Amandemen Konstitusi Pakistan Kukuhkan Supremasi Militer

Posted on

Pada Rabu, 12 November, parlemen Pakistan mengetuk palu sebuah paket amandemen konstitusi, yang membidik serta Mahkamah Agung dan militer.

Amandemen yang disetujui dengan mayoritas dua pertiga di Majelis Rendah ini mengukuhkan kekuasaan Asim Munir, kepala angkatan darat yang kini naik pangkat menjadi marsekal lapangan—gelar yang dalam sejarah Pakistan baru dua kali disematkan.

Tak hanya itu, parlemen juga sepakat membatasi kewenangan Mahkamah Agung.

Amandemen tersebut mengubah keseimbangan kekuasaan institusional dan memperkuat supremasi militer di negara yang telah diperintah langsung oleh para jenderal selama lebih dari separuh sejarahnya selama 78 tahun.

Dua hari sebelumnya Senat sudah meloloskannya, dan pada Kamis, 13 November, Presiden Asif Ali Zardari menorehkan tanda tangan terakhir.

Anggota oposisi dari Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), yang didirikan oleh mantan perdana menteri Imran Khan yang saat ini dipenjara, memboikot pemungutan suara. Mereka merobek salinan rancangan undang-undangnya sebagai bentuk protes.

Meski berdampak luas, pembahasan amandemen ke27 ini berlangsung cuma beberapa hari sebelum diloloskan.

Kritikus mengecam bagaimana amandemen dipaksakan melalui parlemen dengan minimnya keterlibatan publik. Mereka mengecam implikasinya yang luas serta potensinya untuk memusatkan lebih banyak kekuasaan di tangan militer dan koalisi yang berkuasa.

Perdana Menteri Shehbaz Sharif sebaliknya memuji amandemen tersebut sebagai langkah menuju harmoni institusional dan persatuan nasional.

Amandemen ke27 konstitusi Pakistan akan menciptakan posisi baru yaitu kepala angkatan pertahanan (Chief of Defense Forces/CDF) yang akan dipegang oleh kepala angkatan darat, Field Marshal Asim Munir.

Posisi tersebut memberi kepala angkatan darat kontrol juga atas angkatan laut dan angkatan udara.

Munir, yang menjadi kepala angkatan darat pada November 2022, dipromosikan menjadi marsekal lapangan dan diberikan pangkat bintang lima pada Mei lalu, hanya beberapa hari setelah Pakistan mengakhiri bentrokan empat hari dengan India.

Ia adalah perwira militer Pakistan kedua, setelah Field Marshal Ayub Khan pada 1960-an, yang menyandang pangkat bintang lima.

Amandemen terbaru memberikan Munir dan para pemimpin militer tingkat atas lainnya hak istimewa dan perlindungan seumur hidup.

Setiap perwira yang dipromosikan menjadi marsekal lapangan, marsekal udara, atau laksamana armada kini akan mempertahankan pangkat dan hak istimewa mereka seumur hidup, tetap mengenakan seragam, dan menikmati kekebalan permanen dari proses pidana.

Hal ini terjadi di negara yang militernya terlibat dalam berbagai kudeta dan menghadapi tuduhan melemahkan institusi demokrasi.

Terakhir kali Pakistan mengalami pemerintahan militer langsung adalah di bawah Jenderal Pervez Musharraf, yang mengundurkan diri pada Agustus 2008.

“Amandemen ini akan dianggap sebagai aturan yang kejam bahkan menurut standar hukum militer,” ujar Osama Malik, pakar hukum konstitusi senior yang berbasis di Islamabad, kepada DW.

Ia menekankan bahwa pemberian kekebalan permanen kepada para pemimpin militer, terutama oleh para legislator terpilih, adalah sesuatu yang “sangat tercela” dan “sangat berbahaya.”

“Jika di masa depan kepala militer menangguhkan parlemen dan menghapus sebagian konstitusi, tidak akan ada tindakan hukum yang dapat diambil terhadapnya karena adanya kekebalan absolut.”

Namun Ahmed Bilal Mehboob, presiden think tank Pakistan Institute of Legislative Development and Transparency (PILDAT), menolak kekhawatiran bahwa amandemen tersebut meningkatkan otoritarianisme di negara bersenjata nuklir dengan lebih dari 250 juta penduduk itu.

Menurutnya, amandemen tersebut hanya merupakan formalisasi peran marsekal lapangan dan penegasan batas-batas kewenangannya.

“Peran Field Marshal Asim Munir diperluas dalam ranah militer dan tidak serta merta memasuki ranah sipil,” ujarnya kepada DW. “Saya tidak berpikir bahwa otoritarianisme telah dilembagakan.”

Maria Sultan, ketua South Asian Strategic Stability Institute (SASSI) University di Islamabad, menggemakan pandangan tersebut. “Saya pikir pemberian dasar hukum dan konstitusional yang jelas ini pada peran marsekal lapangan akan memperkuat keseimbangan kekuasaan dan negara,” katanya.

Perubahan konstitusional ini juga berdampak pada lembaga peradilan karena berupaya mengurangi kewenangan Mahkamah Agung.

Sebuah Mahkamah Konstitusi Federal baru, yang dipimpin ketua mahkamahnya sendiri, akan dibentuk dan para hakimnya akan diangkat oleh pemerintah. Pengadilan ini akan memiliki yurisdiksi eksklusif atas perkara-perkara konstitusional.

Pemerintah berpendapat bahwa reformasi diperlukan untuk mempercepat proses perkara dan meningkatkan kualitas layanan peradilan.

Namun langkah tersebut akan mencabut kekuasaan asli Mahkamah Agung dan mengurangi peran lembaga konstitusional yang mengawasi kekuasaan pemerintah.

Amandemen tersebut juga melarang pengadilan mempertanyakan perubahan konstitusi “dengan alasan apa pun.”

Klausul lain memberikan kekuasaan kepada presiden untuk memindahkan hakim Pengadilan Tinggi atas rekomendasi komisi yudisial, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat digunakan untuk menyingkirkan hakim yang kritis.

“Peradilan telah melampaui batas selama beberapa waktu, dan kini legislatif serta eksekutif sedang menegaskan diri untuk menciptakan keseimbangan,” kata Mehboob dari PILDAT.

Pakar hukum memperingatkan bahwa perubahan tersebut dapat mengikis independensi dan pengawasan peradilan.

“Amandemen ini memberikan pukulan lain terhadap demokrasi dengan semakin melemahkan peradilan independen,” kata Maleeha Lodhi, komentator politik dan mantan diplomat, kepada DW.

Ia mengatakan amandemen tersebut “semakin memiringkan keseimbangan sipil-militer ke keuntungan pihak militer,” dan “mengencangkan kontrol pemerintah terhadap peradilan.”

Malik, pakar hukum konstitusi, sependapat.

“Mahkamah Agung akan berada di bawah Mahkamah Konstitusi Federal dan terikat oleh aturan-aturannya, sehingga secara teknis menjadikan yang terakhir sebagai lembaga tertinggi,” ujarnya dengan tegas. “Perubahan ini akan menghancurkan bahkan kedok peradilan yang bebas, sehingga kelompok pengacara dan masyarakat sipil seharusnya menentangnya.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rahka Susanto

Editor: Rizki Nugraha

Pemimpin militer punya hak istimewa dan kekebalan seumur hidup

‘Sangat berbahaya’ dan atau sekadar penegasan kewenangan?

Bagaimana dampaknya terhadap lembaga peradilan?

Mengencangkan kontrol pemerintah?