India Cermati Kedekatan Baru Trump dan Pakistan baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Barangkali tak ada isyarat diplomatik yang lebih jelas ketimbang sebuah undangan ke Gedung Putih.

Pekan lalu, dua tokoh utama Pakistan, Perdana Menteri Shahbaz Sharif dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Asim Munir, datang ke Washington untuk bertemu Presiden Donald Trump. Mereka membicarakan sejumlah agenda, terutama soal ekonomi dan keamanan.

Gedung Putih membagikan foto-foto dari pertemuan di Oval Office, yang memperlihatkan Munir menyerahkan sekotak logam tanah jarang kepada Trump. Ini merupakan kunjungan kedua sang jendral ke Amerika Serikat tahun ini.

Trump, dengan caranya yang khas, ikut mengamankan restu Islamabad atas rencananya menyulap damai di Jalur Gaza, sebagai satu-satunya adidaya nuklir di dunia muslim.

Sharif sebaliknya membawa pulang janji kelonggaran tarif dan janji investasi AS di sektor energi, pertambangan dan pertanian, ke negeri yang sedang didekap krisis ekonomi itu.

Yang mencolok adalah seloroh yang dilontarkan Trump, bahwa Pakistan punya cadangan minyak yang berukuran “masif.” Saat mengumumkan kesepakatan pada Juli lalu, dia bahkan mengatakan India mungkin “suatu hari nanti akan membeli minyak Pakistan”.

Dalam kunjungannya, Sharif menyebut Trump sebagai “tokoh perdamaian”, dan memuji peran sang presiden dalam memfasilitasi gencatan senjata antara India dan Pakistan usai konflik singkat pada Mei lalu, yang dipicu oleh serangan militan terhadap wisatawan di wilayah Kashmir India. Munir bahkan mengatakan bahwa Trump layak menerima Nobel Perdamaian.

Namun, di New Delhi, pernyataan itu terdengar datar. India tak mengakui peran Trump dalam gencatan senjata tersebut.

Kebangkitan pamor Pakistan di Gedung Putih terlihat kontras dengan hubungan AS dan India yang mendingin. Padahal, kedua negara sempat dibayangkan akan semakin dekat di masa jabatan kedua Trump, melalui hubungan pribadinya dengan Perdana Menteri Narendra Modi.

Secara geopolitik, AS dan India selama bertahun-tahun membangun hubungan strategis, terutama dalam menghadapi Cina, sembari menjaga hubungan dagang yang saling menguntungkan.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Tapi dalam lanskap global yang digambar ulang usai invasi Rusia ke Ukraina, India malah dikenai tarif 50 persen oleh AS, antara lain akibat keteguhannya membeli minyak dari Moskow.

Di India, kedekatan baru antara AS dan Pakistan memicu kekhawatiran terhadap loyalitas Washington sebagai mitra strategis.

Harsh Pant, Kepala Program Studi Strategis di lembaga pemikir Observer Research Foundation (ORF) di New Delhi, mengatakan kepada DW bahwa Pakistan sebagai episentrum strategi AS, bisa menjadi titik balik dalam kebijakan India di kawasan.

“Jika India meragukan komitmen jangka panjang Washington, hal itu akan mengubah secara fundamental bagaimana India merespons tantangan di kawasan Indo-Pasifik,” ujar Pant, yang juga profesor hubungan internasional di King’s College London.

“Perkembangan itu tidak hanya akan merombak pendekatan India terhadap kawasan, tetapi juga berdampak pada strategi Indo-Pasifik AS secara keseluruhan, kemitraan Quad, serta berbagai upaya kolaboratif antara India dan AS untuk menyeimbangkan pengaruh China yang terus meningkat,” tambah Pant, merujuk pada forum kerja sama empat kekuatan Indo-Pasifik: India, AS, Australia, dan Jepang, yang digadang-gadang Washington sebagai penyeimbang pengaruh Beijing di kawasan.

