Ribuan Warga Afghanistan Diusir Iran karena Dituduh Jadi Mata-mata Israel

Posted on

Pada suatu hari yang menyengat pada bulan Juli, bus-bus tak henti berdatangan di Islam QalaDogharoon pintu perbatasan antara Iran dan Afghanistan. Satu demi satu, para penumpang diturunkan dari bus begitu saja. Mereka adalah warga Afghanistan yang baru saja diusir dari Iran. Hari itu, mereka dipaksa “pulang”.

Saat menginjakkan kaki di Islam QalaDogharoon, beberapa orang terlihat masih linglung. Angin kencang berembus meningkahi kedatangan mereka. Debu menutupi udara. Jarak pandang: nyaris nol.

Dari balik kabut, seorang remaja perempuan menuruni bus dengan langkah gontai. Matanya menyapu sekeliling, kebingungan. Tiba-tiba, dia menjerit, memukul kepala dan wajahnya sendiri.

“Ya, Tuhan,” teriaknya dengan logat khas Iran, “Neraka macam apa yang Kau kirimkan padaku?”

Remaja perempuan itu memang warga Afghanistan, tapi dia belum pernah melihat langsung negara itu seumur hidupnya. Dia lahir dan besar di Iran.

Nasibnya berubah setelah perang antara Israel dan Iran meletus. Remaja perempuan itu serta ribuan warga Afghanistan lainnya dicurigai sebagai mata-mata Israel. Alhasil, mereka diusir, dipaksa melintasi perbatasan, menuju tanah yang mereka tak pernah kenal.

Gambar ilustrasiMohammad Balabuluki

Dalam beberapa hari, jumlah warga Afghanistan yang diusir dari Iran berkisar 30.000-50.000 orang. Lembaga bantuan memperkirakan, jumlah itu dapat menembus empat juta orang hingga akhir tahun.

Matahari membakar terik, suhu berkisar 43-45 derajat celcius. Tenda-tenda yang didirikan UNHCR, badan pengungsi PBB, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lokal mendadak sumpek. Tadinya, tenda-tenda itu hanya dirancang untuk diisi 7.000 hingga 10.000 orang, tapi kini terpaksa dijejali puluhan ribu pengungsi.

Mohammad Balabuluki, seorang fotografer asal Afghanistan, menyaksikan kondisi tersebut secara langsung dan menceritakan ulang ragam kejadiannya. Salah satunya tentang seorang pria tua di sudut kamp yang memegang tongkat.

“Saya sedang berjalan,” kata pria tua itu, “Lalu mereka menangkap saya, membawa saya ke kamp. Sekarang saya di sini. Saya tidak tahu di mana istri dan anak-anak saya.”

Dia sempat meminjam ponsel sang fotografer, tapi kemudian terdiam.

“Saya lupa nomor istri saya,” ujarnya.

Beberapa orang yang tiba di Afghanistan memang masih memiliki kartu SIM Iran. Tapi mereka tak mengenal siapa pun di Afghanistan. Sebagian dari mereka bahkan tiba di negara itu tanpa uang dan barang bawaan. Beberapa lainnya mengatakan, majikan mereka di Iran belum melunasi upah.

Gambar ilustrasiMohammad BalabulukiRibuan orang Afghanistan dideportasi ke Islam QalaDogharoon, perbatasan Iran-Afghanistan.

Ada pula sepasang suami istri yang memegang selimut, melindungi empat anak mereka dari terik matahari. Mereka telah melakukan itu berjam-jam, dengan badan yang basah oleh keringat. Anak-anak mereka berpegangan satu sama lain, menatap dengan waspada dan takut. Hari itu adalah momen pertama mereka di Afghanistan, negara “tanah air” mereka.

Di antara mereka, seorang anak perempuan berusia delapan atau sembilan tahun, memegang bonekanya erat-erat. “Selama saya masih hidup,” katanya, “boneka saya akan bersama dengan saya. Dia orang Iran. Sekarang aku pengungsi dan dia juga harus jadi pengungsi.”

Beberapa pengungsi mengatakan, mereka dituduh sebagai mata-mata Israel. Tuduhan itu tak hanya datang dari aparat, tapi juga oleh warga sekitar.

“Kami habiskan hidup sebagai buruh, menggali sumur, membangun dan membersihkan rumah. Memata-matai? Kami tidak seperti itu,” ujar pengungsi lain.

Seorang pengungsi lain kemudian menimpali, “Diusir itu satu hal, tapi penghinaan, pukulan, dan penyiksaan adalah yang paling menghancurkan.”

Dengan minimnya bantuan resmi, warga lokal mencoba membantu para pengungsi tersebut. Mereka membawakan air, makanan, dan menawarkan tumpangan ke kota terdekat. Namun, jumlah pengungsi terlalu banyak. Terlebih, Afghanistan juga sudah tenggelam dalam kemiskinan, kekeringan, dan kelaparan.

Gambar ilustrasiMohammad BalabulukiSepasang suami istri melindungi anak-anak mereka dari terik matahari.

Mohammad Balabuluki, sang fotografer yang telah mendokumentasikan situasi di Islam Qala hanya tercekat saat ditanya apakah dia pernah menyaksikan peristiwa serupa di tempat lain.

“Dua tahun lalu, saya meliput gempa bumi di Herat. Hampir 2.000 orang tewas,” katanya.

“Namun, kali ini, melihat ribuan orang dibuang begitu saja, hilang arah di tempat asing yang tak mereka inginkan, itu jauh lebih menyakitkan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *