Kedatangan Pemimpin Asing ke China Jadi Tanda Pergeseran Geopolitik?

Posted on

Presiden Prabowo Subianto, beserta pimpinan negara dan perwakilan asing lainnya menghadiri parade militer skala besar di Beijing, China. Acara perayaan yang memperingati 80 tahun kekalahan Jepang di akhir Perang Dunia II (PD II) ini cenderung dihindari oleh para pemimpin Barat.

Prabowo bertolak ke Beijing pada Selasa (02/09), di tengah dinamika situasi politik Indonesia setelah unjuk rasa berhari-hari yang menyebabkan ribuan orang ditangkap dan 10 orang tewas. Setibanya di Tianamen, Prabowo disambut oleh Presiden China Xi Jinping.

Beberapa media nasional di Indonesia menyebut bahwa Prabowo hanya hadir selama 8 jam dalam parade tersebut. Berdasarkan keterangan pers Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Prabowo mendarat di tanah air pada Rabu (03/09) malam.

Dalam kunjungan yang terbilang singkat tersebut, Prabowo sempat melakukan pertemuan bilateral dengan Xi Jinping di Great Hall of the People pada Rabu (03/09). Dalam pertemuan itu, Prabowo kembali menegaskan komitmen Indonesia untuk memperdalam kemitraan strategis dengan China.

Prabowo membahas proyek Giant Sew Wall yang direncanakan akan membentang di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa dengan pemerintahan Xi Jinping.

Selain itu, Prabowo juga menghadiri pertemuan khusus dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela lawatan tersebut. Obrolan Prabowo dan Putin disebut menjadi salah satu agenda penting karena membahas soal kerja sama strategis, khususnya di bidang ekonomi dan investasi.

“Selain menghadiri acara tersebut, Presiden Prabowo juga mengadakan pertemuan khusus dengan Presiden Xi Jinping dan Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin, masing-masing untuk menindaklanjuti dan memastikan jalannya berbagai investasi ekonomi yang sudah terjalin di antara kedua negara,” papar Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) Mayor Teddy Indra Wijaya.

Setibanya di Jakarta, Prabowo menyebut bahwa pertemuan itu menandakan hubungan Indonesia dan China berada pada periode terbaik dalam sejarah. “Indonesia berharap dapat memperkuat kerja sama dengan China di bidang perdagangan, investasi, keuangan dan infrastruktur,” kata Prabowo, sambil menambahkan bahwa dia akan mendorong tercapainya lebih banyak hasil nyata dalam hubungan Indonesia dengan Beijing.

Dalam parade militer tersebut, selain Presiden Prabowo Subianto, turut hadir sejumlah pemimpin negara lainnya. Sebut saja, Perdana Menteri India Narendra Modi, Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un.

Rangkaian ini dapat dibaca sebagai sebuah pesan mencolok, atau bahkan menantang, kepada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Ini sedikit banyaknya menjadi bukti tambahan dari pergeseran menuju tatanan dunia baru yang tak lagi sepenuhnya didominasi AS dan Barat.

Pertemuan ini mencerminkan tradisi panjang manuver diplomatik yang penuh dengan kepentingan masing-masing dalam kekuatan politik regional.

Singkatnya, masing-masing pemimpin negara yang hadir punya kepentingannya sendiri. Misalnya, China, yang membutuhkan energi murah dari Rusia hingga persoalan kestabilan perbatasan dengan Korea Utara.

Sementara, Putin ingin keluar dari sanksi Barat dan isolasi akibat perang Ukraina. Kemudian, jika ditelaah, Kim membutuhkan uang, legitimasi hingga cara untuk mengungguli Korea Selatan. Kemudian, Narendra Modi tengah berusaha menjaga hubungan baik dengan Rusia dan China di tengah keretakan hubungannya dengan AS.

Saat ini, China dilanda banyak masalah domestik, misalnya ketidaksetaraan ekonomi dan gender, hingga ketegangan dengan Taiwan. Namun, Xi Jinping berusaha memosisikan China sebagai pemimpin bagi negara-negara yang merasa dirugikan oleh tatanan dunia pascaPerang Dunia II.

“Parade ini menunjukkan kenaikan pamor China, didorong oleh diplomasi Trump yang buruk dan kelihaian strategi Presiden Xi,” kata Jeff Kingston, seorang profesor studi Asia di Temple University, Jepang. “Konsensus Washington telah runtuh dan Xi menggalang dukungan untuk alternatifnya.”

Beberapa pakar mengingatkan agar tidak berlebihan membaca hubungan Rusia, China, dan Korea Utara. China tetap waspada terhadap program nuklir Korea Utara yang kian berkembang dan kerap mendukung sanksi internasional untuk menekan Pyongyang.

“Meski ikatan Rusia, Korea Utara kembali seperti aliansi militer, China tidak berniat kembali ke tahun 1950,” kata Zhu Feng, dekan Fakultas Hubungan Internasional Universitas Nanjing.

