Partai pendukung militer di Myanmar disebut telah “memenangkan mayoritas suara” dalam putaran pertama pemilu yang diselenggarakan oleh junta. Hanya saja, kelompok pemantau demokrasi memperingatkan bahwa pemilu ini justru akan meningkatkan kekuasaan militer.
Kantor berita AFP mengatakan bahwa informasi perolehan suara tersebut didapatkan pada Senin (29/12) melalui seorang sumber.
Meskipun pihak junta mengklaim pemilu ini sebagai sebuah kemajuan yang penting, sekitar setengah daerah di Myanmar dilaporkan tidak ikut serta akibat perang saudara yang berkecamuk sejak kudeta.
Tempat Pemungutan Suara (TPS) di pusat-pusat perkotaan utama Myanmar dibuka pada Minggu (28/12). Hanya saja, tingkat partisipasi jauh lebih rendah dibandingkan pemilu bersejarah pada 2015 dan 2020.
Suasana pemilu tahun 2025 ini cukup berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya di Myanmar. Pada Minggu (28/12) jalanan dilaporkan sepi karena mayoritas warga lebih memilih untuk beraktivitas ketimbang datang ke TPS. Padahal, ketika pemilu-pemilu sebelumnya, antrean pemilih mengular sejak pagi hari.
Seorang perempuan muda yang keluar dari bilik suara di Yangon menolak berbicara dengan Tim DW, sambil mengatakan, “Maaf, saya tidak ingin berkomentar.”
Perasaan hati-hati di kalangan anak muda sangat terasa sepanjang hari pertama pemilu.
Pemungutan suara direncanakan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, dilaksanakan pada 28 Desember, telah selesai. Kemudian, tahap kedua dan ketiga dijadwalkan pada 11 Januari dan 25 Januari 2026.
Dalam beberapa minggu menjelang pemilihan, tim DW mencoba untuk berbicara dengan sejumlah anak muda yang mengkhawatirkan dampak negatif jika tidak memilih.
“Kami khawatir tentang dampak dari tidak memilih. Apakah ini akan mencegah kami meninggalkan negara atau apakah akan ada pemeriksaan bukti pemilihan di bandara?” kata seorang lelaki berusia 30 tahun dari Yangon yang meminta DW untuk tidak menuliskan namanya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
TPS di kota-kota besar mengalami peningkatan jumlah pemilih lanjut usia. Perubahan ini berkaitan dengan banyaknya anak muda yang pergi dari Myanmar. Tren ini semakin meningkat karena penindasan pascakudeta dan adanya pemberlakuan wajib militer oleh junta militer sejak tahun 2024.
Seorang perempuan berusia 37 tahun, yang juga memilih tidak menyebutkan namanya karena alasan keamanan, berada di TPS untuk memberikan suaranya bersama anaknya. Kepada DW, dia mengatakan tentang kelelahan yang dia rasakan terhadap situasi saat ini.
“Saya memilih, hanya untuk berharap ada perubahan setelah pemilu,” ujarnya, tetapi menolak untuk berkomentar lebih lanjut.
Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan sejumlah negara Barat lainnya telah menolak pemilihan tersebut dan menganggapnya sebagai pemilu “palsu”. Alasannya, mereka berpendapat bahwa pemilu hanya menguntungkan para jenderal militer dan memperparah nasib Myanmar.
“Sangat jelas bahwa dalam keadaan konflik saat ini dan mengingat catatan hak asasi manusia junta militer… bahwa kondisi untuk pemilihan bebas dan adil tidak ada,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam KTT ASEAN di Malaysia pada akhir Oktober 2025.
Setelah kudeta 2021, simbol Myanmar dan pemimpin de facto pemerintah demokrasi,Aung San Suu Kyi, ditahan dan dipenjara bersama para pemimpin sipil terpilih lainnya.
Partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi juga telah dilarang.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Association for Political Prisoners/AAPB), sejak 2021, lebih dari 7.630 warga sipil tewas akibat tindakan pasukan keamanan. Selain itu, AAPB melaporkan bahwa sekitar 30.000 orang saat ini ditahan dengan tuduhan kasus politik.
“Agar pemilu dapat dipercaya, para pemimpin oposisi dan anggota parlemen harus dibebaskan dan diizinkan untuk berpartisipasi,” kata Ejaz Min Khant, seorang pakar hak asasi manusia di Fortify Rights, sebuah kelompok hak asasi regional, kepada DW.
“Sebuah pemilu yang dijalankan secara eksklusif oleh militer tanpa pihak oposisi utama adalah pemilu palsu,” tambahnya, sambil argumen bahwa proses bertahap tersebut mencerminkan kesulitan junta dalam mempertahankan stabilitas di seluruh negeri.
Selain tidak ada oposisi, pemungutan suara juga tidak dilakukan di wilayah yang berada di luar kendali militer.
Komisi Pemilihan Umum (Union Election Commission/UEC) yang ditunjuk junta Myanmar menambah daftar panjang wilayah yang dikecualikan untuk ikut pemilu. Sehari sebelum tahap pertama, mereka menambahkan sembilan daerah sehingga total wilayah tanpa hak pilih mencapai 65 daerah.
Setelah memberikan suaranya di TPS di Naypyitaw, pemimpin junta Min Aung Hlaing meyakinkan para wartawan bahwa pemilu akan berlangsung bebas dan adil.
Namun, seorang pengacara di Yangon yang enggan disebutkan namanya mengatakan kepada DW kalau masalahnya “bukan sekadar pemilu yang adil atau siapa penyelenggaranya, entah itu militer atau pihak lain.”
“Yang terpenting adalah orang-orang ingin melihat perubahan sekarang, bukan hanya membiarkan keadaan ini terus berlarut-larut dalam keadaan kolaps,” kata pengacara tersebut.
Meskipun beberapa pengamat berharap junta akan melonggarkan beberapa pembatasan untuk pemilihan, banyak yang percaya hanya akan ada sedikit pelonggaran, tujuannya cuma untuk menguntungkan rezim yang berharap mendapatkan keterlibatan dan legitimasi internasional yang lebih besar.
Di luar tempat pemungutan suara pada Minggu (28/12), Min Aung Hlaing tampaknya berusaha meredam ambisi presidennya.
“Saya adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan seorang pegawai negeri. Saya tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa saya ingin melakukan hal ini atau itu. Saya bukan pemimpin partai politik,” ungkapnya dan menambahkan bahwa potensi kepresidenannya hanya dapat dibahas setelah parlemen menetapkan proses pemilihan presiden.
Media dan pendukung pro-junta mempromosikan pemilu ini sebagai sebuah keberhasilan, menampilkan dokumentasi sejumlah warga yang memberikan suara. Namun, media independen seperti Mizzima News dan Myanmar Now melaporkan bahwa pegawai pemerintah, personel militer, dan keluarga mereka ditekan untuk memilih, serta diminta membuktikan partisipasi.
Pekan lalu, kepala junta memperingatkan bahwa tidak memilih berarti menolak “kemajuan menuju demokrasi.”
Di tengah upaya pihak junta untuk terus menjalankan pemilu, konflik di lapangan terus memburuk. Militer berusaha merebut kembali wilayah yang hilang dan memaksa kelompok oposisi untuk menyerah.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Levie Wardana
Editor: Muhammad Hanafi







