, Provinsi Aceh menjadi sorotan karena termasuk yang mengalami dampak parah banjir bandang. Bahkan, ada desa di Aceh Tamiang yang disebut kini menghilang.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menyebut sejumlah desa di Aceh hilang disapu banjir parah pekan lalu. Kampung yang hancur itu tersebar di beberapa daerah.
“Banyak kampung dan kecamatan yang tinggal nama sekarang. Jadi mereka sudah banyak korban,” kata Mualem kepada wartawan, dilansir infoSumut, Sabtu (6/12/2025).
Mualem sedih melihat empat daerah terparah. Bantuan yang dibutuhkan sembako dan air bersih.
“Weuh hate (sedih sekali) dan juga dengan rasa waswas kalau kita lihat beberapa kabupaten urgen sekali, parah sekali, lebih banyak korban jiwa,” jelas Mualem.
“Terutama sekali di empat kabupaten. Itu Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, dan sebagian Bireuen, itu yang paling kita sesali lah. Tapi apa boleh buat, itu bencana alam. Setiap bencana ada hikmahnya,” lanjut Ketua Umum Partai Aceh itu.
Menurutnya, di beberapa daerah banyak rumah warga hancur hingga hilang disapu banjir. Sementara itu, di Aceh Tamiang, kondisinya disebut sangat-sangat parah.
“Aceh Tamiang hancur habis, atas sampai bawah sampai jalan sampai ke laut habis semuanya. Yang paling terpuruk adalah Aceh Tamiang,” ujar Mualem.
Desa Sekumur di Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, disebut hilang disapu banjir bandang pekan lalu. Di kampung itu hanya tersisa masjid dan tumpukan kayu beragam ukuran.
Dilansir infoSumut, Minggu (7/12/2025), ketinggian banjir merendam desa itu hampir mencapai atap masjid. Beberapa warga berada di atas tumpukan kayu yang tingginya hampir sama dengan atap masjid.
Tidak terlihat bangunan lain di sekitar masjid. Warga menyebutkan desa itu hilang diterjang banjir yang terjadi pada Kamis (27/11) lalu.
“Rumah warga hilang terbawa banjir dengan ketinggian air diperkirakan mencapai 7 hingga 10 meter, Desa Sekumur lenyap dalam sekejap, hanya tersisa masjid,” kata warga Aceh Tamiang, Hendra, Sabtu (6/12).
Hendra menyebut di Desa Sekumur terdapat 280 rumah. Warga saat ini sudah mengungsi ke tempat lebih tinggi dan mereka sangat membutuhkan bantuan.
Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang Agusliayana Devita mengaku sudah mendengar informasi Desa Sekumur hilang disapu banjir. Saat ini baru satu desa dilaporkan hilang di daerah tersebut.
“Menurut informasi dari pimpinan seperti itu (Sekumur hilang),” kata Devi saat dikonfirmasi terpisah.
Seorang warga, Aisha (63), meninggal dunia di pengungsian banjir di Aceh Tamiang, Aceh. Keluarga menyebut Aisha merupakan pasien diabetes dan tak mendapat perawatan di pengungsian.
Kematian Aisha dilaporkan oleh Reuters, Minggu (7/12/2025). Aisha disebut tak mendapat perawatan medis untuk diabetes yang telah lama diidapnya selama berada di pengungsian akibat banjir.
“Nggak ada, memang nggak ada,” kata suami Aisha, Muhamad Asan, di pengungsian.
Keluarga menyebut Aisha tak sempat membawa obat saat melarikan diri ketika banjir besar terjadi akhir November lalu. Dia mengatakan Aisha dalam kondisi sakit selama mengungsi.
“Dari mulai kami mengungsi dia memang udah nggak sehat, udah sakit penyakit gula udah lama juga gula dia ya, jadi di sini obat-obatnya nggak dibawa,” ujar Asan.
Dia mengatakan istrinya itu kerap meminta pulang ke rumah. Namun, rumah mereka telah hancur akibat banjir.
“Dia minta pulang, rumah nggak ada lagi, bukan kena banjir lagi, udah hancur,” ucapnya.
Adi Guenea Isman (26), seorang guru PPPK bahasa Jepang asal Sumedang, Jawa Barat, menceritakan kisah perjuangannya berjalan kaki dari Aceh Tamiang hingga tiba di Medan saat bencana terjadi. Ia menyebutkan membutuhkan perjalanan selama dua hari untuk bisa selamat.
Adi merupakan staf pengajar di SMK Negeri 2 Karang Baru. Hari itu, 28 November 2025, ia baru saja pulang mengajar saat hujan turun tanpa jeda hingga ketinggian air mencapai 2 meter dalam hitungan jam.
Dalam waktu singkat, kos-kosannya berubah menjadi pulau kecil yang dikepung luapan air kecokelatan.
“Naik terus airnya, Bang, sampai 2 meter. Kami mengungsi di kos-kosan lantai dua, berhari-hari bersama empat kepala keluarga lain,” ungkapnya kepada infoSumut, Sabtu (6/12/2025) malam.
Ketika banjir berangsur surut, minimarket disebut mulai dijarah. Ia mengatakan tak ada bantuan yang masuk ke masyarakat sekitar.
“Saya sudah tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada bantuan. Tidak ada sinyal. Tidak ada listrik,” katanya.
Pada 1 Desember, ketika air benar-benar surut, ia pun memutuskan keluar dari Aceh Tamiang. Adi berharap bisa menghubungi keluarganya di Sumedang.
Ia pun sempat mengayuh sepeda ke Kota Langsa. Namun, di tengah jalan, sepeda itu rusak dan masih banyak akses jalan yang terputus.
Adi pun meneruskan berjalan kaki ke Kota Medan. Ia sempat menghentikan beberapa truk, tetapi ditolak lantaran khawatir dijarah.
“Sopir-sopir truk setelah bawa sembako takut membawa penumpang karena banyak truk dijarah. Saya ditolak,” ujar Adi.
“Uang tidak ada. Identitas saya hanyut semua,” sambungnya.
Singkat cerita, Adi akhirnya sampai di Kota Binjai pada Sabtu (6/12), setelah dua hari berjalan. Sinyal internet pun masuk ke ponselnya.
“Di Kota Binjai saya akhirnya bisa isi batre HP dan ada jaringan, menghubungi keluarga akhirnya naik bus sampai Medan,” ucapnya.
Banjir besar menyisakan tumpukan kayu dan lumpur di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Aceh Tamiang. Kayu dan lumpur menumpuk menutupi area Pondok Pesantren Darul Mukhlishin di Tanjung Karang.
Dilansir Antara, Minggu (7/12/2025), tumpukan kayu dan lumpur itu menutupi akses menuju Tanjung Karang. Kayu-kayu itu tampak memenuhi area di sekitar ponpes.
Hanya bangunan masjid dan ponpes yang terlihat. Sementara, area sekitarnya sudah rata dan tertutup kayu gelondongan serta lumpur.
Air juga masih menggenangi halaman masjid dan ponpes. Tumpukan kayu dan lumpur tebal dari Sungai Tamiang itu membuat sulit bantuan masuk ke wilayah itu.
Lumpur juga memenuhi RSUD Aceh Tamiang, jalanan serta rumah warga di Aceh Tamiang. Pemkab Aceh Tamiang menargetkan pembersihan lumpur sisa banjir parah di RSUD Aceh Tamiang tuntas dalam 3 hari.
“Pembersihan RSUD kami targetkan tiga hari selesai, banyak tim gabungan yang membantu, semoga dilancarkan,” kata Bupati Aceh Tamiang Armia Pahmi dalam keterangan tertulis yang dikirimkan BNPB, Minggu (7/12).
Lihat Video ‘4 Potensi Wabah Penyakit Pasca-Bencana Banjir dan Tanah Longsor’:
Aceh Tamiang Paling Terpuruk
Desa Hilang Disapu Banjir
Pasien Diabetes Meninggal di Pengungsian
Berjalan dari Aceh Tamiang ke Medan
Baru Dapat Sinyal
Banjir Menyisakan Kayu dan Lumpur
Desa Sekumur di Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, disebut hilang disapu banjir bandang pekan lalu. Di kampung itu hanya tersisa masjid dan tumpukan kayu beragam ukuran.
Dilansir infoSumut, Minggu (7/12/2025), ketinggian banjir merendam desa itu hampir mencapai atap masjid. Beberapa warga berada di atas tumpukan kayu yang tingginya hampir sama dengan atap masjid.
Tidak terlihat bangunan lain di sekitar masjid. Warga menyebutkan desa itu hilang diterjang banjir yang terjadi pada Kamis (27/11) lalu.
“Rumah warga hilang terbawa banjir dengan ketinggian air diperkirakan mencapai 7 hingga 10 meter, Desa Sekumur lenyap dalam sekejap, hanya tersisa masjid,” kata warga Aceh Tamiang, Hendra, Sabtu (6/12).
Hendra menyebut di Desa Sekumur terdapat 280 rumah. Warga saat ini sudah mengungsi ke tempat lebih tinggi dan mereka sangat membutuhkan bantuan.
Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang Agusliayana Devita mengaku sudah mendengar informasi Desa Sekumur hilang disapu banjir. Saat ini baru satu desa dilaporkan hilang di daerah tersebut.
“Menurut informasi dari pimpinan seperti itu (Sekumur hilang),” kata Devi saat dikonfirmasi terpisah.
Desa Hilang Disapu Banjir
Seorang warga, Aisha (63), meninggal dunia di pengungsian banjir di Aceh Tamiang, Aceh. Keluarga menyebut Aisha merupakan pasien diabetes dan tak mendapat perawatan di pengungsian.
Kematian Aisha dilaporkan oleh Reuters, Minggu (7/12/2025). Aisha disebut tak mendapat perawatan medis untuk diabetes yang telah lama diidapnya selama berada di pengungsian akibat banjir.
“Nggak ada, memang nggak ada,” kata suami Aisha, Muhamad Asan, di pengungsian.
Keluarga menyebut Aisha tak sempat membawa obat saat melarikan diri ketika banjir besar terjadi akhir November lalu. Dia mengatakan Aisha dalam kondisi sakit selama mengungsi.
“Dari mulai kami mengungsi dia memang udah nggak sehat, udah sakit penyakit gula udah lama juga gula dia ya, jadi di sini obat-obatnya nggak dibawa,” ujar Asan.
Dia mengatakan istrinya itu kerap meminta pulang ke rumah. Namun, rumah mereka telah hancur akibat banjir.
“Dia minta pulang, rumah nggak ada lagi, bukan kena banjir lagi, udah hancur,” ucapnya.
Pasien Diabetes Meninggal di Pengungsian
Adi Guenea Isman (26), seorang guru PPPK bahasa Jepang asal Sumedang, Jawa Barat, menceritakan kisah perjuangannya berjalan kaki dari Aceh Tamiang hingga tiba di Medan saat bencana terjadi. Ia menyebutkan membutuhkan perjalanan selama dua hari untuk bisa selamat.
Adi merupakan staf pengajar di SMK Negeri 2 Karang Baru. Hari itu, 28 November 2025, ia baru saja pulang mengajar saat hujan turun tanpa jeda hingga ketinggian air mencapai 2 meter dalam hitungan jam.
Dalam waktu singkat, kos-kosannya berubah menjadi pulau kecil yang dikepung luapan air kecokelatan.
“Naik terus airnya, Bang, sampai 2 meter. Kami mengungsi di kos-kosan lantai dua, berhari-hari bersama empat kepala keluarga lain,” ungkapnya kepada infoSumut, Sabtu (6/12/2025) malam.
Ketika banjir berangsur surut, minimarket disebut mulai dijarah. Ia mengatakan tak ada bantuan yang masuk ke masyarakat sekitar.
“Saya sudah tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada bantuan. Tidak ada sinyal. Tidak ada listrik,” katanya.
Pada 1 Desember, ketika air benar-benar surut, ia pun memutuskan keluar dari Aceh Tamiang. Adi berharap bisa menghubungi keluarganya di Sumedang.
Ia pun sempat mengayuh sepeda ke Kota Langsa. Namun, di tengah jalan, sepeda itu rusak dan masih banyak akses jalan yang terputus.
Adi pun meneruskan berjalan kaki ke Kota Medan. Ia sempat menghentikan beberapa truk, tetapi ditolak lantaran khawatir dijarah.
“Sopir-sopir truk setelah bawa sembako takut membawa penumpang karena banyak truk dijarah. Saya ditolak,” ujar Adi.
“Uang tidak ada. Identitas saya hanyut semua,” sambungnya.
Singkat cerita, Adi akhirnya sampai di Kota Binjai pada Sabtu (6/12), setelah dua hari berjalan. Sinyal internet pun masuk ke ponselnya.
“Di Kota Binjai saya akhirnya bisa isi batre HP dan ada jaringan, menghubungi keluarga akhirnya naik bus sampai Medan,” ucapnya.
Berjalan dari Aceh Tamiang ke Medan
Baru Dapat Sinyal
Banjir besar menyisakan tumpukan kayu dan lumpur di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Aceh Tamiang. Kayu dan lumpur menumpuk menutupi area Pondok Pesantren Darul Mukhlishin di Tanjung Karang.
Dilansir Antara, Minggu (7/12/2025), tumpukan kayu dan lumpur itu menutupi akses menuju Tanjung Karang. Kayu-kayu itu tampak memenuhi area di sekitar ponpes.
Hanya bangunan masjid dan ponpes yang terlihat. Sementara, area sekitarnya sudah rata dan tertutup kayu gelondongan serta lumpur.
Air juga masih menggenangi halaman masjid dan ponpes. Tumpukan kayu dan lumpur tebal dari Sungai Tamiang itu membuat sulit bantuan masuk ke wilayah itu.
Lumpur juga memenuhi RSUD Aceh Tamiang, jalanan serta rumah warga di Aceh Tamiang. Pemkab Aceh Tamiang menargetkan pembersihan lumpur sisa banjir parah di RSUD Aceh Tamiang tuntas dalam 3 hari.
“Pembersihan RSUD kami targetkan tiga hari selesai, banyak tim gabungan yang membantu, semoga dilancarkan,” kata Bupati Aceh Tamiang Armia Pahmi dalam keterangan tertulis yang dikirimkan BNPB, Minggu (7/12).
Lihat Video ‘4 Potensi Wabah Penyakit Pasca-Bencana Banjir dan Tanah Longsor’:







