

Hal tersebut membuat politik identitas menjadi sebuah fenomena yang begitu efektif dan jamak digunakan sebagai alat polarisasi yang memecah belah masyarakat pada era demokrasi modern. ‘Varian’ terbaru dari politik identitas yang belakangan berkembang dalam ekosistem politik kita adalah politik identitas berbasis almamater.

Sejarah mencatat bahwa fenomena politik identitas berbasis almamater juga terjadi di belahan dunia lainnya. Salah satunya adalah “The Old Etonians” atau alumni Eton College di kancah perpolitikan di Inggris. Alumni Eton College, sebuah sekolah menengah berasrama dengan pendidikan semi militer, diyakini membentuk jaringan elit pada pemerintahan Inggris dengan “Cabinet of Etonians”. Beberapa tokoh penting di Inggris tercatat sebagai Etonians seperti David Cameron (PM Inggris 2010-2016), Boris Johnson (PM Inggris 2019-2020), Pangeran William dan Pangeran Harry.

Fenomena yang sama terjadi juga di Amerika Serikat dengan Ivy League Network dan juga di Jepang dengan Todai Clique yakni jejaring elit Alumni University of Tokyo (Todai) yang diyakini memainkan peran strategis dalam birokrasi dan politik Jepang sejak abad ke-20. Tercatat sudah empat Perdana Menteri Jepang dan banyak tokoh politik penting yang berasal dari jaringan almamater tersebut.

Pada tahun 1980-an, di Indonesia juga sempat muncul sebuah istilah populer : ‘Mafia Berkeley’, merujuk pada sekelompok teknokrat ekonomi Indonesia lulusan University of California Berkeley yang memegang peranan penting dalam mengelola kebijakan perekonomian orde baru.

Di era politik populis seperti saat ini, identitas almamater menjadi komoditas yang menarik untuk dimobilisasi secara eksklusif dalam kontestasi jabatan publik. Almamater akan menjadi komoditas politik yang menarik untuk diutilisasi oleh pihak – pihak tertentu sebagai alat polarisasi yang memecah belah masayarakat.

Kualitas dan Kapabilitas : Manifestasi Kontribusi Terhadap Kepemimpinan Nasional

Pada pendiriannya, Taruna Nusantara bukanlah sekedar sekolah berasrama. TN adalah sebuah proyek kebangsaan yang disiapkan secara serius dengan melibatkan peserta didik yang diseleksi dari seluruh Indonesia. Pendidikan di TN adalah pendidikan formal dengan disiplin semi-militer yang menekankan kedisiplinan, nasionalisme dan kepemimpinan kepada peserta didik sejak awal, bahkan sejak usia 15 tahun.

Tidak bisa dipungkiri, proses pendidikan dan program khusus tersebutlah yang kemudian menginspirasi dan mendorong banyak alumni TN untuk kelak terlibat mengambil peran dalam berbagai macam jalur pengabdian di pemerintahan saat ini.

SMA TN meluluskan alumni Angkatan pertamanya pada tahun 1993. Alumni TN angkatan pertama sampai kelima saat ini rata-rata berusia 45-50 tahun, usia yang mulai matang untuk mengisi pos – pos kepemimpinan strategis. Maka tidak mengherankan apabila beberapa alumni TN mulai dan mungkin secara estafet akan terus berada dalam berbagai jabatan dan posisi yang mendapatkan sorotan pada ruang publik, termasuk dalam masa mendatang.

Kelak beberapa dari mereka mungkin akan dianggap berhasil menunjukkan kualitas kepemimpinan dan integritas. Walaupun akan selalu ada pertanyaan kritis yang terus mengiringi : apakah kemunculan mereka didorong oleh kapasitas dan kapabilitas individual yang mumpuni atau hanya didorong oleh kekuatan jaringan almamaternya?

Sorotan kepada almamater harus dapat dimaknai sebagai peluang dengan menghadirkan kualitas dan kapabilitas sebagai manifestasi dari kontribusi almamater terhadap kepemimpinan nasional.

Momentum 35 Tahun TN : Ujian Komitmen dan Kontribusi

35 tahun perjalanan Taruna Nusantara tentu bukan sekedar angka, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah ujian terhadap kontribusi dan komitmen atas nilai yang selama ini dijunjung tinggi : integritas dan nasionalisme.

Publik saat ini begitu cerdas dan kritis untuk lebih mendorong budaya politik yang mengutamakan substansi ketimbang simbol, kerja nyata ketimbang slogan. Politik hari ini tentu bukan soal siapa ‘orang kita’ yang duduk di posisi tertentu, tetapi lebih kepada nilai, etos dan integritas yang diterapkan.

Sejarah telah mencatat bahwa politik identitas berbasis agama dan etnis telah membuat demokrasi kita ringkih. Munculnya bentuk baru polarisasi berbasis almamater akan memperlebar jurang perbedaan, alih – alih menutupnya.

Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018) mengemukakan pendekatan solutif dalam mengelola politik identitas dalam masyarakat, yakni dengan membangun identitas nasional yang berbasis nilai.

Framing politik identitas berbasis almamater harus dapat dikelola oleh para alumni TN dengan menjaga nilai berupa integritas dan kualitas pengabdian. Loyalitas kepada almamater bukan berarti membentuk “klan”, melainkan menjahit integrasi nasional yang dikelola secara bijak, terbuka dan meristokratis dengan komitmen yang kolaboratif dan inklusif.

Selamat ulang tahun ke-35, Almamater Taruna Nusantara. Tantangan yang paling besar bukanlah seberapa tinggi posisi yang diraih, namun seberapa kuat idealisme dan seberapa signifikan dampak dari praktik kepemimpinan yang dihadirkan.

Perjalanan sejarah negeri ini yang kelak akan menguji komitmen dan kontribusi almamater Taruna Nusantara untuk bangsa dan negara tercinta.

Semoga Tuhan memberkati sumpah dan janji bakti kita untuk bangsa dan negara.

Dr. Ir. A. Renard Widarto, S.T., M.M. Pengusaha, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Ikastara (Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara) Periode 2023-2026

Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *