Suhu udara terasa lebih dingin di malam hingga pagi hari meski Indonesia sedang memasuki musim kemarau. Fenomena ini dikenal dengan istilah , atau dalam bahasa Jawa disebut mbedhidhing, dan umum terjadi di sejumlah wilayah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika () menyebut fenomena ini sebagai hal yang wajar terjadi saat puncak kemarau. Penurunan suhu ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor atmosferik, mulai dari minimnya tutupan awan, kelembapan udara yang rendah, hingga adanya aliran angin kering dari Australia yang sedang mengalami musim dingin.
Menurut BMKG, fenomena bediding berkaitan erat dengan kondisi atmosfer yang umum terjadi saat kemarau. Pada periode ini, curah hujan berkurang dan langit cenderung cerah, yang berarti tidak banyak awan yang menahan panas. Akibatnya, panas dari permukaan bumi lebih mudah dilepaskan ke atmosfer pada malam hari, menyebabkan suhu turun drastis menjelang pagi.
Kondisi kering ini juga menyebabkan uap air di permukaan bumi sangat sedikit. Uap air berperan menyimpan panas di atmosfer. Ketika kandungan uap air rendah, tidak ada media yang cukup untuk menahan panas radiasi balik dari bumi. Akibatnya, udara di dekat permukaan pun ikut mendingin.
Fenomena ini makin terasa saat dari Australia bertiup melewati wilayah Indonesia bagian selatan. Angin tersebut bersifat dingin dan kering karena berasal dari Benua Australia yang tengah mengalami musim dingin. Dampaknya sangat terasa di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana suhu pada malam hingga pagi hari dapat turun lebih rendah dibanding wilayah lain.
Meski pagi hari terasa dingin, suhu udara akan meningkat tajam saat siang karena minimnya awan membuat radiasi matahari langsung mencapai permukaan bumi. Inilah sebabnya bediding biasanya disertai siang yang terik, kondisi khas musim kemarau di Indonesia.
BMKG menegaskan bahwa fenomena suhu dingin di musim kemarau tidak berkaitan dengan , yaitu posisi saat bumi berada di titik terjauh dari matahari dalam orbit tahunannya. Meski aphelion terjadi pada sekitar bulan Juli, pengaruhnya terhadap suhu di permukaan bumi sangat kecil.
Jarak bumi ke matahari saat aphelion hanya berbeda sekitar 3 persen dibanding saat perihelion. Perbedaan ini tidak cukup signifikan untuk menyebabkan perubahan suhu udara secara ekstrem. Suhu yang turun di Indonesia lebih dipengaruhi oleh dinamika atmosfer seperti angin muson, kelembapan rendah, serta tutupan awan yang sedikit.
BMKG memperkirakan fenomena suhu dingin atau bediding akan berlangsung hingga puncak musim kemarau berakhir, yaitu sekitar Agustus hingga awal September. Setelah periode tersebut, suhu udara akan kembali menghangat seiring datangnya masa peralihan menuju musim hujan.
Namun, BMKG juga mencatat bahwa musim kemarau tahun ini tergolong tidak biasa. Dalam rilis resminya, BMKG menyebut sebagian besar wilayah Indonesia mengalami , yaitu musim kemarau dengan curah hujan di atas normal akibat pengaruh suhu muka laut yang tetap hangat dan gelombang atmosfer aktif. Kondisi ini diprediksi berlangsung hingga Oktober 2025 dan berpotensi memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor, terutama di wilayah yang masih sering diguyur hujan.