Intelektual Membumi dan Berdampak

Posted on

“Tokoh akademisi turunlah, jangan pandang ilmu terpisah-pisah. Kaum intelektual memiliki peran yang sangat krusial di Indonesia. Semua perubahan yang datang di Indonesia, datangnya berasal dari kaum intelektual. Semua perubahan pada dasarnya datang dari kaum intelektual. Bung Karno intelektual, Bung Hatta intelektual, Bung Sjahrir intelektual. Pemimpin dan pendiri bangsa kita berintelektual.”

Pernyataan di atas tersebut datang dari Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia sekarang. Pernyataan itu disampaikan tatkala menjadi pembicara kunci dalam bedah buku berjudul ‘Nasionalisme Sosialisme Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo’ di Universitas Indonesia (UI), Depok pada 2017. Sumitro adalah ayah Presiden Prabowo.

Pernyataan serupa diulanginya tatkala berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2019, di hadapan sekitar 4.000 orang dari 115 perguruan tinggi negeri dan swasta. Prabowo punya harapan agar kaum intelektual lulusan perguruan tinggi mendukung perubahan dalam tatanan kebangsaan.

Prabowo memandang kaum intelektual dapat berperan dalam menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa. Kaum intelektual Indonesia dinilainya punya tanggung jawab atas kebenaran.

Harapan Prabowo tersebut tentu menjadi tantangan yang tidak mudah diwujudkan di zaman pasca kebenaran (post truth) saat ini. Steven Brill mengulas kesulitan tersebut dalam bukunya “The Death of Truth”.

Memilah-milah informasi saat ini menjadi pekerjaan tersendiri yang butuh kehati-hatian dan kesabaran. Pendapat pakar yang beredar di jagat maya tak serta-merta bisa menjadi rujukan.

Bisa jadi pendapat itu bikinan kecerdasan imitasi (artificial intelligence), dengan narasi hoaks.

Belum lagi kecenderungan orang lebih mempercayai circle-nya ketimbang intelektual yang sesungguhnya. Seperti ditulis Tom Nichols dalam buku “The Death of Expertise”, kepakaran terancam mati ditelan dahsyatnya era informasi saat ini.

Semua orang kini dapat menerbitkan opininya secara langsung ke publik. Seringkali mereka merasa sudah menjadi pakar, hanya berbekal informasi yang didapat dari grup percakapan online, yang kemungkinan besar disebar para pendengung (buzzer).

Dalam laporan investigasi Kompas (1/6) terungkap, pengaruh pendengung sangat dominan dalam membentuk opini masyarakat. Pembentukan opini ini menjadi efektif lantaran dibangun melalui jejaring yang luas, didukung teknologi, dari phone farming atau peternakan telepon hingga pelantar (platform) untuk menambah jumlah pengikut di media sosial.

Para pendengung bergerak dengan bayaran jutaan hingga miliaran rupiah membentuk opini publik berkaitan dengan politik, ekonomi, hingga kampanye produk seperti kosmetik, kuliner, dan sebagainya. Dan, para pendengung sering diorder untuk membuat konten bermuatan hoaks, baik dalam bentuk teks, gambar, maupun video.

Kepungan pendengung efektif dalam menggiring opini karena sejatinya, seperti dikatakan Merlyna Lim, penulis buku “Social Media and Politics ini Southeast Asia”, sedari awal pembuatannya media sosial memang dimaksudkan sebagai alat pemasaran.

Media sosial diciptakan dengan desain yang memiliki intensi-bukan untuk membangun demokrasi, melainkan untuk memperluas pasar.

Algoritma bekerja berdasarkan logika pemasaran: memaksimalkan keterlibatan (engagement), menargetkan emosi pengguna, dan mengejar laba iklan. Inilah budaya algoritmik yang dibentuk oleh perpaduan antara prinsip pasar dan teknologi otomatisasi.

Dalam berbagai kasus, terlihat bahwa rasa menjadi komoditas. Hal ini membuat, misalnya saja politik, berubah bentuk. Politik tak lagi soal ide, melainkan soal sensasi. Sehingga, media sosial menjelma menjadi arena perdagangan, dengan kebencian dan pemujaan menjadi mata uang utama-yang dibayar dengan perhatian pengguna.

Di tengah ekosistem yang buruk tersebut, secercah harapan muncul dari temuan jurnal Nature Human Behaviour. Dalam laporan jurnal ini pada 2025 disebutkan, masyarakat masih percaya intelektualitas para ilmuwan yang sebenarnya.

Dalam laporan itu disebutkan, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap ilmuwan tercatat sebesar 3,84 dari skala 5. Hasil ini lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 3,62. Dengan demikian, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap ilmuwan. Publik yakin metode ilmiah adalah cara terbaik mengetahui kebenaran.

Hanya saja, ilmuwan dinilai kurang terbuka pada umpan balik yang secara global masih rendah, yakni 3,3. Publik merasa suara mereka jarang dipertimbangkan komunitas ilmiah. Masih ada anggapan ilmuwan berada di menara gading. Butuh lebih membumi. Sehingga, ilmuwan perlu lebih menjadikan dirinya sebagai intelektual, yang mengembangkan dan menyebarkan pemikiran kritis, dari hasil penelitiannya.