Potret geopolitik kawasan semakin rumit, karena Pakistan tak hanya bermain di satu meja. Islamabad belum lama ini juga menandatangani pakta pertahanan dengan Arab Saudi—sekutu lama Amerika di Timur Tengah. Pakta tersebut memuat klausul pertahanan bersama, bahwa “setiap agresi terhadap salah satu negara akan dianggap sebagai agresi terhadap keduanya”.

Bagi India, kenyataan bahwa musuh bebuyutannya menjalin aliansi dengan kekuatan utama di Timur Tengah menjadi perhatian strategis. Namun begitu, Ajay Bisaria, mantan Duta Besar India untuk Pakistan, mengatakan kepada DW bahwa New Delhi belum merasa terancam.

“Mengingat kondisi ekonomi Pakistan yang sulit, mereka terpaksa menyesuaikan kebijakan luar negerinya agar tetap relevan bagi tiga donor utama: AS, Cina, dan Arab Saudi,” kata mantan dubes itu.

Menurutnya, India paham Pakistan sedang berusaha memetik keuntungan ekonomi dari posisinya “dengan memanfaatkan dinamika geopolitik yang berubah dan membangun hubungan transaksional. India melihat manuver Pakistan sebagai upaya bertahan agar tetap relevan secara global,” ujar mantan dubes itu.

Bisaria menambahkan, para pemimpin India yakin kedekatan AS–Pakistan punya masa kadaluwarsa.

“India waspada terhadap manuver ini, tapi tidak terlalu khawatir mengingat rapuhnya upaya Pakistan menyeimbangkan ragam kepentingan, dan fakta bahwa hubungan AS–Pakistan akan mengecewakan dalam jangka panjang,” lanjutnya.

Meera Shankar, mantan Duta Besar India untuk AS, mengatakan kepada DW, Trump memandang India dan Pakistan dari lensa yang bersifat transaksional dan berfokus pada keuntungan ekonomi.

Kedua negara, menurut Shankar, “dipandang melalui sudut padang persaingan ekonomi, bukan sebagai mitra strategis di kawasan Indo-Pasifik. Ekonomi India sebenarnya bukan pesaing AS, melainkan bersifat melengkapi, yang membantu meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan AS,” kata Shankar.

Diplomat itu memperingatkan, Pakistan telah belajar memanfaatkan prioritas-prioritas AS dengan menawarkan konsesi kecil secara bertahap, agar tetap dipandang berguna. Namun dia pun mencatat, relasi ini bukan kemitraan sejati, bukan hubungan yang dibangun atas kepercayaan.

“Hubungan AS–Pakistan kini dibentuk oleh apa yang bisa ditawarkan Pakistan—seperti kerja sama kontra-terorisme secara transaksional—dan bukan oleh kemitraan yang berlandaskan kepercayaan atau nilai jangka panjang,” ujarnya.

Amitabh Mattoo, Dekan Fakultas Studi Internasional Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi mengatakan, pasang-surut relasi Washington dan Islamabad adalah fenomena yang berulang.

“Fenomena ini adalah ciri khas geopolitik Asia Selatan sejak era Perang Dingin. Setiap kali AS kembali mendekati Pakistan, hal itu lebih karena alasan yang bersifat instrumental,” kata Mattoo kepada DW.

Mulai dari “Perang Dingin melawan Uni Soviet, kemudian ‘perang melawan teror’, dan kini, mungkin, kebutuhan akan akses logistik serta pengaruh taktis di kawasan Asia Barat dan Asia Tengah yang bergejolak,” tambahnya.

Menurut Mattoo, Washington kini lebih sadar tentang sikap ganda Pakistan dalam misi kontra-terorisme dan tetap berkomitmen pada India sebagai mitra strategis, terutama di kawasan Indo-Pasifik.

“Dalam konteks ini, pendekatan Washington terhadap Islamabad bukan berarti meninggalkan New Delhi, melainkan bagian dari strategi ‘hedging’ di kawasan yang tidak stabil—meski pemerintahan Trump semakin sulit ditebak,” pungkasnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan

Gambar ilustrasi

Banjir pujian bagi sang ‘juru damai’

Strategi jangka panjang India

Gurita diplomasi Pakistan

Trump yang transaksional

Pasang surut hubungan AS–Pakistan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *