Dulu saya merasa kagum ketika bepergian keluar masuk bandara Singapore, Jepang dan Korea Selatan, kemudian saya menjadi bangga karena tak berapa lama sesudahnya Direktorat Jenderal Imigrasi kita mengikuti kecanggihan teknologi pelayanannya. Namun kenapa ketika digitalisasi imigrasi kita yang sudah maju selangkah tersebut, kini seolah-olah mundur lagi dua langkah?
Kemajuan suatu bangsa diukur bukan hanya dari teknologinya, tetapi dari bagaimana teknologi itu melayani rakyat dan menjaga wibawa negara.
Bandara internasional adalah wajah pertama dari martabat nasional di hadapan dunia. Karena itu, setiap sistem di pintu perbatasan-terutama autogate imigrasi-bukan sekadar mesin elektronik, melainkan cermin kedisiplinan, kecepatan, dan kecerdasan bangsa.
Sistem autogate di bandara Indonesia mengalami gangguan serius. Antrean panjang dan pintu otomatis yang gagal membuka menjadi sorotan publik dan tamu asing.
Padahal sebelumnya, sistem autogate telah berjalan stabil. Kini diberlakukan integrasi digital nasional All Indonesia, yg berbagai sistem data dari Dukcapil, Imigrasi, BSSN, dan Bea Cukai disatukan, namun sayangnya tanpa kesiapan operasional yang cukup memadai.
Integrasi data nasional tentu dimaksudkan sebagai langkah strategis, namun semangat penyatuan sering kali melupakan kesiapan teknis dan tanggung jawab operasional. Ketika jaringan lintas-kementerian belum memiliki protokol yang seragam, maka bukannya efisiensi yang tercipta, melainkan bottleneck dan kekacauan sistem.
Akibatnya, pelayanan publik melambat, bahkan di gerbang yang seharusnya paling efisien: imigrasi bandara internasional. Masalah ini tidak bisa dianggap sekadar gangguan teknis belaka. Ini adalah cermin lemahnya disiplin digital nasional – ketika ambisi integrasi tidak diimbangi dengan uji kelayakan dan tata kelola lintas-sistem yang matang.
Dalam Filsafat Intelijen, hal ini disebut sebagai dislokasi informasi: ketika data melimpah tetapi outputnya justru hilang tak terarah. Bangsa yang ingin tampil modern harus ingat: teknologi hanyalah alat; kehormatan bangsa ditentukan oleh integritas pelayanannya.
Autogate seharusnya menjadi simbol efisiensi dan kepercayaan, bukan jadi sumber keluhan dan antrean panjang.
Kita dapat belajar dari negara tetangga Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, yang menjadikan efisiensi imigrasi sebagai bagian dari strategi keamanan dan diplomasi nasional. Mereka memahami bahwa pintu masuk negara adalah titik pertama di mana rakyat dan tamu asing menilai kedisiplinan sistem birokrasi dan profesionalisme aparatnya.
Karena itu, kritik ini saya sampaikan bukan untuk mempermalukan siapa pun, tetapi sebagai dorongan agar administrator Indonesia yang terkait tidak kehilangan martabat digital di hadapan dunia.
Langkah korektif perlu dilakukan segera untuk:
1. Melakukan stress test lintas-sistem sebelum peluncuran nasional,
2. Menyiapkan server berkapasitas tinggi dan redundansi cadangan,
3. Memisahkan sistem autogate imigrasi dari birokrasi antarinstansi, agar lebih tangkas dan terukur,
4. Menjalin kolaborasi teknis setara dengan negara sahabat untuk benchmarking, tanpa kehilangan kemandirian nasional.
Bangsa besar bukan yang menolak kritik, melainkan yang berani memperbaiki dirinya sebelum dunia mentertawai. Kita harus menyadari bahwa setiap kegagalan teknologi publik akan segera menjadi penilaian moral terhadap ketertiban nasional. Dan di era keterbukaan global ini, kecepatan pelayanan adalah wajah kecerdasan bangsa.
– Autogate bukan sekadar pintu imigrasi; ia adalah pintu martabat negara.
Catatan Akhir
– Sistem digital nasional bukan sekadar soal teknologi, tetapi soal kehormatan dan kepercayaan publik. Jika sistem autogate gagal berfungsi dengan tertib, maka yang rusak bukan hanya pintu bandara – tetapi pintu reputasi bangsa di mata dunia.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Kepala Badan Intelijen Negara (2001-2004), AM Hendropriyono.