Putusan kabul eksepsi mantan hakim agung nonaktif muncul dalam sidang kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Hakim terdakwa Djuyamto mengatakan ribut-ribut putusan kabul eksepsi Gazalba itu menjadi pertimbangan tidak dikabulkannya eksepsi perkara migor.
Hal itu disampaikan Djuyamto saat diperiksa sebagai saksi mahkota yakni terdakwa yang bersaksi untuk terdakwa lain di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (15/10/2025). Mulanya, jaksa mendalami pesan yang disampaikan mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rudi Suparmono dan mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta terkait perkara migor.
Djuyamto mengatakan pesan yang disampaikan Rudi dan Arif berbeda. Dia mengatakan Arif mewanti-wanti agar eksepsi perkara migor tidak dikabulkan.
“Tapi dua-duanya membawa pesan untuk atensi, meminta atensi eksepsi dikabulkan seperti itu?” tanya jaksa.
“Enggak, bukan eksepsi dikabulkan. Justru kalau kaitan dengan eksepsi, Pak MAN sama sekali berpesan kepada saya, Pak Djuy ada perkara yang kaitannya dengan apa, Gazalba Saleh waktu itu ribut kan, dikabulkannya eksepsi Gazalba kan jadi ribut, justru waktu itu Pak MAN, kan saya sempat sampaikan, beliau berpesan pokoknya hati-hati dan jangan sekali-kali kabulkan eksepsi,” jawab Djuyamto.
merupakan mantan hakim agung yang ditetapkan tersangka gratifikasi dan pencucian uang oleh KPK. Di persidangan, eksepsinya dikabulkan oleh hakim dan Gazalba sempat bebas dari penjara. Putusan eksepsi dari Gazalba ini mendapatkan sorotan tajam dari publik
Namun, pada November 2023 KPK kembali menetapkan Gazalba sebagai tersangka. Sidang lalu masuk ke materi pokok perkara hingga Gazalba divonis 10 tahun penjara.
Dia lalu mengajukan banding, namun vonisnya diperberat menjadi 12 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Gazalba lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Januari 2025, MA lalu mengabulkan kasasi dari Gazalba dan menyunat hukuman penjaranya menjadi 10 tahun.
Kembali ke kasus perkara migor, Djuyamto mengatakan Rudi hanya meminta agar perkara migor dibantu. Dia mengatakan eksepsi perkara migor tidak dapat dikabulkan karena alasan hukumnya tidak terpenuhi, serta antisipasi tanggapan publik terkait putusan kabul eksepsi Gazalba Saleh.
“Itu berbeda dengan permintaan Pak Rudi?” tanya jaksa.
“Beda, kalau Pak Rudi itu dengan bahasa begini lho, atensinya itu, mas tolong dibantu dipelajari, tapi kalau memang proses hukum, memang nggak bisa, nah akhirnya saya menghadap beliau sendiri waktu itu kepada Pak Rudi, izin pak ketua, selain alasan hukumnya tidak terpenuhi, kaitannya dengan eksepsi, yang kedua menyangkut soal bagaimana tanggapan publik terhadap dikabulkannya eksepsi perkara Gazalba ini akan menjadi blunder kita Pak, saya sampaikan seperti itu. Oke mas, ya sudah nggak usah dikabulkan gitu,” ujarnya.
Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.
Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.
Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.