Kasus sepeda motor yang mendadak brebet usai mengisi Pertalite bukan sekadar gangguan mesin. Ini menjadi simbol rapuhnya kepercayaan publik terhadap mutu bahan bakar nasional dan tata kelola energi yang kian eksklusif.
Bagi banyak konsumen, kerugian itu tak hanya material, tapi juga emosional. Hal tersebut dapat berdampak terhadap potensi kekhawatiran dan hilangnya rasa percaya saat mengisi bensin di SPBU milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina.
Pertamina Patra Niaga dalam hal ini memang bergerak cepat. Pertamina mengambil sampel BBM, menjanjikan uji laboratorium, bahkan menurunkan pejabat tinggi ke lapangan untuk meninjau kualitas BBM. Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab korporasi. Namun publik menanti lebih dari sekadar inspeksi teknis. Publik butuh jaminan pengalaman pengguna yang lebih baik dan kepastian bahwa kejadian serupa tak berulang.
Dalam era digital, reputasi tidak dibangun lewat laporan resmi, tetapi lewat pengalaman yang dibagikan secara viral. Satu video pengguna yang motornya mogok di depan SPBU dapat menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi yang bertele-tele.
Ketika cerita negatif lebih banyak terdengar daripada penjelasan yang transparan, kepercayaan publik menurun. Bahkan jika hasil laboratorium nantinya menunjukkan Pertalite memenuhi standar, persepsi masyarakat sudah telanjur terbentuk. Dan reputasi yang rusak karena pengalaman buruk jauh lebih sulit dipulihkan dibanding kerusakan teknis mesin.
Krisis ini terjadi di tengah kebijakan baru pemerintah yang melarang impor BBM oleh sejumlah perusahaan swasta. SPBU non-Pertamina pun mengalami kekosongan stok, membuat masyarakat tidak punya banyak pilihan selain membeli di SPBU Pertamina. Artinya, publik kini bergantung sepenuhnya pada satu penyedia energi. Dalam kondisi pasar yang sempit seperti ini, pengalaman buruk di satu merek akan otomatis mencoreng keseluruhan sistem distribusi.
Secara prinsip, pemerintah memang berhak mengatur sektor energi demi menjamin akses, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan pasokan nasional. Energi adalah hajat hidup orang banyak. Namun kebijakan ini berpotensi menjadi masalah ketika semangat “mengatur demi kesejahteraan publik” bergeser menjadi “mengunci pasar demi kepentingan satu entitas.”
Hasilnya, pilihan konsumen makin minim, sementara kekuasaan pasar terpusat pada Pertamina. Ini menciptakan monopoli de facto yang, tanpa pengawasan ketat, bisa menurunkan efisiensi, memperlambat inovasi, dan mengikis akuntabilitas publik.
Dampaknya semakin terasa pada segmen BBM beroktan tinggi (RON 92 ke atas) seperti Pertamax, Shell Super, BP Ultimate, atau Vivo. Produk ini bersifat non-subsidi dan dikonsumsi kelompok masyarakat dengan daya beli menengah ke atas.
Bukankah seharusnya tak perlu diintervensi pemerintah? Ketika kebijakan pelarangan impor juga mencakup jenis ini, pasar premium pun terhenti. Konsumen kehilangan kebebasan memilih, sementara harga dan kualitas ditentukan sepihak.
Dalam diskusi ekonomi modern, kompetisi justru akan mendorong efisiensi dan inovasi layanan. Ketika pasar dikunci, risiko moral hazard meningkat. Pengawasan mutu berpotensi melemah dan respon terhadap keluhan publik melambat. Kasus “motor brebet” menjadi contoh nyata dampak dari pasar yang kehilangan keseimbangan.
Lebih jauh, kebijakan sepihak ini mengirim sinyal buruk ke dunia usaha. Tanpa dialog lintas-sektor dan tanpa peta jalan yang jelas, Indonesia tampak tidak memiliki kepastian regulasi (regulatory predictability). Investor menilai kebijakan semacam ini bersifat red flag.
Jika pemerintah bisa menutup akses di sektor energi secara tiba-tiba, siapa yang menjamin hal serupa tidak terjadi di sektor lain?
Ini tentu akan berpotensi menghilangkan kepercayaan pasar Indonesia sebagai tempat yang bagus berinvestasi. Investasi yang seharusnya masuk ke sektor manufaktur atau sektor lain bisa tertunda, bahkan dialihkan ke negara tetangga yang regulasinya lebih stabil seperti Vietnam atau Malaysia.
Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5,3% – 5,5% per tahun, yang sebagian besar ditopang oleh ekspansi investasi. Ketika kepastian hukum dan kompetisi terganggu, target itu sulit tercapai. Dampak lanjutannya jelas tentu jelas. Investasi menjadi menurun, lapangan kerja menyempit, dan roda ekonomi melambat.
Lebih dari sekadar urusan bensin, kebijakan energi yang tidak prediktif menciptakan efek domino pada demokrasi ekonomi. Masyarakat Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru, merasakan kebebasan baru. Kebebasan berbicara, berpendapat, dan memilih produk atau jasa sesuai kebutuhannya.
Kebijakan yang menutup ruang pilihan ini terasa seperti langkah mundur, seolah mengembalikan masyarakat pada masa ketika negara menentukan segalanya. Kebebasan yang dulu diperjuangkan pasca-Soeharto justru tergerus oleh intervensi ekonomi yang semakin sentralistik.
Kedaulatan energi tidak seharusnya berarti monopoli. Negara harus tetap hadir menjamin akses dan keterjangkauan BBM bersubsidi bagi rakyat kecil, namun membuka ruang kompetisi sehat untuk segmen non-subsidi. Energi nasional tidak akan berdaulat jika hanya dikuasai satu tangan. Kedaulatan akan terjadi ketika dikelola dengan transparansi, persaingan yang adil, dan penghormatan terhadap kebebasan warga sebagai konsumen.
Adrian Azhar Wijanarko. Dosen pada Fakultas Ekonomi & Bisnis di Universitas Paramadina dan Director of Research di lembaga Paramadina Public Policy. Adrian menaruh perhatian pada isu Manajemen dan kebijakan publik di Indonesia.







