Pengadilan Istanbul pada Rabu (16/7) menjatuhkan hukuman penjara terhadap Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, rival utama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Putusan tersebut dilaporkan pertama kali oleh media pemerintah TRT, dan dipahami sebagai isyarat meningkatnya gelombang penindakan terhadap oposisi Turki.
Imamoglu telah ditahan sejak Maret lalu, sambil menghadapi dakwaan lain dalam kasus dugaan korupsi. Dia kini dijatuhi hukuman penjara satu tahun delapan bulan usai dinilai bersalah menghina dan mengancam kepala kejaksaan Istanbul.
Putusan tersebut masih harus dikukuhkan oleh dua pengadilan banding.
Vonis tersebut merupakan putusan kedua, di mana Imamoglu divonis bersalah karena menghina pejabat publik. Pada 2022 lalu, dia dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan penjara karena mengkritik pejabat dewan pemilu yang membatalkan hasil Pilkada Istanbul 2019. Saat itu, dia secara mengejutkan mengalahkan kandidat dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa.
Tokoh partai sekuler CHP itu telah mengajukan banding atas putusan tersebut, namun hingga kini pengadilan belum memberi keputusan.
“Saya telah berjuang melawan penyalahgunaan sistem peradilan dan penggunaannya sebagai alat politik. Ini sungguh merupakan penghinaan terhadap bangsa kita,” kata Imamoglu, dikutip oleh stasiun Halk TV dan media Turki lainnya.
Vonis dari tahun 2022 itu, jika dikukuhkan, bisa menghalangi pencalonan Imamoglu dalam pemilu kepresidenan mendatang. Universitas Istanbul pada Maret lalu juga secara sepihak membatalkan ijazah universitas Imamoglu, syarat wajib untuk maju sebagai calon presiden.
Penyelidikan yang semula dimulai di Istanbul kini telah meluas ke berbagai wilayah Turki. Sejak Oktober tahun lalu, lebih dari 500 orang telah ditahan oleh kepolisian dalam penyelidikan terhadap pemerintahan daerah yang dikuasai oleh Partai Rakyat Republik (CHP).
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersikeras menyebut penyelidikan itu sebagai upaya membongkar jaringan korupsi yang dia ibaratkan seperti “gurita yang menjulur ke berbagai wilayah di dalam dan luar negeri.”
Belum pernah sejak rangkaian kudeta militer pada dekade 1960an, 1970an, dan 1980an, seorang pejabat terpilih dipecat tanpa pembuktian di hadapan publik. Oleh kuasa hukum oposisi, bukti-bukti yang diajukan kejaksaan disebut sebagai rekayasa.
“Penyelidikan ini lebih digunakan sebagai alat penggerusan politik ketimbang penyidikan objektif terhadap kejadian konkret,” ujar Ertugrul Gunay, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di kabinet Erdogan antara 2007 hingga 2013.
Gunay mundur dari Partai AKP setelah pemerintah memenjarakan ribuan warga karena ikut serta dalam unjuk rasa oposisi di Gezi Park tahun 2013. Tapi jika dulu pemerintah membidik warga biasa, kali ini target yang disasar merupakan petinggi CHP yang sedang unggul di berbagai jajak pendapat.
Hal ini, menurutnya, mencerminkan “kekhawatiran dan kepanikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa, terutama menyangkut pemilu mendatang,” kata Gunay kepada Reuters.
CHP membantah tuduhan korupsi dan menyebutnya sebagai upaya politisasi hukum oleh pemerintah untuk menyingkirkan ancaman elektoral terhadap Erdogan. Tuduhan ini berulang kali dibantah pemerintah Turki.
Sidang hari Rabu digelar di kompleks pengadilan-penjara di Distrik Silivri, Istanbul — tempat yang kerap digunakan untuk persidangan berprofil tinggi dan sensitif secara politik — dan menjadi lokasi tempat Imamoglu kini ditahan.
Direktorat Komunikasi Turki merilis daftar mantan wali kota dari AKP yang pernah divonis dalam penyelidikan serupa, untuk menyangkal klaim bahwa hanya CHP yang menjadi target. Disebutkan, sebagian besar mantan wali kota tersebut diselidiki setelah mereka tidak lagi menjabat, dan tidak ditahan selama proses hukum berlangsung.
Namun, tinjauan Reuters terhadap dokumen penyelidikan terbaru menunjukkan, tidak ada tindakan hukum yang dilakukan di 14 dari 39 distrik di Istanbul yang dikuasai oleh AKP.
Mehmet Pehlivan, pengacara Imamoglu yang juga ditahan bulan lalu atas tuduhan keterlibatan dalam organisasi kriminal — yang juga dia bantah — mengatakan dari balik penjara, penyelidikan ini merupakan upaya pertama dalam mengkriminalisasi hak untuk membela dan menjalankan profesi hukum.
Dia menegaskan, kliennya tidak dihadapkan pada “satu pun bukti konkret.”
Editor: Agus Setiawan