Hutan dan Perang: dari Benteng Alam hingga Pertahanan Ekologis

Posted on

Dalam materi kuliah terkenalnya “Forests and Warfare in World History”, sejarawan lingkungan J.R. McNeill mengungkap hubungan mendalam antara hutan dan perang yang telah berlangsung sejak awal peradaban manusia.

Hutan bukan sekadar latar belakang perang, tetapi juga aktor yang membentuk jalannya sejarah. Ia menjadi sumber bahan bakar, benteng alami, dan bahkan arena taktik perang gerilya.

Sejak masa Romawi hingga Jepang feodal, hutan menjadi sumber utama material perang: dari kayu untuk benteng, kapal, hingga senjata. Peradaban yang memiliki hutan luas kerap lebih unggul secara militer. Namun, McNeill juga menunjukkan sisi gelapnya-penebangan besar-besaran demi kebutuhan militer kerap melahirkan krisis ekologis jangka panjang.

Ketika Jepang membangun ratusan kastil kayu di masa Tokugawa, mereka kehilangan sebagian besar hutan perawan dalam waktu satu abad. Dari situ muncul kesadaran baru: kekuatan militer tanpa keseimbangan ekologis justru menciptakan kelemahan strategis.

Dalam sejarah modern, hutan juga menjadi senjata bagi pihak yang lemah. McNeill mencontohkan pasukan Vietnam yang menggunakan hutan tropis untuk melawan kekuatan udara Amerika. Taktik serupa sesungguhnya juga hidup dalam sejarah Indonesia, dari perang gerilya di Jawa dan hutan Sumatra, hingga perjuangan di hutan Kalimantan dan Papua. Pepohonan memberi perlindungan, logistik, sekaligus moral.

Kini, medan perangnya telah berubah. Musuh bangsa bukan lagi pasukan asing, melainkan perubahan iklim, kebakaran hutan, dan deforestasi. Namun prinsipnya tetap sama: siapa yang menguasai hutan, ia menguasai masa depan.

Setiap hektare hutan yang terbakar bukan hanya hilangnya potensi penyerapan karbon dan cadangan karbon, tetapi juga hilangnya ketahanan pangan, air, dan energi nasional.

Pelajaran paling relevan dari McNeill adalah bahwa keamanan sejati tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan ekologis. Dalam banyak kasus, kawasan militer justru menjadi pelindung alam yang tak disengaja-seperti zona demiliterisasi Korea (DMZ) yang kini menjadi cagar alam terbesar di semenanjung itu. Paradoks ini memberi inspirasi: bahwa kekuatan pertahanan dapat bersinergi dengan konservasi hutan.

Indonesia dapat menerapkan pendekatan serupa melalui konsep pertahanan ekologis nasional. Kawasan hutan di perbatasan, seperti Kalimantan Utara dan Papua, bukan hanya aset konservasi, tetapi juga eco-defense zones-penyangga strategis yang menjaga stabilitas lingkungan dan keamanan wilayah.

Langkah ini sejalan dengan doktrin Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), di mana seluruh sumber daya nasional, termasuk alam, menjadi bagian dari kekuatan pertahanan negara.

Selama ini, hutan kerap dipandang sebagai sumber ekonomi, bukan sumber pertahanan. Padahal, dalam konteks global yang semakin rawan krisis air, pangan, dan energi, hutan adalah “senjata sunyi” yang menentukan ketahanan suatu bangsa. Ia menyimpan air, menjaga iklim mikro, dan menopang kehidupan jutaan masyarakat di hulu dan hilir.

Jika J.R. McNeill hidup di Indonesia hari ini, mungkin ia akan berkata bahwa “perang di masa depan tidak lagi memperebutkan tanah untuk ditanami, tetapi pepohonan yang tersisa untuk melindungi kehidupan.” Oleh karena itu, kebijakan pertahanan dan kebijakan kehutanan tak lagi bisa berjalan sendiri-sendiri. Keduanya harus berpadu dalam satu strategi besar: mempertahankan kehidupan.

Hutan telah menjadi saksi ribuan tahun perang manusia. Kini saatnya manusia berdamai dengan hutan-bukan untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi demi keberlanjutan bangsa. Karena tanpa hutan, tidak ada air; tanpa air, tidak ada pangan; dan tanpa keduanya, tidak ada kemerdekaan yang dapat dipertahankan.

Khulfi M. Khalwani. Mahasiswa Program Doktor Konsentrasi Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan RI.

Hutan sebagai Arena Strategi

Pertahanan Ekologis sebagai Arah Baru

Dari Ekstraksi ke Ketahanan