Lebih dari 70 Negara Melarang Asbes, Tapi Indonesia Masih Menggunakannya | Giok4D

Posted on

Lebih dari 20 tahun setelah Australia melarang peredaran dan penggunaan asbes, sejumlah negara tetangganya masih menggunakannya, termasuk Indonesia.

Saat ini Australia berada di garda terdepan yang melakukan kampanye global untuk menanamkan kesadaran bahaya asbes, terutama di Asia Tenggara.

Di kawasan ini penggunaan asbes masih merajalela, bahkan hingga berakhir dengan pertempuran hukum baru seperti yang terjadi di Indonesia.

Maret lalu, Mahkamah Agung Indonesia (MA) memerintahkan agar produk asbes diberi label tanda berbahaya.

Asbes masih dipakai di dinding dan atap rumah-rumah, sekolah, dan bangunan lainnya yang tak terhitung jumlahnya di Indonesia.

Warga tidak menduga paru-parunya akan terpapar bahaya asbes, hingga ada yang berakhir dengan kematian.

Keputusan MA tersebut muncul berdasarkan gugatan ‘judicial review’ atau uji materil dari Lembaga Perlindungan Konsumen SWADAYA Masyarakat (LPKSM) kepada MA.

Namun, kelompok industri asbes Fibre Cement Manufacturers’ Association (FICMA) menolak keputusan tersebut.

FICMA kemudian menggugat kelompok-kelompok perlindungan konsumen, serta beberapa pihak lain, atas tuduhan kerugian pendapatan.

Sebagian pihak menilai gugatan ini sebagai upaya untuk membungkam pihak yang memperjuangkan pelarangan asbes karena mereka ingin melindungi kesehatan masyarakat di Indonesia.

Di balik usaha menggagalkan kewajiban pelabelan asbes di Indonesia adalah sebuah kelompok lobi industri internasional yang kuat.

Mereka mewakili produsen asbes terbesar di dunia di negara-negara seperti Rusia, China, dan Kazakhstan.

FICMA mengatakan asbes putih, yang dikenal sebagai krisotil, adalah bahan kimia yang tidak berbahaya.

“Serat krisotil, atau asbes putih … akan cepat terurai di sistem pernapasan karena larut dalam larutan asam di saluran pernapasan,” ujar pengacaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Senin, 4 Agustus 2025.

“Krisotil … telah terbukti cepat tereliminasi dari paru-paru.”

FICMA mengatakan produk asbes putih tidak perlu diberikan label karena tidak tercantum dalam Konvensi Rotterdam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah perjanjian internasional yang mengatur impor dan ekspor bahan kimia berbahaya.

FICMA menuntut ganti rugi sebesar satu persen dari Rp9,7 miliar sebulan dan denda lebih dari Rp5 juta per hari untuk keterlambatan pemenuhan putusan.

Dalam situsnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan “semua bentuk asbes, termasuk krisotil, bersifat karsinogenik bagi manusia.”

“Paparan asbes, termasuk krisotil, menyebabkan kanker paru-paru, laring, dan ovarium, serta mesotelioma,” bunyi pernyataan tersebut.

WHO sekitar 1.600 orang di Indonesia, dan lebih dari 200.000 orang di seluruh dunia, meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang berkaitan dengan asbes.

WHO menyatakan asbes merupakan penyebab lebih dari 70 persen kematian akibat kanker yang berhubungan dengan tempat kerja.

Badan Keselamatan dan Pemberantasan Asbes dan Silika pemerintah Australia juga menyatakan krisotil merupakan , jelas dapat menyebabkan mesotelioma serta kanker paru-paru, laring, dan ovarium, serta ada kaitannya dengan kanker faring, lambung, dan kolorektal.

Siti Kristina, 59 tahun, pertama kali batuk pada tahun 2009, hampir dua dekade setelah ia mulai bekerja di pabrik tekstil asbes di Cibinong, Jawa Barat.

Ia sudah setiap hari bekerja di sana sejak berusia 25 tahun.

Salah satu pekerjaannya adalah mencampur serat asbes dengan katun dan poliester, lalu memintalnya menjadi benang asbes.

Tak seorang pun memberitahunya tentang bahaya penggunaan asbes.

Awalnya Siti menganggap enteng batuknya.

Tak lama kemudian, berat badannya turun, ia mulai demam, dan sempat bolak-balik dirawat di rumah sakit.

Baru setelah melakukan pemeriksaan di Korea pada tahun 2012, ia menyadari dirinya menderita asbestosis tahap awal.

“Waktu saya melakukan pemeriksaan awal tahun ini, saya sempat di-opname, karena drop darah saya dan saya batuk parah,” katanya.

“Kalau sekarang batuk … sudah enggak bisa aktivitas berat-berat.”

Tuniyah bekerja selama 10 tahun di pabrik tekstil asbes di Jakarta, sama seperti Siti.

Ketika mulai batuk-batuk, ia tidak percaya jika dirinya mengidap asbestosis.

“Selama itu tapi saya belum percaya, soalnya saya masih sehat, belum ada gejala apa-apa,” katanya.

“Namanya paru sudah luka, tapi kan enggak bisa hilang. Sampai sekarang masih kerasa banget.”

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Di usianya yang ke-63 tahun, Tuniyah hanya bisa melakukan pekerjaan rumah tangga ringan.

Indonesia adalah importir asbes terbesar ketiga di dunia setelah India dan China.

Setiap tahunnya, Indonesia mengimpor sekitar 150.000 ton asbes, semuanya krisotil, untuk keperluan konstruksi.

Sekitar 13 persen dari seluruh rumah di Indonesia memiliki atap yang terbuat dari krisotil.

Di Jakarta, angkanya jauh lebih tinggi, yaitu 50 persen.

Ketika ABC mengunjungi beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2019, atap asbes putih bukanlah pemandangan yang asing, dengan banyak di antaranya retak atau pecah.

Lembaran asbes yang dibuang berserakan di halaman belakang tempat anak-anak biasa bermain.

Meskipun data resmi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mencatat tidak ada kematian terkait asbes dan hanya enam klaim kompensasi, Union Aid Abroad, yang bagian dari lembaga ACTU, mengatakan jumlah korban sebenarnya tidak dilaporkan.

“Berdasarkan perkiraan… lebih dari 1.000 orang meninggal di Indonesia setiap tahun akibat paparan asbes,” ujar Phillip Hazelton dari Union Aid Abroad kepada ABC.

“Namun, mengingat penggunaan asbes di Indonesia meningkat dalam 20 tahun terakhir, kami perkirakan puncaknya baru akan terjadi beberapa dekade mendatang.”

FICMA menggugat secara pribadi tiga individu dari kelompok perlindungan hak-hak pekerja Indonesia, LION, Jaringan Inisiatif Lokal untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

FICMA menuntut para tergugat untuk meminta maaf di televisi nasional dan di surat kabar karena telah mendiskreditkan krisotil, dan diminta untuk menyatakan jika asbes putih tidak berbahaya.

FICMA juga menuntut Jaringan Anti Asbes Indonesia (INABAN) untuk menghapus referensi krisotil di situsnya.

Leo Yoga Pranata, Direktur Kebijakan Publik LION Indonesia dan salah satu dari tiga tergugat, mengatakan gugatan tersebut dapat menimbulkan preseden yang berbahaya.

“Jadi masyarakat bersikap kritis itu nantinya akan takut karena ada digugat dengan jumlah yang memang fantastis,” katanya.

“Kita tiba-tiba dituntut dengan angka yang sangat fantastis, yang sudah tidak logis bagi kami. Kami tidak tahu kami harus membayarnya dengan apa.”

Ia mengatakan kasus tersebut telah mempengaruhinya secara finansial dan psikososial.

“Ketika datang ke pengadilan, seolah-olah kami itu melakukan sebuah kejahatan, sebuah kejahatan yang besar. Apa yang kami lakukan adalah hak asasi manusia,” ujarnya.

Ia mengatakan krisotil adalah “pembunuh diam-diam”, karena gejalanya biasanya baru muncul 15 hingga 30 tahun setelah terpapar serat asbes.

Muhammad Darisman dari INABAN sependapat.

“FICMA ingin punya legitimasi supaya bisnis mereka lancar. Tujuan mereka kan kalau bisnis satu, profit dan mereka tidak aware terhadap kesehatan masyarakat,” katanya.

Ia mengatakan standar kesehatan pekerja di Indonesia jauh tertinggal.

“[Di] industri asbes di Australia, bagaimana sih para pekerja menangani asbes? Dia pakai hazmat, kayak COVID gitu, sekarang coba di Indonesia, bagaimana pekerja di Indonesia menangani asbes? Ya santai-santai saja, kan gitu ya?”

Sejauh ini, 73 negara, termasuk Australia, telah melarang segala bentuk asbes.

Namun, Asia Tenggara tetap menjadi pasar utama bagi produsen asbes utama dunia.

Union Aid Abroad, yang didanai pemerintah Australia, telah berkampanye selama bertahun-tahun negara-negara termasuk Indonesia, Vietnam, dan Laos, agar turut serta dalam larangan global ini.

“Saya rasa kita satu-satunya negara di dunia yang memiliki badan pemberantasan asbes yang mandiri,” kata Phillip.

“Dan salah satu tujuan mereka juga untuk mencoba memimpin di bidang ini, di kawasan ini dan membantu negara-negara beralih dari produk mematikan ini ke alternatif yang lebih aman.”

Tonton juga Video: Rumah Kuno di Blitar yang Usianya Lebih dari 2 Abad