mengungkap kesaksian mengerikan saat galodo (banjir bandang) menghantam Nagari Salareh Aia Timur, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tingginya debit air menghantam segala yang ada di bibir Sungai Batang bak ombak lautan.
Kamis siang, 27 November 2025, sekitar pukul 11.00 WIB, ponsel Andre berbunyi membawa kabar bencana. Salah satu desa, Jorong Subarang Laweh, terkena longsor.
Andre bersama Kapolsek Pelambayan AKP Alwiz S bergegas ke lokasi sambil menurunkan alat berat ke lokasi. Siang itu suasana masih aman-aman saja.
“Longsor itu sekitar jam 11.00, saya balik lagi keluar, kemudian saya lewat lagi ke dalam jam 14.00 masih aman. Saya balik lagi karena butuh tali untuk menggeser pohon yang tumbang,” kata Andre saat berbincang dengan infocom, Minggu, 8 Desember 2025.
Pekerjaan membereskan longsoran saat itu hampir selesai. Tidak ada korban jiwa saat itu, hanya jalan kabupaten.
Menjelang pukul 17.30 WIB, Andre dan kapolsek belum kembali ke markasnya. Hujan mulai lebat, langit gelap, dan suara bergemuruh keras saat galodo pertama menghantam.
“Belum balik waktu itu, karena hujan sudah mulai lebat, sudah mulai gelap dengar suara gemuruh keras, makanya itu yang disebut galodo pertama, saya nggak melihat itu,” katanya.
Andre memprediksi, tebingan di bibir sungai setinggi 20 meter bakal longsor diterjang galodo. Ia bersama kapolsek bergegas mengevakuasi warga ke tempat yang lebih aman.
“Tebing yang ada di sebelah kiri saya waktu itu mau longsor, makanya saya selamatkan warga, cepat ayo kita keluar,” Andre mengajak warga menyelamatkan diri.
Andre memprediksi debit air mencapai ketinggian puluhan meter. , menghanyutkan kayu gelondongan dan bebatuan.
“Seperti ombak, bergulung seperti ombak di pantai. Jadi dia makin tinggi, makin tinggi bawa kayu gelondongan dan bebatuan,” tuturnya.
Tak berapa lama berselang, debit air yang mengaliri sungai semakin meningkat. Andre menyebutnya sebagai
“Ternyata kelihatan sama warga dari atas ada kayak macam air bendungan lepas, gitu loh. Jadi kita kejar, keluarlah masyarakat dari bawah itu, dilarangnya lah saya ‘jangan ke bawah, galodo‘ katanya,” ujarnya.
Meski sempat dilarang oleh warga, namun Andre harus melihat kondisi di lapangan guna memastikan keselamatan warganya. Benar saja, mata kepalanya menyaksikan sendiri, air telah menghanyutkan jembatan, rumah dan sawah pun sudah rata dengan air. Lenyap.
“Karena saya makin kuat penasaran karena saya terpikir warga di bawah, kejar lagi. Pas sampai di situ saya lihat sudah rata, jembatan hilang, hanya tinggal tenda oranye yang kelihatan. Selebihnya lumpur, kayu dan batu saya lihat,” kenang dia.
Hari berganti malam. Aliran listrik seketika putus membuat perkampungan gelap gulita.
Di tengah kondisi yang mencekam, Andre mencoba menenangkan kepanikan warga. Sambil berharap banjir bandang segera surut, Andre dan kapolsek serta beberapa warga melakukan pencarian para korban yang tersapu galodo.
Satu per satu korban galodo ditemukan hingga total berjumlah 7 orang. Satu korban sempat bertahan, namun.
“Hari pertama galodo itu kita telusuri bersama masyarakat, kapolsek terjun ke bawah, saya juga berbagi lokasi, di situ ada jenazah, namanya Heru. Pas diangkat itu dia masih manggil ‘Bang’ gitu, pas dia diangkat, sesampainya di musola dia meninggal,” ucapnya.
Berikutnya, kedua personel polisi itu mengevakuasi korban bernama Nico, lalu Si’at. Termasuk Aldi, ayah bayi Fathan, sempat diselamatkan, namun meninggal dunia pada Jumat (27/11) dini hari setelah mengeluhkan sakit di bagian dada.
Saat itu, Andre dan Kapolsek, Alwiz, terjebak. Jembatan yang menghubungkan Salareh Aia dan Salareh Aia Timur membuat keduanya tak bisa ke mana-mana, hingga akhirnya polisi bersama warga memutuskan untuk menguburkan ketujuh jenazah pada Jumat siang.
Air Menerjang Bak Ombak
Jembatan Hilang, Tanah Rata
Evakuasi 7 Jenazah
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Tak berapa lama berselang, debit air yang mengaliri sungai semakin meningkat. Andre menyebutnya sebagai
“Ternyata kelihatan sama warga dari atas ada kayak macam air bendungan lepas, gitu loh. Jadi kita kejar, keluarlah masyarakat dari bawah itu, dilarangnya lah saya ‘jangan ke bawah, galodo‘ katanya,” ujarnya.
Meski sempat dilarang oleh warga, namun Andre harus melihat kondisi di lapangan guna memastikan keselamatan warganya. Benar saja, mata kepalanya menyaksikan sendiri, air telah menghanyutkan jembatan, rumah dan sawah pun sudah rata dengan air. Lenyap.
“Karena saya makin kuat penasaran karena saya terpikir warga di bawah, kejar lagi. Pas sampai di situ saya lihat sudah rata, jembatan hilang, hanya tinggal tenda oranye yang kelihatan. Selebihnya lumpur, kayu dan batu saya lihat,” kenang dia.
Hari berganti malam. Aliran listrik seketika putus membuat perkampungan gelap gulita.
Di tengah kondisi yang mencekam, Andre mencoba menenangkan kepanikan warga. Sambil berharap banjir bandang segera surut, Andre dan kapolsek serta beberapa warga melakukan pencarian para korban yang tersapu galodo.
Satu per satu korban galodo ditemukan hingga total berjumlah 7 orang. Satu korban sempat bertahan, namun.
“Hari pertama galodo itu kita telusuri bersama masyarakat, kapolsek terjun ke bawah, saya juga berbagi lokasi, di situ ada jenazah, namanya Heru. Pas diangkat itu dia masih manggil ‘Bang’ gitu, pas dia diangkat, sesampainya di musola dia meninggal,” ucapnya.
Berikutnya, kedua personel polisi itu mengevakuasi korban bernama Nico, lalu Si’at. Termasuk Aldi, ayah bayi Fathan, sempat diselamatkan, namun meninggal dunia pada Jumat (27/11) dini hari setelah mengeluhkan sakit di bagian dada.
Saat itu, Andre dan Kapolsek, Alwiz, terjebak. Jembatan yang menghubungkan Salareh Aia dan Salareh Aia Timur membuat keduanya tak bisa ke mana-mana, hingga akhirnya polisi bersama warga memutuskan untuk menguburkan ketujuh jenazah pada Jumat siang.