“Salah jika percaya China, Rusia, dan Korea Utara sedang membangun blok kekuatan baru.”

Sementara bagi Kremlin, kehadiran Putin di Beijing bersama para pemimpin dunia adalah cara menepis isolasi yang dikenakan Barat, setelah invasi skala besar Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Putin dapat kembali tampil di panggung dunia sebagai sosok negarawan, bertemu berbagai pemimpin termasuk Modi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Iran Masoud Pezeshkian. Sambutan Xi Jinping juga menegaskan bahwa Rusia masih punya mitra dagang besar, meski pasar Barat banyak yang tertutup akibat sanksi.

Namun, di saat bersamaan, Rusia tak ingin membuat Trump marah, karena Trump lebih terbuka dibanding pendahulunya untuk mendengar syarat Moskow terkait perang Ukraina.

“Rusia sangat diuntungkan dari kemampuan China menyediakan barang dual-use dan teknologi untuk mengakali sanksi serta menjaga mesin militernya tetap hidup. China juga menjadi sumber utama pemasukan ekspor Rusia yang mengisi kas perang Putin,” kata Alexander Gabuev, Direktur Carnegie Russia Eurasia Center. “Bagi China, perang Rusia di Ukraina justru menjadi distraksi bagi AS.”

Kunjungan Kim Jong Un memperdalam ikatan baru dengan Rusia, sekaligus menegaskan hubungan rapuh dengan sekutu terpentingnya sekaligus penopang ekonominya, China.

Kim Jong Un telah mengirim ribuan pasukan dan banyak perlengkapan militer untuk membantu Rusia menahan serangan Ukraina.

Tanpa menyebut perang Ukraina secara eksplisit, Kim Jong Un berkata kepada Putin: “Jika ada hal yang bisa saya lakukan untuk Anda dan rakyat Rusia, jika ada yang lebih perlu dilakukan, saya akan menganggapnya sebagai kewajiban persaudaraan yang memang harus kami jalani.”

Lembaga Institute for National Security Strategy, yang terafiliasi dengan badan intelijen Korea Selatan menyebut kunjungan Kim Jong Un, yang merupakan penampilan pertamanya di forum multilateral sejak berkuasa 2011, ditujukan untuk memperkuat hubungan dengan negara sahabat sebelum kemungkinan dimulainya kembali perundingan nuklir dengan Trump. Diplomasi nuklir kedua pemimpin itu runtuh pada 2019.

“Kim juga bisa mengklaim kemenangan diplomatik, karena Korea Utara kini beralih dari negara yang sebelumnya secara bulat disanksi oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) atas program nuklir dan misil ilegalnya, menjadi negara yang justru dirangkul oleh anggota tetap DK PBB, yakni Rusia dan China,” kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Universitas Ewha Womans, Seoul.

Kehadiran Narendra Modi dalam perayaan tersebut merupakan kunjungan pertamanya ke China sejak hubungan kedua negara memburuk setelah bentrokan mematikan di perbatasan India-China pada 2020.

Namun, pemulihan ini masih terbatas. Namun, menurut Praveen Donthi, seorang pakar senior di International Crisis Group, Modi tidak ikut parade militer Beijing karena “rasa saling curiga dengan China masih ada.”

“India berjalan hati-hati di antara Barat dan negara-negara lain, terutama terkait AS, Rusia, dan China,” kata Donthi. “Karena India tidak percaya pada aliansi formal, pendekatannya adalah memperkuat hubungan dengan AS, mempertahankannya dengan Rusia, dan mengelolanya dengan China.”

Meski begitu, Amerika Serikat tetap ada dalam perhitungan Modi.

India dan Washington sebelumnya merundingkan perjanjian perdagangan bebas, hingga pemerintahan Trump memberlakukan tarif 25% untuk impor minyak Rusia oleh India, membuat total tarif naik jadi 50%.

Perundingan pun terhenti dan hubungan merosot tajam. Pemerintah Modi berjanji tidak akan tunduk pada tekanan AS, bahkan memberi sinyal siap mendekat ke China dan Rusia.

Namun, kata Donthi, India tetap ingin menjaga celah terbuka bagi Washington.

“Jika Modi bisa berjabat tangan dengan Xi lima tahun setelah bentrokan perbatasan India-China, maka akan jauh lebih mudah baginya untuk berjabat tangan dengan Trump dan kembali memperkuat hubungan, karena keduanya memang sekutu alami,” ujarnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris.

Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

Editor: Rahka Susanto

Pertemuan singkat dengan Xi Jinping dan Putin

Parade di China tanda “pergeseran geopolitik”?

Pamor China naik?

Rusia cari bantuan China demi kurangi isolasi

Nasib Korea Utara

Peran Narendra Modi