Afrika Perjuangkan Kursi Tetap Dewan Keamanan di Sidang Umum PBB

Posted on

Para pemimpin Afrika yang menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) di New York tahun ini datang dengan agenda jelas: memperjuangkan keterwakilan yang lebih besar di organisasi dunia, mendorong perdamaian dan keamanan, serta menggalang sumber daya untuk pembangunan berkelanjutan.

Tahun ini, UNGA mendapat moto, “Lebih Baik Bersama: 80 Tahun dan Lebih untuk Perdamaian, Pembangunan, dan Hak Asasi Manusia”. Pemimpin Afrika diperkirakan akan menuntut keterwakilan yang mencerminkan meningkatnya relevansi geopolitik Benua Hitam dan mengoreksi marjinalisasi historis yang telah lama terjadi.

Namun, aspirasi tersebut dibayangi tantangan mendesak dan tuntutan reformasi yang belum terwujud.

Sidang berlangsung di tengah krisis global dari Gaza hingga Ukraina, dan diwarnai pertanyaan besar soal apakah Amerika Serikat, dengan kebijakan luar negeri Donald Trump, masih siap memegang peran kepemimpinan di dunia.

Namun konflik di wilayah Sahel dan bagian timur Republik Demokratik Kongo (DRC), misalnya, di mana pemberontak M23 yang didukung Rwanda menguasai wilayah timur, termasuk kota Goma dan Bukavu, kemungkinan tidak akan mendapat perhatian besar di Sidang Umum PBB.

Tuntutan reformasi terhadap PBB bukan hal baru. Namun tahun ini, pemimpin Afrika kembali menuntut kursi permanen di Dewan Keamanan PBB. Mereka menyebut struktur yang ada saat ini sudah usang dan tidak adil.

Meski negara Afrika menyumbang besar dalam misi perdamaian PBB dan pembangunan global, representasi di pengambilan keputusan penting tetap minim.

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, dalam buletin mingguannya (23/9), memperingatkan bahwa struktur Dewan Keamanan yang ketinggalan zaman dan penggunaan hak veto secara sepihak oleh anggota tetap telah merusak legitimasi PBB dan menghambat upaya perdamaian global.

“Kelima anggota tetap ini pada dasarnya membuat keputusan atas nama lebih dari 85% populasi dunia yang tinggal di negara-negara Selatan Global,” ujar Ramaphosa.

“Mereka terus menggunakan hak veto untuk melumpuhkan aksi kolektif dan menghalangi respons tepat waktu terhadap krisis, bahkan ketika pelanggaran hukum internasional terjadi secara terang-terangan,” tambahnya.

Ketimpangan ini, kata Ramaphosa, merusak netralitas dan kredibilitas PBB.

Namun jalan Afrika menuju kursi tetap di Dewan Keamanan PBB masih panjang dan rumit.

“Kita tahu bahwa untuk menambah kursi permanen di Dewan Keamanan, perlu ada amandemen Piagam PBB, yang merupakan dokumen dasar pendirian lembaga ini,” kata analis hubungan internasional Michael Kwadwo Nketiah kepada DW. “Amandemen itu memerlukan dukungan dua pertiga dari negara anggota.”

“Afrika harus bisa meyakinkan semua anggota lain agar menerima ide bahwa Afrika layak mendapatkan kursi tetap di Dewan Keamanan,” ujar Nketiah. “Itu saja sudah menjadi tantangan besar.”

Bahkan jika Uni Afrika berhasil mendapatkan dukungan dua pertiga dari 193 negara anggota PBB, resolusi tersebut tetap harus diratifikasi oleh lima anggota tetap: Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia.

“Kelima negara ini belum pernah, dan tampaknya tidak akan, bersedia berbagi kekuasaan dengan anggota lain,” tambah Nketiah.

Cyril Ramaphosa menjadi suara paling vokal dari Afrika dalam mengecam kekerasan yang terus berlangsung di Gaza. Dia berulang kali menegaskan bahwa Afrika Selatan tidak akan tinggal diam terhadap perang tersebut.

Dalam unggahan di platform X pada Senin (22/9), Ramaphosa menulis bahwa Afrika Selatan berkomitmen pada “pembentukan Negara Palestina yang berdampingan secara damai dengan Negara Israel, berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.”

Pemimpin Afrika lain juga menyampaikan solidaritas terhadap Palestina, dengan membandingkan perjuangan Palestina dan sejarah kolonialisme serta penindasan yang pernah dialami Afrika.

“Banyak negara Afrika sejak lama sudah mengakui Palestina,” kata Fidel Amakye Owusu, analis keamanan yang fokus pada urusan Afrika dan geopolitik, kepada DW.

“Apa yang dianggap baru oleh Barat dalam pengakuan Palestina ini, bagi Afrika adalah hal lama,” ujar Owusu. “Kami selalu mengakui Palestina, dan solusi dua negara sudah lama menjadi agenda.”

Pekan ini, sejumlah negara seperti Prancis, Inggris, Kanada, Portugal, dan Australia menyatakan pengakuan terhadap Negara Palestina.

Menurut Owusu, Ramaphosa kini mendorong agar Palestina dinaikkan statusnya dari pengamat menjadi anggota penuh PBB – yang menjamin hak suara dan, bila waktunya tiba, membuka jalan untuk duduk di Dewan Keamanan.

“Tapi itu akan sangat sulit, karena artinya kelima anggota tetap Dewan Keamanan harus menyetujui,” ujarnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid

Tuntutan reformasi menguat

Jalan terjal kursi tetap

Desakan pengakuan negara Palestina