KPK Jawab Surya Paloh yang Sebut Istilah OTT di Kasus Bupati Koltim Tak Tepat

Posted on

Ketua Umum Partai NasDem mempersoalkan terminologi operasi tangkap tangan (OTT) yang digunakan KPK di kasus Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Azis. memberikan penjelasan.

“Tangkap tangan itu sendiri misalkan karena ditemukannya pada saat terjadinya tindak pidana orang itu,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025).

“Atau sesaat setelahnya diteriakkan oleh khalayak ramai bahwa dia adalah pelakunya. Atau pada saat tersebut ditemukan bukti-bukti padanya,” tambahnya.

Asep mengatakan dalam pengusutan kasus ini, surat perintah penyelidikan (sprilindik) sudah terbit sejak awal tahun. KPK juga telah melakukan profiling dan hal lain yang dibutuhkan dalam penyelidikan.

“Nah di sekitar bulan Juli, mulai Juli pertengahan sampai dengan kemarin tanggal 7 dan tanggal 8, terjadi peningkatan komunikasi di mana ada proses penarikan sejumlah uang,” sebutnya.

KPK membagi 3 tim untuk bergerak di Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Asep menegaskan OTT yang dilakukan KPK telah sesuai aturan.

“Berbekal informasi yang kami peroleh tersebut, ya maka dilaksanakanlah kegiatan tangkap tangan tentunya sesuai dengan aturan undang-undang dan SOP yang ada pada kami,” ucapnya.

Sebelumnya, Surya Paloh menyampaikan kritik atas penangkapan Abdul Azis terkait rangkaian OTT di Sulawesi Tenggara (Sultra). Ia kini menginstruksikan jajarannya di DPR RI untuk memanggil KPK.

“Saya menginstruksikan Fraksi NasDem untuk minta agar Komisi III memanggil KPK dengar pendapat,” kata Surya Paloh saat konferensi pers seusai pembukaan Rakernas NasDem di Hotel Claro Makassar, dilansir infoSulsel, Jumat (8/8).

Surya Paloh lantas mempertanyakan terminologi OTT yang digunakan KPK di balik penangkapan Abdul Azis. Dia berharap KPK bisa memberikan penjelasan agar ada satu kesepahaman.

“Agar yang namanya terminologi OTT, khusus terminologi OTT ini, bisa diperjelas oleh kita bersama,” ucap Surya Paloh.

“OTT itu apa yang dimaksudkan? Supaya jangan ini bingung publik. Orang kena stempel OTT dulu. Itu juga tidak tepat, tidak arif, tidak bijaksana, dan tidak dukung jalannya pemerintahan ini,” tambahnya.

Dia lantas mencontohkan soal adanya pelaku tindak pidana ditangkap lebih dulu di satu lokasi tertentu. Dari hasil pengembangan tersebut, justru dilakukan penangkapan pihak lain di lokasi berbeda. “Ini kalau yang satu melanggar normanya di Sumatera Utara, katakanlah si pemberi yang menerima di Sulawesi Selatan, ini OTT apa? OTT plus. Ini terminologi yang tidak tepat,” imbuhnya.

Abdul Azis telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Pembangunan RSUD di Kabupaten Kolaka Timur bersama 4 orang lainnya. Berikut daftarnya:

Pemberi:

– Deddy Karnady (DK), selaku pihak swasta-PT PCP
– Arif Rahman (AR), selaku pihak swasta-KSO PT PCP

Penerima:

– Abdul Azis (ABZ) selaku Bupati Koltim
– Andi Lukman Hakim (ALH), PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD
– Ageng Dermanto (AGD) selaku PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim

Kasus yang menjerat Abdul Azis ini terkait dengan proyek pembangunan RSUD di Kelas C Kabupaten Koltim senilai Rp 126,3 miliar. Kata Asep, Abdul Azis meminta fee senilai 8% atau senilai Rp 9 miliar dari proyek itu.

“AGD meminta commitment fee sebesar 8% saudara ABZ dengan saudara AGD yaitu kira-kira Rp 9 miliar,” ujar Asep.

Abdul Azis, Andi Lukman Hakim dan Ageng Dermanto (AGD) dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Deddy Karnady dan Arif Rahman dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK membagi 3 tim untuk bergerak di Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Asep menegaskan OTT yang dilakukan KPK telah sesuai aturan.

“Berbekal informasi yang kami peroleh tersebut, ya maka dilaksanakanlah kegiatan tangkap tangan tentunya sesuai dengan aturan undang-undang dan SOP yang ada pada kami,” ucapnya.

Sebelumnya, Surya Paloh menyampaikan kritik atas penangkapan Abdul Azis terkait rangkaian OTT di Sulawesi Tenggara (Sultra). Ia kini menginstruksikan jajarannya di DPR RI untuk memanggil KPK.

“Saya menginstruksikan Fraksi NasDem untuk minta agar Komisi III memanggil KPK dengar pendapat,” kata Surya Paloh saat konferensi pers seusai pembukaan Rakernas NasDem di Hotel Claro Makassar, dilansir infoSulsel, Jumat (8/8).

Surya Paloh lantas mempertanyakan terminologi OTT yang digunakan KPK di balik penangkapan Abdul Azis. Dia berharap KPK bisa memberikan penjelasan agar ada satu kesepahaman.

“Agar yang namanya terminologi OTT, khusus terminologi OTT ini, bisa diperjelas oleh kita bersama,” ucap Surya Paloh.

“OTT itu apa yang dimaksudkan? Supaya jangan ini bingung publik. Orang kena stempel OTT dulu. Itu juga tidak tepat, tidak arif, tidak bijaksana, dan tidak dukung jalannya pemerintahan ini,” tambahnya.

Dia lantas mencontohkan soal adanya pelaku tindak pidana ditangkap lebih dulu di satu lokasi tertentu. Dari hasil pengembangan tersebut, justru dilakukan penangkapan pihak lain di lokasi berbeda. “Ini kalau yang satu melanggar normanya di Sumatera Utara, katakanlah si pemberi yang menerima di Sulawesi Selatan, ini OTT apa? OTT plus. Ini terminologi yang tidak tepat,” imbuhnya.

Abdul Azis telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Pembangunan RSUD di Kabupaten Kolaka Timur bersama 4 orang lainnya. Berikut daftarnya:

Pemberi:

– Deddy Karnady (DK), selaku pihak swasta-PT PCP
– Arif Rahman (AR), selaku pihak swasta-KSO PT PCP

Penerima:

– Abdul Azis (ABZ) selaku Bupati Koltim
– Andi Lukman Hakim (ALH), PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD
– Ageng Dermanto (AGD) selaku PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim

Kasus yang menjerat Abdul Azis ini terkait dengan proyek pembangunan RSUD di Kelas C Kabupaten Koltim senilai Rp 126,3 miliar. Kata Asep, Abdul Azis meminta fee senilai 8% atau senilai Rp 9 miliar dari proyek itu.

“AGD meminta commitment fee sebesar 8% saudara ABZ dengan saudara AGD yaitu kira-kira Rp 9 miliar,” ujar Asep.

Abdul Azis, Andi Lukman Hakim dan Ageng Dermanto (AGD) dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Deddy Karnady dan Arif Rahman dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *