Bamsoet Ajak Wisudawan Universitas Borobudur Jadi SDM Unggul dan Adaptif

Posted on

Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15, Bambang Soesatyo, menghadiri Wisuda Universitas Borobudur sebagai Anggota Sidang Terbuka Senat Tahun Akademik 2024/2025. Dalam wisuda tersebut, sebanyak 594 lulusan dari program D-3, S-1, S-2, dan S-3 bersama dengan sejumlah tokoh politik, pejabat daerah, serta perwira tinggi TNI dan Polri turut diwisuda.

Dalam kesempatan ini, Bamsoet menyampaikan bahwa wisuda bukan sekadar seremoni, melainkan momentum penting melahirkan generasi unggul, adaptif, dan inovatif yang siap bersaing menuju Indonesia Emas 2045.

“Momentum wisuda sarjana di berbagai perguruan tinggi harus dimaknai sebagai tonggak lahirnya generasi baru yang siap meraih masa depan gemilang. Wisuda bukan sekadar seremoni penyerahan ijazah, melainkan momentum strategis untuk melahirkan sumber daya manusia unggul, adaptif, dan inovatif yang mampu bersaing di kancah global menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Rabu (15/10/2025).

Hal itu disampaikannya saat menghadiri Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas Borobudur di Jakarta. Acara tersebut berlangsung pada Selasa (14/10).

Adapun para tokoh yang diwisuda antara lain politikus Partai Nasdem Ahmad Sahroni, politikus PDIP Trimedya Panjaitan, politikus PKS Hamid Noor, Bupati Banyuasin Askolani, Kepala Lembaga Pertahanan Universitas Pertahanan Mayjend TNI AD Endro Satoto, mantan Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Hery Chariansyah, Wakajati Maluku Utara Taufan Zakaria, Kajari Tanjung Perak Ricky Setiawan Anas dan Karokespol Pusdokkes Polri Brigjen Pol I Gusti Gede Maha Andika. Mereka semua merupakan lulusan program doktor (S-3) ilmu hukum Universitas Borobudur.

Bamsoet menjelaskan bahwa kondisi aktual dunia kerja masih menyisakan persoalan serius di kalangan lulusan perguruan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional mencapai 4,76 persen, setara 7,28 juta orang.

Dari angka itu, lulusan perguruan tinggi menyumbang sekitar 6,23 persen, atau lebih dari satu juta orang yang belum bekerja. Sementara lulusan SMK tetap menempati posisi tertinggi dengan tingkat pengangguran mencapai 8 persen.

“Ini kontradiksi besar. Di satu sisi, kita memiliki jutaan sarjana baru setiap tahun. Namun di sisi lain, masih banyak yang belum terserap pasar kerja karena kompetensi yang dimiliki belum sepenuhnya sesuai kebutuhan industri. Artinya, masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan kita,” jelas Bamsoet.

Selain itu, ia menilai adanya ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia usaha menjadi akar masalah yang mesti dibenahi. Sistem pendidikan tinggi terlalu lama berorientasi pada teori, bukan keterampilan aplikatif. Program magang seringkali sekadar formalitas administratif tanpa pengalaman praktis yang berdampak.

Menurutnya, mahasiswa seharusnya berinteraksi langsung dengan dunia industri sejak di bangku kuliah. Sehingga, mampu menghadapi masalah riil di dunia kerja, bukan sekadar menyusun laporan penelitian.

Di sisi lain, Bamsoet mengapresiasi terobosan Kementerian Pendidikan melalui kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), termasuk Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB).

Tentunya karena program ini melibatkan lebih dari 500 ribu mahasiswa serta lebih dari 2.000 perusahaan dinilai sebagai langkah besar untuk mempertemukan dunia kampus dan dunia kerja. Begitu juga dengan program Matching Fund yang pada tahun 2025 telah menyalurkan dana lebih dari Rp 2,3 triliun untuk kolaborasi riset antara perguruan tinggi dan industri.

“Langkah-langkah ini harus diperkuat. DPR siap mendorong regulasi agar kemitraan kampus, industri dan pemerintah, menjadi standar nasional. Jangan sampai kebijakan bagus berhenti di tataran konsep, tetapi tidak sampai di ruang kelas,” kata Bamsoet.

Ia menambahkan bahwa Perguruan tinggi perlu membangun career center yang berfungsi aktif menjembatani lulusan dengan industri, startup, hingga lembaga riset. Kampus juga diminta rutin melakukan tracer study agar data serapan alumni bisa menjadi dasar perbaikan kurikulum.

“Data BPS tahun 2025 menunjukkan sekitar 55 persen pekerja Indonesia masih berada di level menengah ke bawah. Jika pendidikan tinggi gagal menciptakan mobilitas vertikal, maka bonus demografi justru bisa menjadi beban. Lulusan sarjana tidak cukup hanya memiliki ijazah. Mereka harus punya kemampuan belajar cepat, berpikir kreatif, dan adaptif terhadap teknologi baru,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pergeseran struktur ekonomi global menuju era digital dan ekonomi hijau akan menuntut kualitas SDM yang sangat berbeda dibanding satu dekade lalu. Menurut World Economic Forum, sekitar 23 persen pekerjaan di dunia akan berubah bentuk akibat otomatisasi dan kecerdasan buatan. Namun pada saat yang sama, 69 juta jenis pekerjaan baru muncul yang membutuhkan keahlian digital, kemampuan analisis data, dan inovasi sosial.

“Generasi sarjana hari ini akan menjadi pengambil keputusan di tahun 2045. Dua dekade ke depan, mereka akan menentukan apakah Indonesia benar-benar menjadi negara maju atau tertinggal di gelombang perubahan. Karena itu, wisuda tidak boleh menjadi titik akhir, melainkan titik awal tanggung jawab baru,” pungkas Bamsoet.

Hadir dalam acara tersebut Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Henri Togar Hasiholan Tambunan, Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Ali Maulana Hakim, Rektor Universitas Borobudur Bambang Bernanthos, Ketua Yayasan Universitas Borobudur Muhammad Halilintar, Direktur Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur Faisal Santiago, Ketua Alumni Universitas Borobudur Irjen Pol (Purn.) Ronny Franky Sompie serta para civitas akademika Universitas Borobudur.