Hakim Ini Ngaku Jadi Inisiator Vonis Lepas Kasus Migor, Terima Suap Rp 6,2 M

Posted on

Hakim terdakwa kasus suap (migor), Ali Muhtarom, mengaku menjadi inisiator vonis lepas tersebut. Ali juga mengaku menerima bagian Rp 6,2 miliar terkait vonis itu.

Hal itu disampaikan Ali saat diperiksa sebagai saksi mahkota, yakni terdakwa yang bersaksi untuk terdakwa lainnya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/10/2025). Ali mengatakan ide vonis lepas perkara korporasi migor muncul darinya.

“Jadi yang sementara ini perdebatan ya, perbincangan mengenai onslag, itu kalau boleh jujur, memang saya harus jujur seperti yang Pak Ketua Majelis sampaikan, saya harus jujur mengatakan bahwa pikiran onslag itu malah justru dari saya. Artinya tidak ada penyampaian dari Pak Djuy atau Pak MAN selaku ketua atau Pak Agam, itu nggak ada. Artinya, dari saya murni sebagai pengonsep putusan itu, saya menyampaikan bahwa perkara ini, itu harusnya onslag,” kata Ali Muhtarom.

Ali mengatakan ide vonis lepas itu muncul dari diskusi selama persidangan berlangsung setelah mendengarkan keterangan saksi dan ahli. Dia mengatakan sempat ada perdebatan antara vonis lepas atau bebas dan hakim Djuyamto.

“Apa pertimbangannya?” tanya jaksa.

“Jadi kan kita ini kan bersidang, kemudian kan sekitar bulan September lah, September atau Oktober itu, setiap kita habis bersidang itu kan kita jalan kembali ke ruangan ya, waktu itu kan terjadi diskusi-diskusi dari keterangan ahli, dari saksi, kemudian kan kita punya pikiran nih, menyimpulkan bahwa ini arahnya keliahatannya seperti ini, itu ada penyampaian-penyampaian seperti itu. Artinya, di dalam diskusi itu menjadi dinamis ya, bahkan terakhir itu saya sampaikan Pak Djuy itu pikirannya ini bebas, sempat berdebat dengan saya, ini harusnya bebas bulan onslag,” ujarnya.

Ali mengaku menerima bagian Rp 6,2 miliar terkait pengurusan vonis lepas perkara ini. Uang itu diberikan dalam bentuk mata uang asing dalam dua kali penyerahan.

“Tadi kalau yang pertama Pak kalau kita konversi ke rata-rata rate kursnya Rp 16 ribu, itu sekitar Rp 1,1 miliar. Kemudian yang kedua itu sekitar Rp 5,1 miliar. Betul kan?” tanya jaksa.

“Iya,” jawab Ali.

Ali mengatakan tidak terpengaruh oleh uang suap yang diberikan. Dia kembali menyinggung bahwa dari awal sudah memiliki keyakinan untuk menjatuhkan vonis lepas perkara tersebut.

“Kapan Saudara pernah mendengar bahwa perkara ini harus diputus dengan onslag?” tanya jaksa.

“Ini kan gini ya, mohon maaf. Artinya, yang saya rasakan, pikiran saya, di pikiran saya, saya tidak pernah tersandera dengan uang itu. Artinya, betul memang ada penerimaan uang, saya menerima uang dari Pak Agam maupun saya diberikan uang oleh Pak Djuy. Betul. Tetapi saya pikiran saya tidak pernah tersandera bahwa ini ada uang sekian, kemudian saya harus memutus ini menjadi onslag, saya harus menuruti kemauan orang ini, harus saya putus bebas sebenarnya nggak ada,” jawab Ali.

“Itu disampaikan nggak kepada Saudara saksi, ini pada akhirnya putusannya harus onslag?” tanya jaksa.

“Sama sekali tidak ada penyampaian bahwa ini harus diputus onslag itu, sejak awal kan saya tadi sudah saya sampaikan bahwa pikiran putusan onslag itu dari saya,” jawab Ali.

Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, dan Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.

Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, dan Ali, mantan Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.