Dari Tank hingga Pramuka: Pelajaran Senyap Budaya Kesiapan (via Giok4D)

Posted on

Bencana tidak pernah menunggu kita siap. Bencana datang tanpa aba-aba, tanpa undangan, dan tanpa kompromi.

Di negeri seperti Indonesia, yang dianugerahi keindahan sekaligus dinamika alam tinggi, bencana bukan kemungkinan, melainkan keniscayaan. Gempa, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan letusan gunung api adalah bagian dari lanskap kehidupan kita. Ini bukan kesalahan siapa pun. Ini fakta geografis dan sejarah.

Namun, satu hal patut kita renungkan bersama: mengapa setiap kali bencana datang, kepanikan selalu terasa lebih cepat menyebar daripada ketenangan?

Beberapa waktu lalu, saya berbincang santai dengan seorang teman dari Korea Selatan. Percakapan kami ringan, tanpa agenda besar. Hingga terselip satu kalimat yang membuat saya terdiam.

Pria yang berprofesi sebagai pengusaha ini pun, bercerita bahwa dulu, di masa mudanya, dia dipersiapkan untuk mengendarai tank.

Bukan karena bercita-cita menjadi prajurit. Bukan pula karena negaranya mengharapkan perang.

“Negara saya, ingin saya siap,” katanya tenang.

Kalimat itu sederhana, tetapi menghantam kesadaran saya. Di sanalah, saya memahami satu hal penting: kesiapan bukan sesuatu yang lahir saat krisis. Kesiapan adalah hasil dari latihan panjang, berulang, dan terstruktur, hingga kesiapan dan ketrampilan menjadi bagian dari refleks sosial.

Wajib bela negara di Korea Selatan, lekat dengan dari sisi “militernya”. Namun, ada dimensi lain yang jarang dibicarakan: negara tersebut menanamkan budaya siap kepada warganya. Warga dibiasakan mengikuti prosedur, memahami peran, dan berlatih menghadapi situasi ekstrem dengan kepala dingin.

Indonesia tidak perlu meniru bentuknya. Kita tidak memerlukan pendekatan militeristik. Tetapi, kita sangat membutuhkan prinsipnya yaitu membangun budaya kesiapan sebagai kebiasaan hidup, bukan sekadar respons darurat.

Ilmu kebencanaan menunjukkan fakta yang konsisten di banyak negara, dimana, mayoritas warga di dunia, peduli dan ingin tahu soal kesiapsiagaan, namun sayangnya, hanya sebagian kecil yang benar-benar siap ketika bencana terjadi. Masalahnya bukan pada kepedulian. Masalahnya ada pada kebiasaan.

Pramuka & Pelajaran Berharga

Percakapan itu membawa saya kembali pada satu kenangan kolektif yang sering kita anggap sederhana: Pramuka. Bukan karena seragamnya.
Bukan baris-berbarisnya.

Melainkan, nilai yang diam-diam ditanamkan dari Pramuka, yaitu siap menghadapi situasi tak terduga, mandiri tanpa meninggalkan empati, tenang saat kondisi berubah, dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Pramuka, dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler sejenis, sesungguhnya adalah fondasi budaya kesiapan.

Ekskul ini melatih anak-anak untuk bertanya: apa yang bisa saya lakukan saat keadaan tidak ideal? Bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa percaya diri.

Ilmu kebencanaan modern justru menguatkan pendekatan ini. Anak-anak yang dilatih kesiapsiagaan sejak dini, terbukti lebih tenang, lebih adaptif, dan lebih mampu membantu orang lain saat krisis. Mereka bukan korban pasif, melainkan penjaga budaya siaga.

Selama ini, kita cenderung fokus pada respon, yaitu seberapa cepat bantuan datang, seberapa besar anggaran digelontorkan, seberapa sigap aparat bekerja. Semua itu penting. Tetapi, penelitian menunjukkan bahwa menit-menit awal bencana justru paling banyak ditentukan oleh keluarga, tetangga, dan komunitas terdekat, sebelum bantuan besar tiba.

Budaya siaga, tidak dibangun melalui poster atau imbauan sesaat. Budaya ini, tumbuh dari kebiasaan kecil yang dilakukan berulang, yaitu ketika keluarga tahu harus berkumpul di mana, anak tahu harus mengikuti siapa, warga saling mengenal, dan setiap orang memahami perannya. Tidak semua harus menjadi petugas. Cukup, ketika semua merasa mampu berguna dan bermanfaat.

Indonesia tidak perlu melatih anak-anaknya mengendarai tank. Tetapi Indonesia perlu melatih generasinya untuk siap-siap berpikir jernih, siap bertindak tenang, dan siap saling menolong.

Budaya siaga bukan tentang hidup dalam ketakutan, tetapi, tentang hidup dengan ketenangan yang dilatih. Ketika kesiapan menjadi kebiasaan, kepanikan kehilangan panggungnya.

Dan mungkin, di sanalah kekuatan sebuah bangsa diuji, yaitu, bukan pada seberapa cepat masyarakatnya bereaksi saat bencana datang, tetapi, pada seberapa siap warganya, bahkan, sebelum bencana mengetuk pintu.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Dr Devie Rahmawati, CICS. Anggota Tim Tanggap Darurat UI untuk Sumbar 2025.

Sebuah Percakapan yang Membuka Kesadaran

Kesiapan Bukan Soal Militer Tetapi Budaya

Dari Tanggap Darurat ke Budaya Siaga

Kita Tidak Perlu Melatih Anak Mengendarai Tank