Sambil menahan tangis, bos Tedros Adhanom Ghebreyesus meminta untuk memiliki “belas kasihan” dalam perang .
Dalam pernyataan emosionalnya di sidang tahunan WHO pada Kamis (22/5) waktu setempat, Tedros mengatakan perang itu merugikan Israel dan tidak akan membawa solusi yang langgeng.
“Saya dapat merasakan bagaimana perasaan orang-orang di Gaza saat ini. Saya dapat menciumnya. Saya dapat memvisualisasikannya. Saya bahkan dapat mendengar suaranya. Dan ini karena PTSD (gangguan stres pascatrauma),” kata Dirjen WHO tersebut, yang sering mengingat masa kecilnya di Ethiopia saat perang.
“Anda dapat membayangkan bagaimana orang-orang menderita. Benar-benar salah untuk menjadikan makanan sebagai senjata. Sangat salah untuk menjadikan pasokan medis sebagai senjata,” imbuh kepala badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut, dilansir kantor berita AFP, Jumat (23/5/2025).
PBB pada hari Kamis (22/5) mulai mendistribusikan sekitar 90 truk bantuan yang merupakan pengiriman pertama ke Gaza, sejak Israel memberlakukan blokade total pada tanggal 2 Maret.
Tedros mengatakan hanya solusi politik yang dapat membawa perdamaian yang berarti.
“Seruan untuk perdamaian sebenarnya adalah kepentingan terbaik Israel sendiri. Saya merasa bahwa perang itu merugikan sendiri dan tidak akan menghasilkan solusi yang langgeng,” ujarnya.
“Saya bertanya apakah Anda bisa berbelas kasihan. Itu baik untuk Anda dan baik untuk Palestina. Itu baik untuk kemanusiaan,” ujarnya.
– Penghancuran ‘sistematis’ –
Direktur tanggap darurat WHO Michael Ryan mengatakan bahwa 2,1 juta orang di Gaza kini “dalam bahaya ancaman kematian”.
“Kita perlu mengakhiri kelaparan, kita perlu membebaskan semua sandera dan kita perlu memasok kembali dan memulihkan sistem kesehatan,” katanya.
“Sebagai mantan sandera, saya dapat mengatakan bahwa semua sandera harus dibebaskan. Keluarga mereka menderita. Keluarga mereka kesakitan,” tambahnya.
WHO mengatakan warga Gaza menderita kekurangan makanan, air, pasokan medis, bahan bakar, dan tempat tinggal.
Empat rumah sakit besar harus menangguhkan layanan medis dalam seminggu terakhir, karena posisinya yang berdekatan dengan daerah permusuhan atau zona evakuasi, dan serangan-serangan.
Hanya 19 dari 36 rumah sakit di Jalur Gaza yang masih beroperasi, dengan para staf yang bekerja dalam “kondisi yang mustahil”, kata WHO dalam sebuah pernyataan.
“Setidaknya 94 persen dari semua rumah sakit di Jalur Gaza rusak atau hancur,” katanya, sementara Gaza utara “hampir tidak memiliki semua perawatan kesehatan”.
Dikatakan bahwa di seluruh wilayah Palestina, hanya 2.000 tempat tidur rumah sakit yang masih tersedia — angka yang “sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan saat ini”.
“Kehancuran itu sistematis. Rumah sakit direhabilitasi dan dipasok kembali, hanya untuk menghadapi permusuhan atau diserang lagi. Siklus yang merusak ini harus diakhiri,” tegas WHO dalam pernyataannya.