Ketika Filsafat Tak Diperlukan: Krisis Kritis di Dunia Mahasiswa

Posted on

Di banyak kampus hari ini, filsafat terasa seperti barang antik di museum akademik. Ia dihormati, tapi jarang disentuh. Mahasiswa lebih sibuk mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja daripada berhenti sejenak untuk bertanya: apa makna dari semua ini?

Diskusi tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan kini kalah populer dibandingkan seminar motivasi dan pelatihan personal branding.

Fenomena ini menunjukkan satu hal: kita sedang mengalami krisis berpikir kritis. Filsafat-yang seharusnya menjadi fondasi berpikir reflektif-pelan-pelan dianggap tidak relevan. “Untuk apa filsafat?” tanya sebagian mahasiswa, “tidak bisa dipakai cari kerja.”

Orientasi praktis ini tidak muncul begitu saja. Dunia pendidikan tinggi kini dibentuk oleh tekanan pasar dan logika efisiensi. Universitas didorong untuk mencetak “lulusan siap kerja”, bukan pemikir. Mahasiswa pun menyesuaikan diri: yang penting cepat lulus, cepat diterima, cepat sukses.

Namun, ketika pendidikan hanya diukur lewat angka dan sertifikat, yang hilang adalah kemampuan berpikir mendalam. Mahasiswa menjadi pandai secara teknis, tetapi miskin refleksi.

Mereka tahu cara melakukan sesuatu, tapi tak tahu mengapa melakukannya. Mereka belajar algoritma tanpa memikirkan etika teknologi; belajar ekonomi tanpa menimbang keadilan; belajar politik tanpa menggugat moral kekuasaan.

Inilah wajah krisis kritis hari ini: mahasiswa yang cerdas tapi tanpa arah, aktif tapi tidak reflektif, vokal tapi kehilangan kedalaman.

Filsafat sejatinya bukan sekadar teori abstrak, melainkan keberanian berpikir. Ia mengajarkan manusia untuk tidak menerima apa pun secara mentah-bahkan hal yang dianggap “normal”. Ketika filsafat tersingkir dari ruang akademik, kampus kehilangan jiwanya sebagai rumah pencarian kebenaran.

Kini, banyak universitas lebih bangga dengan peringkat akreditasi atau capaian publikasi internasional daripada ruang diskusi yang hidup. Mahasiswa digerakkan untuk “produktif”, tapi jarang diajak berpikir kritis tentang realitas sosial. Akibatnya, kampus berubah menjadi pabrik kompetensi, bukan laboratorium pemikiran.

Kita sering menyebut generasi Z sebagai generasi yang “kritis”. Namun, yang kerap muncul adalah generasi yang cepat menyimpulkan tanpa berpikir utuh. Media sosial memberi ruang bagi ekspresi, tetapi juga menumpulkan refleksi. Filsafat, yang menuntun manusia untuk berpikir sebelum bereaksi, kini tergantikan oleh budaya instan: scroll, like, share, move on.

Memang, filsafat tidak menjanjikan karier instan. Ia tidak memberikan resep sukses. Namun justru di situlah nilainya. Filsafat mengajarkan manusia untuk menimbang sebelum bertindak, untuk mempertanyakan sebelum menerima.

Dalam konteks mahasiswa, berfilsafat berarti membangun kesadaran kritis: kemampuan bertanya, meragukan, dan menilai dengan nalar. Sikap ini melatih kebebasan berpikir, keberanian berpendapat, dan kedewasaan moral. Tanpa itu, pendidikan tinggi hanya melahirkan lulusan yang patuh, bukan yang merdeka.

Kita bisa saja bangga dengan kecanggihan teknologi, tetapi tanpa kemampuan berpikir filosofis, manusia akan kehilangan arah. Ia menjadi “pintar” tanpa kebijaksanaan.

Krisis kritis di dunia mahasiswa sejatinya adalah krisis makna pendidikan. Ketika orientasi belajar diarahkan semata untuk memenuhi kebutuhan industri, pendidikan kehilangan misinya membentuk manusia yang utuh.

Padahal, tujuan universitas bukan sekadar mencetak pekerja kompeten, tetapi manusia yang berpikir. Filsafat berperan penting di sini: ia mengajarkan logika, etika, dan kebebasan berpikir. Tanpa filsafat, pendidikan hanya melahirkan kecerdasan tanpa kesadaran.

Filsuf Theodor Adorno pernah memperingatkan, pendidikan yang gagal menumbuhkan kemampuan berpikir kritis justru membuka jalan bagi kekerasan dan ketidakadilan. Sebab tanpa kesadaran kritis, manusia mudah menjadi alat sistem, bukan penggerak perubahan.

Menghidupkan kembali filsafat bukan berarti mewajibkan semua mahasiswa membaca Kant atau Heidegger. Yang lebih penting adalah menghidupkan semangat filosofis: keberanian bertanya, kejujuran berpikir, dan keterbukaan terhadap perbedaan.

Kampus perlu menyediakan ruang dialog lintas disiplin, bukan sekadar mengejar kredit kuliah. Mahasiswa perlu dilatih untuk berdiskusi, bukan sekadar mendengar. Di sanalah filsafat bekerja-membangkitkan kesadaran bahwa berpikir bukan beban, melainkan bentuk tanggung jawab sebagai manusia.

Karena pada akhirnya, berfilsafat bukan soal hafalan konsep, melainkan keberanian untuk sadar: sadar akan diri, masyarakat, dan kemanusiaan.

Ketika filsafat dianggap tak diperlukan, yang hilang bukan sekadar satu cabang ilmu, tetapi kemampuan manusia untuk berpikir bebas dan jernih. Krisis kritis di dunia mahasiswa bukan masalah generasi, melainkan arah pendidikan yang kehilangan jiwanya.

Kita tidak kekurangan kecerdasan, tetapi kekurangan kedalaman. Mahasiswa hari ini tak butuh lebih banyak pelatihan karier, melainkan ruang untuk berpikir. Sebab tanpa kemampuan filosofis, kemajuan hanya akan menjadi kebanggaan kosong-dan pendidikan kehilangan maknanya sebagai upaya menjadi manusia yang utuh.

Robaitulloh Salim MS. Tenaga Ahli Anggota DPR RI: Mahasiswa S2 Universitas Jember.

Mahasiswa yang Serba Praktis

Kampus yang Kehilangan Jiwa

Mengapa Filsafat Masih Penting?

Krisis Makna Pendidikan

Menemukan Kembali Keberanian Bertanya

Penutup