Kisah Pilu Ibu di Afghanistan Kehilangan 3 Anaknya Akibat Malnutrisi [Giok4D Resmi]

Posted on

Hembusan angin menerbangkan debu saat Ghulam Mohiddin dan istrinya, Nazo, berjalan menuju makam tempat semua anak mereka dimakamkan.

Mereka menunjukkan kepada kami makam ketiga putra mereka yang meninggal dalam dua tahun terakhir: Rahmat yang berusia satu tahun, Koatan yang berusia tujuh bulan, dan yang terakhir Faisal Ahmad yang berusia tiga bulan.

Menurut Ghulam dan Nazo, ketiganya meninggal karena gizi buruk.

“Bisa kalian bayangkan betapa sakitnya saya kehilangan tiga anak? Satu menit bayi itu ada di pelukan, menit berikutnya tak ada,” kata Nazo.

“Saya berharap setiap hari ada malaikat yang bisa mengembalikan bayi-bayi saya ke rumah.”

Ghulam dan Nazo, pasangan suami istri asal Afghanistan, seringkali harus menahan lapar.

Mereka tinggal di pemukiman Sheidaee di luar kota Herat di bagian barat Afghanistan dan sehari-hari mencari nafkah dengan memecahkan kulit kenari.

Ironisnya, mereka tidak mendapatkan bantuan apa pun, baik dari pemerintah Taliban maupun dari lembaga swadaya masyarakat.

Ghulam mengungkapkan rasa sakitnya saat melihat anak-anaknya menangis kelaparan.

“Rasanya seperti seluruh tubuh saya terbakar. Seperti ada yang menggergaji saya dari kepala sampai kaki,” katanya.

Kematian anak-anak Ghulam dan Nazo tidak tercatat secara resmi. Namun, kasus ini menjadi bukti nyata dari gelombang kematian yang melanda anak-anak di Afghanistan.

Negara ini sedang menghadapi krisis kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menurut laporan PBB.

John Aylieff, Direktur Program Pangan Dunia (WFP) di Afghanistan, menjelaskan situasi ini.

“Awal tahun ini, kami mencatat kenaikan gizi buruk anak tertinggi sepanjang sejarah Afghanistan. Dan situasinya semakin memburuk,” ujarnya.

“Bantuan makanan selama ini berhasil mengendalikan kelaparan dan gizi buruk, terutama bagi lima juta penduduk paling miskin yang sangat bergantung pada dukungan internasional.”

“Sekarang, bantuan itu tidak ada lagi. Lonjakan gizi buruk ini menempatkan nyawa lebih dari tiga juta anak dalam bahaya.”

Gambar ilustrasi

Makam putra Ghulam dan Nazo (Aakriti Thapar/BBC)

Bantuan untuk Afghanistan menurun drastis karena Amerika Serikat, yang merupakan penyumbang terbesar, telah menghentikan hampir seluruh bantuannya tahun ini.

Selain itu, menurut WFP, delapan hingga sembilan donor lain juga berhenti memberikan dana, dan banyak yang mengurangi jumlah bantuan mereka secara signifikan.

Penurunan ini disebabkan oleh dua hal: para donor kini harus merespons berbagai krisis di seluruh dunia, dan kebijakan pemerintah Taliban juga mempengaruhi kemauan masyarakat internasional untuk membantu.

Apa upaya yang dilakukan pemerintah Taliban untuk membantu warganya?

Menurut Suhail Shaheen, Kepala Kantor Politik Taliban di Doha, pemerintah Taliban telah melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan untuk membantu rakyatnya.

Namun, ia menegaskan kepada BBC bahwa kelaparan dan gizi buruk yang melanda warga Afghanistan disebabkan oleh sanksi dan pemotongan bantuan dari lembaga internasional, bukan karena pemerintah.

Ia menjelaskan bahwa anggaran pemerintah hanya bergantung pada pendapatan internal, sehingga terhambat oleh sanksi tersebut.

Gambar ilustrasi

Dua pertiga makam di pemakaman Sheidaee adalah makam anak-anak (Aakriti Thapar/BBC)

Kebijakan Taliban yang tidak fleksibel soal hak-hak perempuan mempengaruhi upaya mereka untuk mendapat pengakuan internasional dan pencabutan sanksi.

Selain itu, keputusan mereka baru-baru ini untuk melarang perempuan Afghanistan bekerja di LSM dinilai PBB sebagai langkah yang “sangat membahayakan penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat penting.”

Darurat malnutrisi ini juga disebabkan faktor lain, seperti kekeringan parah yang merusak pendapatan pertanian di lebih dari separuh provinsi di Afghanistan.

Selain itu, kepulangan paksa lebih dari dua juta warga Afghanistan dari Iran dan Pakistan, yang mengurangi jumlah uang kiriman yang biasa mereka kirimkan ke dalam negeri, juga menjadi salah satu faktor.

Di pemakaman Sheidaee, kami menemukan bukti yang mencengangkan terkait kematian anak.

Tak ada catatan terkait siapa yang dimakamkan di sana, jadi kami menghitung sendiri satu per satu.

Sekitar dua per tiga dari ratusan makam yang ada di sana adalah makam anak-anak, tampak dari ukuran makam mereka yang kecil.

Penduduk desa berkata kepada kami bahwa pemakaman ini relatif baru, baru ada sekitar dua hingga tiga tahun lalu.

Mereka juga mengonfirmasi bahwa tidak ada pemakaman khusus untuk anak-anak.

Seiring kami berjalan melintasi permukiman di Sheidaee, warga ke luar dengan memboyong anak-anak mereka.

Rahila menggendong Hibatullah, yang di usianya yang menginjak dua tahun, tak bisa berdiri tegap.

Sementara Durkhanee membawa putranya, Mohammad Yusud, yang hampir berusia dua tahun tapi juga tak mampu berdiri.

Hampir setengah dari seluruh anak-anak Afghanistan yang berusia di bawah lima tahun mengalami stunting, kata PBB.

Gambar ilustrasi

Hanifa memberi makan Rafiullah dengan roti yang dicelupkan di teh, dan kadang kala, obat untuk membuatnya tertidur (Aakriti Thapar/BBC)

Di salah satu rumah yang terbuat dari lumpur dan tanah liat, Hanifa Sayedi menatap Rafiullah, putranya yang berusia satu tahun. Rafiullah bahkan hampir tidak bisa duduk tegak.

“Saya sudah membawanya ke klinik, dan mereka bilang dia kurang gizi. Tapi saya tidak punya uang untuk terus membawanya ke sana,” kata Hanifa.

Hanifa dan suaminya memiliki dua anak lain. Setiap hari, makanan mereka hanya potongan roti kering dan teh hijau khas Afghanistan. Bahkan, terkadang mereka tidak makan sama sekali.

Karena Rafiullah belum memiliki gigi, Hanifa merendam roti ke dalam teh sebelum menyuapinya.

“Tapi itu tidak cukup. Dia selalu kelaparan,” keluhnya.

“Untuk membuatnya tidur, saya berikan obat-obatan ini,” katanya, sambil menunjukkan dua lembar obat.

Gambar ilustrasi

Obat-obatan semacam ini bisa merusak jantung, ginjal dan hati anak-anak (Aakriti Thapar/BBC)

Hanifa dengan putus asa, membeli dua jenis obat dari apotek: Lorazepam, obat penenang, dan Propanolol, obat pengendali tekanan darah tinggi.

Ia berbohong kepada apoteker bahwa obat itu untuk dirinya sendiri, padahal niatnya adalah untuk membuat Rafiullah, putranya, tertidur. Satu strip obat tersebut berharga 10 Afghani (sekitar Rp2.486), sama dengan harga sepotong roti.

Hanifa diliputi rasa bersalah karena tak bisa memberi makan anak-anaknya.

“Saya merasa tercekik, dan rasanya saya harus membunuh anak-anak saya dan diri saya sendiri,” ujarnya.

Para dokter memperingatkan bahwa pemberian obat-obatan seperti itu pada anak kecil bisa sangat berbahaya.

Obat ini dapat merusak jantung, ginjal, dan hati anak, bahkan berpotensi mengancam nyawa jika diberikan dalam jangka waktu lama.

Jeritan minta tolong Hanifa mewakili jutaan keluhan serupa.

“Sangat menyayat hati berada di negara ini dan melihat semua ini terjadi,” kata John Aylieff dari WFP.

Ia menceritakan bahwa WFP sampai harus melatih ulang operator hotline mereka karena banyak perempuan menelepon untuk mengancam bunuh diri.

Mereka merasa putus asa dan tidak tahu lagi bagaimana cara memberi makan anak-anak mereka.

Penghentian bantuan makanan di komunitas seperti Sheidaee dan wilayah Afghanistan lainnya telah mendorong lebih banyak anak menderita gizi buruk akut. Bukti dari dampak ini terlihat jelas di rumah sakit-rumah sakit.

Di bangsal gizi buruk Rumah Sakit Regional Badakhshan, Afghanistan timur laut, 26 anak harus berbagi tempat di 12 ranjang.

Di antara mereka ada Sana, bayi berusia tiga bulan yang menderita gizi buruk, diare akut, dan bibir sumbing.

Sana adalah anak kedua dari ibunya, Zamira. Anak pertama Zamira, bayi perempuan lainnya, meninggal dunia saat baru berusia 20 hari.

Gambar ilustrasi

Zamira khawatir Sana akan meninggal dunia, seperti putri pertamanya (Aakriti Thapar/BBC)

Zamira menatap pilu putrinya, Sana. “Saya takut anak ini juga akan bernasib sama,” katanya.

“Saya lelah dengan hidup ini. Rasanya tidak layak untuk dijalani.”

Saat Zamira berbicara, tangan dan kaki Sana membiru. Jantung kecilnya tidak bisa memompa darah dengan baik. Seorang perawat dengan sigap memberinya oksigen.

Di ranjang lain, ada Musleha, bayi lima bulan yang menderita gizi buruk dan campak.

Karima, ibunya, mengatakan Musleha nyaris tak membuka matanya selama beberapa hari terakhir.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

“Dia kesakitan dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Kami miskin dan tidak punya akses ke makanan bergizi. Itu sebabnya dia dalam kondisi seperti ini,” jelas Karima.

Di ranjang sebelah Musleha, terbaring dua bayi kembar, Mutehara dan Maziyan. Kedua bayi berusia 18 bulan itu juga menderita gizi buruk dan campak, dengan berat badan hanya setengah dari seharusnya.

Terdengar tangisan Mutehara yang lemah, menunjukkan bahwa ia sedang kesakitan.

Gambar ilustrasi

Musleha yang baru berusia lima bulan mengalami gizi buruk dan campak pada saat yang sama (Aakriti Thapar/BBC)

Sepekan setelah kunjungan ke rumah sakit, kami menghubungi kembali keluarga bayi-bayi tersebut. Kami mendapat kabar duka bahwa Sana, Musleha, dan Mutehara telah meninggal dunia.

Ini bukan pertama kalinya kami mendokumentasikan kematian anak akibat gizi buruk di Afghanistan, tetapi situasi kali ini adalah yang terburuk yang pernah kami lihat.

Dalam kurun waktu sepekan, tiga bayi dari satu bangsal rumah sakit menjadi korban terbaru dari krisis kelaparan di Afghanistan.

Dan kondisinya diperkirakan akan semakin parah.

John Aylieff dari WFP mengatakan bahwa dana bantuan kemanusiaan mereka akan habis pada bulan November.

“Saat ini, kami sudah mulai menolak perempuan dan anak-anak penderita gizi buruk dari pusat-pusat kesehatan karena kami benar-benar tidak sanggup lagi memberi mereka makan,” jelasnya.

“Pada November, kami akan berhenti total kecuali ada suntikan dana tambahan.”

Dengan musim dingin yang akan datang, tingkat urgensi dari bencana yang sedang terjadi di Afghanistan tidak bisa diremehkan.

Laporan tambahan oleh Mahfouz Zubaide, Aakriti Thapar, Sanjay Ganguly

‘Tiga juta anak dalam bahaya’

‘Kelaparan setiap waktu’

‘Kami benar-benar tidak sanggup lagi memberi mereka makan’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *