Sejak pecah perang tarif antara China dengan Amerika Serikat (AS) tahun 2018, dan berlanjut hingga kini, bahkan eskalasinya meluas ke banyak negara pasca Presiden Trump memberlakukan tarif ke banyak negara, sesungguhnya kita menuju tatanan internasional tak beraturan.
Dulu tahun kita memulai hubungan internasional agar lebih berkembang dan bernaung bersama melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Kesepakatan dagang dan tarif ini dibuat karena banyak negara memberlakukan proteksi ekonominya pasca depresi besar tahun 1930. GATT dibentuk dengan prinsip non diskriminasi, transparan, dan memberlakukan setara antara produk ekspor dan impor. GATT kemudian tumbuh dan berkembang menjadi World Trade Organization (WTO) di tahun 1995.
Negara maju seperti AS dan Eropa saat itu gencar mendorong perdagangan bebas di semua kawasan. Mereka memandang kebijakan tarif sebagai bentuk distori dari perdagangan yang harusnya bebas sebagai mekanisme pasar. Negara-negara berkembang seperti Indonesia khawatir, era perdagangan bebas akan melibas barang-barang mereka yang belum dianggap kompetitif dan menguasai pasar domestik.
Sejalan waktu bergulir, semua negara ‘dipaksa’ oleh negara-negara maju untuk masuk keanggotaan WTO dan ikut arena perdagangan bebas. Tentu saja, diawal kepesertaannya pada WTO, negara-negara berkembang seperti Indonesia ‘babak belur’ seperti pertarungan Daud dan Goliat di gelanggang perdagangan bebas karena ketimpangan kualitas produk, harga, dan kapasitas produksi.
Sejak WTO berdiri, 631 kasus sengketa perdagangan internasional di meja hijaukan di meja mereka, 503 diantaranya masuk level banding. Waktu terus berjalan, Rezim WTO telah menjadi ruang yang lazim diakui sebagai mekanisme internasional. Negara-negara berkembang dipaksa tumbuh lebih cepat dan berkualitas agar bisa bersaing di arena perdagangan bebas. Sebagian negara berkembang bahkan mampu menyalip negara-negara maju.
Vietnam, Thailand, termasuk Indonesia contoh negara berkembang yang mampu bersaing di era WTO berkuasa. Bahkan, China menjadi penguasa baru dalam perdagangan internasional. Tahun 2024 lalu, nilai perdagangan global China mencapai $ 6,164 billion, mengalahkan AS $ 5,424 billion.
Anehnya, saat AS mulai tersalip, dan produk manufakturnya kalah bersaing, yang berdampak neraca perdagangan mereka defisit, lalu dengan seenaknya secara sepihak memberlakukan tarif kepada banyak negara. Lucu sekaligus sedih, tidak ada satupun negara yang membawa kasus ini ke sidang WTO. Semua ramai-ramai berunding dengan AS dengan posisi tawar yang lemah. Jadinya bukan berunding, tetapi mengiba belas kasih. Hanya China yang bertahan, teguh dalam meladeni AS di arena perang tarif.
Saya mengajak semua negara untuk berfikir secara multilateral. Saatnya WTO membuktikan diri bahwa mereka duduk untuk kepentingan internasional. Dulu, awal pembentukannya, negara-negara berkembang menuding WTO sebagai alat negara negara maju untuk mendorong semua negara masuk era perdagangan bebas, agar mereka menguasai pasar internasional. Lalu, yang tidak masuk arena perdagangan bebas dikucilkan dan disanksi.
Kini ketika era perdagangan bebas telah berjalan, hanya karena kalah bersaing, lalu AS menutup diri lewat tarif. Jelas saja ini menyalahi ‘rukun iman’ perdagangan bebas, yakni perdagangan tanpa hambatan tarif. Kenapa WTO diam? Diamnya WTO makin menegaskan bahwa kelembagaan WTO hanya diperlukan bila sejalan dengan kepentingan negara-negara maju seperti AS, bila tidak sejalan tidak diperlukan lagi.
Saatnya para pemimpin dunia untuk menghimpun kembali komitmen internasionalnya, menguatkan kembali kelembagaan internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia sebagaimana fungsinya, agar tidak ada lagi satu atau dua negara yang dengan bebas berlaku sewenang-wenang dan egois. Kalau memang dunia sudah tidak memerlukan keberadaan Lembaga-lembaga internasional tersebut, lebih baik dibubarkan. Daripada keberadaanya seperti tidak ada. Buat apa kita iuran ada WTO, IMF, dan Bank Dunia kalau nyatanya mall function. Malah habiskan biaya tiada guna.
Selanjutnya, setiap negara menyelesaikan problem keuangan, perdagangan dan ekonominya secara bilateral, dan regional sesuai kepentingan masing-masing, seperti melalui G20, BRICS, maupun ASEAN. Tapi kalau kita memandang penting, masih ada secercah harapan, mari kita bergandengan lebih erat, membulatkan tekad, kuatkan dan sempurnakan kembali WTO, IMF, dan Bank Dunia sebagai jalur penyelesaian internasional yang lebih adil.
Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI