Iran vs Israel: Ketika Perang Menjadi Perebutan Narasi dan Persepsi

Posted on

Perang antara Iran dan Israel pada Juni 2025 memperlihatkan satu kenyataan pahit dari konflik modern: medan tempur kini tidak hanya berada di darat dan udara, tetapi juga di layar gawai masyarakat dunia. Di antara ledakan rudal dan serangan udara, terjadi pula benturan lain yang tak kalah dahsyat—yakni perang informasi, narasi, dan persepsi yang berlangsung di media massa dan media sosial.

Perang ini menjadi babak baru dari eskalasi panjang antara dua negara yang secara historis telah lama berseteru. Namun kali ini, kita menyaksikan bagaimana kekuatan informasi dimobilisasi seperti senjata, digunakan untuk merebut legitimasi moral dan dukungan global. Siapa yang lebih dahulu menguasai opini publik, dialah yang berpotensi memenangi dukungan diplomatik internasional. Inilah wajah baru konflik geopolitik yang telah lama diperingatkan oleh para ilmuwan komunikasi: perang tidak lagi hanya tentang peluru dan pasukan, tapi juga tentang narasi dan persepsi yang direproduksi terus-menerus oleh media.

Media, dalam hal ini, tak lagi bisa dipandang sebagai sekadar saluran netral yang melaporkan peristiwa. Ia telah menjadi arena kontestasi. Lihat saja media internasional menyajikan konflik ini dengan sudut pandang yang beragam, bahkan bertentangan. Media Barat umumnya menggambarkan Israel sebagai negara yang diserang dan berhak membela diri. Sebaliknya, media Timur Tengah dan media afiliasi Iran menggambarkan serangan Israel sebagai bentuk agresi brutal terhadap kedaulatan dan umat Islam.

Perbedaan framing inilah yang kemudian membentuk persepsi masyarakat global. Framing theory, yang dikembangkan oleh Erving Goffman dan kemudian diadaptasi dalam kajian media oleh Entman dan Scheufele, menjelaskan bagaimana media membingkai suatu peristiwa tidak hanya dengan apa yang diberitakan, tetapi bagaimana itu diberitakan. Pilihan kata, foto yang ditampilkan, urutan fakta, dan siapa yang dijadikan narasumber—semuanya turut menyusun realitas sosial yang diterima oleh publik.

Sebagai contoh, ketika serangan udara menghantam wilayah sipil, media pro-Israel akan menekankan bahwa wilayah tersebut digunakan sebagai basis militan, sedangkan media pro-Iran akan menampilkan korban anak-anak dan keluarga sipil. Ini bukan sekadar soal data, tapi soal bagaimana perasaan pembaca digiring untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah. Inilah yang dimaksud sebagai perebutan narasi.

Namun, tak kalah penting dari media pers adalah peran media sosial. Dalam hitungan menit sejak serangan terjadi, video dan foto langsung menyebar ke seluruh dunia lewat platform seperti X (dulu Twitter), Telegram, TikTok, dan Instagram. Setiap pihak berupaya memenangkan empati global melalui unggahan dramatis, testimoni korban, hingga siaran langsung dari lokasi konflik. Di sinilah kekuatan media sosial mengubah lanskap informasi menjadi lebih cepat, emosional, dan tidak selalu akurat.

Fenomena ini juga menimbulkan tantangan besar: banjir informasi disertai kabar bohong, manipulasi visual, dan propaganda. Banyak video yang diklaim sebagai bukti kekejaman pihak lawan ternyata adalah rekaman lama dari konflik lain, atau bahkan hasil rekayasa AI. Ini mengaburkan batas antara kenyataan dan ilusi. Kita tak hanya sedang dibombardir oleh rudal informasi, tapi juga oleh ilusi kebenaran.

Dalam konteks ini, teori agenda setting yang dikembangkan oleh McCombs dan Shaw menjadi relevan. Teori ini menyatakan bahwa media tidak memberi tahu kita apa yang harus kita pikirkan, tetapi media memberi tahu kita apa yang penting untuk dipikirkan. Jadi, jika dalam seminggu media global hanya memberitakan serangan Israel tanpa membahas asal-muasal provokasinya, maka publik dunia pun akan menganggap Israel sebagai pihak penyerang utama, meskipun kenyataannya lebih kompleks.

Lebih jauh, konflik ini menunjukkan bahwa negara-negara tidak hanya memanfaatkan media sebagai alat komunikasi, tapi juga sebagai bagian dari strategi perang. Pemerintah Iran dan Israel sama-sama mengerahkan juru bicara resmi, memproduksi video berkualitas tinggi, dan meluncurkan kampanye daring untuk menarik simpati dunia. Tagar-tagar provokatif menjadi senjata psikologis, menyasar audiens global yang bisa memengaruhi kebijakan luar negeri negara lain.

Israel, misalnya, sangat paham pentingnya “diplomasi digital”. Mereka aktif menyampaikan klaim dan klarifikasi lewat akun media sosial resmi pemerintah maupun tokoh-tokoh berpengaruh. Iran pun tidak kalah lihai, memanfaatkan jaringan media afiliasinya seperti PressTV dan dukungan dari kelompok simpatisan di berbagai negara untuk menyebarluaskan narasi anti-Zionisme dan solidaritas terhadap perjuangan Palestina.

Masyarakat dunia termasuk Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan. Tanpa kemampuan literasi media yang baik, kita bisa dengan mudah menjadi korban manipulasi informasi. Kita mungkin ikut menyebarkan kabar palsu, ikut merespons secara emosional, dan bahkan ikut memperuncing polarisasi sosial di Indonesia akibat konflik yang terjadi ribuan kilometer jauhnya.

Konflik Iran–Israel 2025 ini adalah pelajaran keras bahwa dalam era digital, perang tidak lagi hanya terjadi di medan tempur fisik, tetapi juga di ruang imajinasi publik. Siapa yang menguasai narasi, dialah yang bisa menguasai arah dukungan dan legitimasi. Kebenaran tidak lagi murni berdiri sendiri, melainkan bersaing dengan ribuan versi kenyataan yang dikemas sedemikian rupa oleh media.

Karena itu, penting bagi publik untuk mengembangkan sikap skeptis sehat terhadap informasi. Tidak semua video viral adalah bukti. Tidak semua pemberitaan objektif. Tidak semua narasi mewakili kebenaran. Kita perlu mengasah kemampuan membedakan antara berita dan propaganda, antara empati dan eksploitasi emosi, antara narasi dan realitas.

Dunia kini sedang menyaksikan dua negara bertempur bukan hanya dengan roket, tetapi dengan konten. Dan di tengah derasnya arus informasi, publik adalah wilayah rebutan yang paling strategis. Di sinilah pentingnya memahami bahwa menjadi pembaca, penonton, dan pengguna media hari ini adalah juga menjadi bagian dari medan tempur itu sendiri—sekaligus menjadi pihak yang paling bisa dirugikan jika tak waspada.

Jika perang ini akan berakhir, ia mungkin tak hanya ditentukan di meja diplomasi atau melalui keunggulan militer. Tapi juga oleh siapa yang berhasil menanamkan persepsi yang bertahan paling lama di benak publik dunia.

Moh. Arief Hidayat, mantan jurnalis dan pemerhati media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *