Fadli Zon: Budaya Harus Jadi Pilar Utama Bangun Ketahanan Iklim Global

Posted on

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon menekankan komitmen Indonesia dalam menjadikan budaya sebagai pilar utama dalam menghadapi krisis iklim dan agenda pembangunan berkelanjutan pasca-2030. Hal ini disampaikan dalam pertemuan tingkat tinggi para koalisi Group of Friends for Culture-Based Climate Action (GFCBCA) dalam acara UNESCO MONDIACULT 2025 Barcelona, Spanyol.

Koalisi yang beranggotakan 47 negara ini dibentuk oleh Uni Emirat Arab dan Brasil pada Conference of the Parties (COP28) di Dubai untuk memperkuat peran budaya dalam adaptasi dan mitigasi iklim. Sejak Mei 2025, Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan resmi bergabung sebagai anggota.

“Indonesia bangga menjadi bagian dari jaringan global ini. Sebagai kementerian yang baru berdiri, kami langsung mendukung inisiatif ini karena yakin budaya harus menjadi pilar utama dalam membangun ketahanan iklim global,” ujar Fadli dalam keterangannya, Selasa (30/9/2025).

Dalam pidatonya, Fadli menyampaikan bahwa krisis iklim pada hakikatnya adalah krisis budaya.

“Ancaman besar bukan hanya pada ekosistem, tetapi juga pada identitas bangsa, warisan, dan pengetahuan lokal yang menopang peradaban,” tegasnya.

Ia menyoroti tantangan nyata yang dihadapi Indonesia dalam menjaga ribuan situs budaya. Salah satunya seperti pelapukan pada bebatuan candi, serta risiko kerusakan situs prasejarah yang dekat dengan lokasi pertambangan.

“Setiap aktivitas di sekitar wilayah warisan budaya, termasuk pertambangan, harus melalui penilaian dan berperspektif pelestarian. Warisan budaya kita hidup bersama lingkungannya. Kite iklim berubah, candi-candi, gua-gua prasejarah, hingga tradisi turun-temurun ikut terancam. Inilah mengapa budaya harus masuk dalam agenda iklim, baik di tingkat nasional maupun global,” tegas Fadli.

Lebih lanjut, Ia menggarisbawahi berbagai praktik kearifan lokal yang berperan sebagai infrastruktur adaptasi.

“Misalnya filosofi Tri Hita Karana di Bali, praktik Sasi di Maluku dan Papua serta Menumbai di Riau sebagai mekanisme konservasi tradisional, juga Arat Sabulungan di Mentawai yang menegaskan keseimbangan manusia dan alam melalui hukum adat,” ungkapnya.

Indonesia siap bekerja sama memperkuat integrasi budaya dalam strategi adaptasi global, serta mengangkat suara masyarakat adat dan penjaga warisan sebagai bagian dari solusi iklim dunia.

“Semua ini membuktikan bahwa budaya adalah kekuatan nyata untuk menghadapi iklim. Namun tanpa dukungan dan kerja sama semua pihak, termasuk melalui kolaborasi antar negara, upaya ini tidak bisa berdiri sendiri,” kata Fadli.

Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Barcelona yang menegaskan budaya adalah aset yang rentan sekaligus instrumen strategis dalam adaptasi iklim. Menteri Kebudayaan Spanyol, Ernest Urtasun, menyebut pertemuan ini adalah momentum penting yang menunjukkan bagaimana budaya bisa menjadi solusi bersama.

Menteri Kebudayaan Brasil Margareth Menezez menyambut positif partisipasi Indonesia.

“Selamat datang, Menteri Fadli. Terima kasih telah bergabung dan aktif dalam menyuarakan isu ini,” ujar Margareth.

Ia juga menekankan pentingnya dialog ini untuk mendorong budaya masuk ke agenda iklim COP30 di Belém, Brasil, pada November mendatang. Fadli menyebutkan hal ini sebagai bagian penting dari diplomasi budaya Indonesia.

“Partisipasi Indonesia dalam forum ini memperkuat posisi kita di panggung dunia. Di tingkat global, budaya tidak boleh ditempatkan sebagai isu pinggiran, tetapi harus menjadi arus utama dalam agenda iklim dan pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan pasca-2030. Diplomasi budaya adalah instrumen strategis kita untuk membawa pesan ini,” ungkapnya.

Ke depannya, Kementerian Kebudayaan akan terus memperluas peran Indonesia dalam jejaring internasional termasuk GFCBCA dan UNESCO.

“Inilah cara kita menjaga warisan bangsa, menginspirasi dunia, dan memastikan bahwa budaya menjadi solusi bagi krisis iklim, bagi generasi hari ini dan yang akan datang,” tandas Fadli.