Nature Human Behavior menyebut, ada kesenjangan persepsi dan prioritas. Masyarakat Indonesia menginginkan ilmuwan fokus pada isu keseharian, seperti kemiskinan, energi, dan kesehatan. Sedangkan riset yang dilakukan lebih banyak pada bidang yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Padahal, bisa jadi riset-riset yang dilakukan para ilmuwan sejatinya berbasis problem nyata. Hanya saja kurang bisa dipahami. Karena itulah, para ilmuwan tidak cukup menerbitkan karya mereka di jurnal akademis, yang penulisannya bersifat teknis, obyektif, dan tidak memihak. Sebab, kecil kemungkinan bakal menarik atau mudah dipahami masyarakat awam.

Profesor Karen Anderson dari Institut Lingkungan dan Keberlanjutan, Universitas Exeter, Inggris, menyarankan agar sains diterjemahkan ke dalam ‘cerita’ alias memakai teknik story telling. Para ilmuwan dapat menceritakan kisah yang kuat dan penuh gairah tanpa mengorbankan obyektivitas sains.

Sebelumnya, Asit K. Biswas dan Julian Kirchherr, peneliti dari dua perguruan tinggi di Inggris Raya, Universitas Glasgow, dan Universitas Oxford, pernah menyatakan bahwa lebih 1,5 juta artikel ilmiah diterbitkan jurnal akademik tiap tahun.

Ternyata, sebagian besar diabaikan begitu saja. Sebanyak 82 persen artikel di jurnal ilmiah belum pernah dikutip (cited) sekalipun. Satu artikel dalam jurnal ilmiah boleh jadi hanya dibaca kurang dari 10 orang (the conversion, 2016).

Ada baiknya melihat apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dalam mempopulerkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), setelah terkejut dengan peluncuran satelit Sputnik 1 oleh Uni Sovyet pada 4 Oktober 1957. Peluncuran satelit ini terjadi di tengah perang dingin kedua negara.

AS tentu saja panas dengan propaganda Uni Sovyet yang menyatakan “Kami lahir untuk membuat dongeng menjadi kenyataan.” Sovyet menjadi negara pertama yang menuju antariksa. Guncangan Sputnik bahkan digambarkan seperti serangan Jepang saat perang di Pearl Harbour.

Guna mengejar ketertinggalannya, sebagaimana dicatat Institus Sejarah Gilder Lehrman, AS lantas mengubah secara drastis sistem pendidikannya, terutama cara pengajaran iptek.

Buku-buku sains karya Darwin, Newton, atau Einstein misalnya dibaca lebih serius. Penulisan sains populer pun didorong, tak hanya dalam bentuk teks. Animasi, poster dan komik juga dimanfaatkan.

Buku-buku ilmiah populer lantas bermunculan, yang mendorong inovasi dan kemajuan iptek. Pada 1968 misalnya, ilmuwan biologi molekuler James D. Watson menulis “The Double Helix”, yang menjadi buku sains populer pertama yang menulis tentang penemuan DNA, dengan gaya bertutur personal. Tak terkecuali kisah-kisah emosional Watson.

Lalu pada 1987, James Gleick menelurkan “Chaos-Making New Science”. Buku sains ini ditulis dengan gaya novel, dan sukses membawa fisika ke panggung dunia. Sampai saat ini, banyak yang mengutip teori butterfly effect dari buku ini.

Masyarakat awam pun menyukai sains, dan menjadikan AS pusat penelitian dan pengembangan dunia. Budaya litbang di AS mendorong kreativitas dan punya karakter tidak takut kegagalan. Kekuatan AS ini juga tercermin dari prestasi. Sebanyak 400 orang pemenang Hadiah Nobel berasal dari negara ini.

Pendek kata, AS menjadi surga penelitian dan pengembangan bagi ilmuwan. China, Eropa, dan negara-negara lain, termasuk Qatar dan Singapura, pun kerap membajak ilmuwan dari AS. Mereka ditawari posisi, gaji, dan sarana penelitian lebih mentereng.

Semua kemudian berkebalikan ketika Presiden Donald Trump membuat kebijakan anti sains. Salah satunya yang paling berdampak adalah pemotongan anggaran di berbagai lembaga litbang.

Misalnya, Trump memerintahkan pemotongan dana penelitian lebih dari US$2,6 miliar (Rp 42,49 triliun) untuk Universitas Harvard, karena perguruan tinggi ini dinilai membiarkan gerakan antisemitisme.

Trump memang populer dikenal sebagai sosok antisains. Sebagai contoh, Trump lebih menyukai konspirasi dalam menyikapi pandemi Covid-19, dengan menyebut virus ini bikinan laboratorium di Wuhan, China.

Apa yang dilakukan AS ketika pro-sains menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah selaku pemegang kuasa kebijakan publik dengan ilmuwan, dapat memberikan dorongan kemanfaatan yang besar bagi pengembangan iptek.

Ujungnya tentu membantu peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Langkah AS telah membuat teknologi material, teknologi pengolahan makanan, komputer, atau internet maju pesat.

Kolaborasi positif semacam itu penting diterapkan. Kolaborasi ini dapat mengikis semangat untuk mengintervensi kebebasan akademik, mengkerdilkan budaya ilmiah, atau pun upaya mematikan habitus akademik.

Riset panjang ilmuwan yang dihasilkan dari proses uji laboratorium pun tidak akan mudah tunduk dan kalah dengan kepalsuan informasi yang dikendalikan kuasa informasi digital, lantaran ilmuwan yang intelektual ini, membuat sains kian populer dan mudah dipahami masyarakat.

Kolaborasi positif semacam itu membuat harapan Presiden Prabowo agar para akademisi, para ilmuwan dan intelektual turun ke masyarakat untuk memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan menemui kenyataan.

Ahmad Thonthowi Djauhari. Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Insitut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *