TikTok sebagai platform video pendek telah menjadi salah satu media sosial paling dominan di kalangan remaja global hari ini, termasuk Indonesia. Kendati platform ini memiliki peran-peran dalam menghadirkan konten hiburan hingga mendukung ekonomi digital, namun konten di dalamnya tak lepas dari brainrot.
Brainrot merupakan kata yang menjadi pilihan Oxford pada 2024 lalu. Kata ini didefinisikan sebagai gambaran tentang dampak dari konsumsi konten daring berkualitas rendah secara berlebihan, khususnya di media sosial. Pada awal tahun 2025 ini, salah satu tren di Tiktok yang dikaitkan dengan kata ini adalah Italian Brainrot. Italian Brainrot merupakan sebuah konten absurd hasil kecerdasan buatan dengan tampilan karakter-karakter surreal serta narasi suara berbahasa Italia tanpa makna.
Italian Brainrot ini awalnya muncul sebagai humor ringan dengan menampilkan suara robot hasil kecerdasan buatan berbunyi “tralalero tralala”. Suara ini lalu dikembangkan lagi oleh banyak pihak dan dipadukan dengan gambar-gambar surreal lainnya seperti ikan hiu dengan kaki yang menggunakan sepatu. Di Indonesia, bentuk Italian Brainrot ini mewujud dalam karakter “Tung Tung Tung Sahur”, yang ditangkap netizen sebagai mahkluk anomali yang akan hadir ketika seorang anak tidak bangun untuk sahur.
Meski terlihat sederhana dan menghibur, siapa sangka di balik tren ini tersembunyi sebuah pola pembentukan perilaku konsumen yang patut mendapat kritik sosial. Kritik sosial atas besarnya pengaruh algoritma media sosial terhadap kebiasaan konsumsi konten dan preferensi budaya generasi muda.
Analisis terhadap tren ini menjadi penting karena faktanya algoritma media sosial seperti yang digunakan oleh TikTok tidak hanya bersifat teknis. Pada algoritma media sosial juga terdapat kekuatan yang dapat menggeser kecenderungan psikologi dan bahkan ideologis.
Menurut Bucher (2018), algoritma membentuk realitas sosial dengan menyeleksi dan mengurutkan informasi berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang tidak transparan. Dengan kata lain, konten yang dianggap atau memiliki potensi tinggi untuk menarik perhatian serta memicu interaksi akan lebih sering muncul, terlepas dari nilai edukatif atau keberagamannya. For You Page (FYP), demikian istilah akrab untuk menyebut algoritma di Tiktok yang telah memberi sentuhan personalisasi prefrensi atas pengalaman bermedia sosial penggunanya.
Kondisi di mana netizen kita disuguhi konten yang telah didesain menurut kepentingan platform Tiktok ini, tentu dapat mengarah pada terciptanya ‘filter bubble’ yang mempersempit pandangan pengguna (Pariser, 2011). Kondisi yang bila tidak mendapatkan perhatian secara cermat, justru akan menimbulkan brainrot yang secara sosial tidak sehat.
Secara kritis, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana peran algoritma jelas bukan hanya merefleksikan preferensi pengguna, melainkan secara aktif membentuk dan membatasi preferensi para pengguna Tiktok dan media sosial lain pada umumnya. Imbasnya, generasi muda berpotensi tumbuh dalam ekosistem digital yang homogen dan dikurasi untuk kepentingan ekonomi platform. Secara jangka panjang, kondisi ini tentu saja dapat mengerdilkan kemampuan berpikir kritis dan mempersempit horizon budaya mereka.
Maka menjadi penting untuk memahami bahwa ini bukan sekadar tren biasa. Dalam konteks ekonomi digital saat ini, tren semacam ini berfungsi sebagai instrumen ideologis yang memperkuat dominasi kapitalisme digital atas ruang budaya kita.
TikTok, sebagai platform berbasis algoritma, telah berperan aktif dalam menentukan narasi budaya yang dianggap layak mendapat perhatian. Oleh karenanya, rasanya tidak arif bila kita terlebih pemangku kepentingan malah abai dan tidak perhatian terhadap dampak lebih luas dari platform ini.
Tren Italian Brainrot ini dan tren sejenis tidak terjadi dalam ruang kosong. Tren ini dikurasi, dibentuk, dan disebarluaskan oleh sistem algoritmik yang digerakkan oleh kepentingan komersial. Ini berarti bahwa tren semacam ini sebenarnya adalah bagian dari strategi sistematis yang cenderung mengalihkan perhatian publik dari konten yang bersifat reflektif dan kritis. Digantikan dengan sajian konten yang cepat viral, mudah diakses, dan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi platform.
Van Dijck, Poell, dan de Waal (2018), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa platform digital sendiri telah mengubah struktur komunikasi publik dengan memadukan logika ekonomi pasar dengan algoritma dan infrastruktur teknologis yang memungkinkan kendali yang halus namun kuat terhadap pengalaman pengguna. Ini sejalan dengan temuan-temuan peneliti lain yang memandang platform digital seperti TikTok sangat bergantung pada eksploitasi data para pengguna dalam bisnisnya. Sehingga tidak heran jika TikTok terus mengoptimalkan algoritmanya untuk menjaga pengguna tetap aktif, karena semakin lama pengguna bertahan, semakin besar pula keuntungan yang diperoleh melalui monetisasi data dan iklan.
Tren Italian Brainrot hanyalah salah satu contoh bagaimana algoritma mampu mengarahkan perhatian pengguna pada jenis konten tertentu secara terus-menerus, menciptakan siklus konsumsi yang repetitif. Secara kritis, ini mencerminkan realitas bahwa platform seperti TikTok tidaklah netral. Mereka memiliki kekuatan besar dalam menentukan apa yang menjadi tren, sekaligus membentuk selera dan preferensi pengguna.
Ini merupakan praktik bisnis kapitalisme digital, di mana konten yang tampaknya lucu dan menghibur digunakan sebagai media komunikasi untuk meningkatkan profit platform. Secara tidak langsung, ini juga turut berimplikasi pada penurunan kemampuan berpikir kritis para pengguna muda, karena mereka terbiasa menerima konten yang homogen.
Bukti empiris telah mendukung kritik ini. Menurut laporan Kompas (2025), tagar #ItalianBrainrot mencatatkan ratusan juta tampilan dalam waktu singkat. Sebuah angka yang tentu menyiratkan besarnya pengaruh tren tersebut baik karena diakses secara sadar oleh pengguna, maupun karena memang disajikan untuk tampil dan disaksikan pengguna oleh algoritma Tiktok itu sendiri.
Dalam perspektif yang lebih luas dan mendalam, kita mesti jeli melihat tren Italian Brainrot sebagai pengingat akan pentingnya perlindungan terhadap masyarakat kita sebagai pengguna media sosial termasuk Tiktok. Hal ini karena dari tren Italian Brainrot kita dapat melihat bahwa konten yang disajikan tidak lagi sekadar hiburan, tetapi telah menjadi alat efektif bagi platform untuk mengontrol konsumsi konten.
Kita bagaimana pun perlu belajar dengan mengambil langkah penting menghadapi tren semacam ini. Pertama, dengan menyadari pentingnya memahami bahwa pilihan kita dalam mengonsumsi konten, sering kali tidak murni berasal dari diri sendiri, melainkan hasil rekayasa algoritmik.
Kedua, ada konsekuensi serius dari kebiasaan konsumsi konten yang monoton, yaitu hilangnya diversifikasi berpikir dan penurunan kemampuan kritis generasi muda. Oleh karena itu, kesadaran kritis terhadap cara kerja platform digital sangat diperlukan. Generasi muda perlu memahami bahwa di balik konten yang lucu dan menarik, terdapat strategi bisnis yang sengaja dirancang untuk mempertahankan pengguna demi keuntungan ekonomi semata.
Ketiga, ini menekankan pentingnya edukasi digital yang lebih mendalam, termasuk memahami bagaimana algoritma bekerja. Ini tak boleh diabaikan agar pengguna dapat menggunakan media sosial secara bijak dan sadar.
Demikian pada akhirnya, tren Italian Brainrot bukan hanya tentang Italia atau humor semata. Ini adalah peringatan kritis tentang bagaimana peran algoritma yang mampu mengontrol budaya dan perilaku kita di era digital. Sebagai pengguna media sosial, kita ditantang untuk lebih kritis, sadar, dan selektif dalam mengonsumsi konten yang tersedia, agar tidak terjebak dalam siklus konsumsi yang sempit dan manipulatif.
Pada sisi negara, tren jenis ini tentu saja mesti dicermati dan disikapi dengan baik oleh pemangku kepentingan nasional. Terutama dalam upaya menjaga generasi muda kita agar tidak larut dalam budaya baru yang justru sulit dipahami oleh penyelenggara negara. Budaya yang akan berimbas tak hanya pada kehidupan sosial budaya, tapi juga ekonomi kita yang tengah susah payah dijaga oleh pemerintah hari ini.
Bernika Yustisiana Narang, Dosen Komunikasi Universitas Indonesia dan mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia