Mariner Eccles, Purbaya, dan Kebutuhan untuk Reflasi Fiskal

Posted on

Di jantung Washington berdiri sebuah gedung marmer putih yang kokoh: Mariner S Eccles Federal Reserve Board Building. Nama itu asing bagi banyak orang, tetapi bagi para ekonom dan sejarawan, ia adalah simbol keberanian seorang pria dari Utah yang menolak tunduk pada arus utama. Eccles bukan lulusan Harvard, bukan pula bankir Wall Street. Ia lahir dari frontier barat, tumbuh di keluarga pengusaha kayu dan gula. Dari latar sederhana itulah ia membawa cara pandang yang segar, berani, dan akhirnya mengubah wajah ekonomi Amerika.

Ketika Franklin D. Roosevelt berusaha mengangkat negeri dari kelelahan panjang Depresi Besar, ia menemukan dalam diri Eccles sesuatu yang jarang: keberanian untuk menembus pagar lama. Bagi Eccles, balanced budget, emas, dan invisible hand hanyalah dogma yang tidak lagi relevan di tengah ekonomi yang nyaris kehilangan denyut. Ia mengajukan gagasan yang dianggap radikal: belanja defisit sebagai resep pemulihan, koordinasi erat fiskal dan moneter, serta mekanisme Treasury Tax & Loan Accounts (TT&L) yang memastikan kas negara tidak membunuh likuiditas perbankan.

Logika Eccles sederhana, namun revolusioner. Jika seluruh penerimaan pajak langsung diserap ke rekening pemerintah di Federal Reserve, sementara belanja negara belum turun, bank komersial kehilangan cadangan. Kredit berhenti, ekonomi mengering. Eccles membalik cara pandang itu: dana kas negara harus tetap berputar di bank, menjadi darah segar bagi ekonomi. Inilah keberanian seorang “koboy ekonomi”: menunggangi aturan lama untuk membuka jalan baru.

Pertentangan segera muncul. Di Kongres, para konservatif menuduhnya menghancurkan disiplin fiskal. Di kalangan bisnis, ia dicap sosialis, bahkan fasis. Roosevelt dan para teknokratnya dituduh membangun “American fascism”, negara terlalu dominan, pasar kehilangan peran. Eccles berkali-kali dipanggil ke Kongres, dituduh menjadikan The Fed sekadar alat politik. Namun sejarah membuktikan sebaliknya. Kebijakan yang kontroversial itu justru menjadi fondasi stabilitas baru bagi Amerika, membangunkan perekonomian dari stagnasi yang berkepanjangan.

Dalam biografinya, Jumping the Abyss, periode 1933-1939 digambarkan sebagai liminal state: ekonomi Amerika sudah tidak krisis parah seperti 1929, tapi juga tidak pulih. Inilah masa transisi, di mana langkah kecil hanya akan memperpanjang rasa sakit. Dibutuhkan lompatan besar. Eccles mendesak Roosevelt agar belanja publik dibiayai utang, untuk infrastruktur, proyek pekerjaan umum, hingga subsidi. Argumennya sederhana: private demand collapsed, sehingga hanya pemerintah yang mampu menciptakan permintaan agregat baru. Belanja diarahkan ke sektor padat karya, agar konsumsi kelas pekerja terangkat. Bukan hanya besarnya belanja, tetapi komposisinya yang menciptakan multiplier.

Hasilnya jelas: belanja defisit menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen pada pemulihan. Ekspektasi bisnis bergeser, rumah tangga mulai berani belanja. Ekonomi beranjak dari lesu menjadi bergerak. Semua ini membuktikan bahwa terkadang, keberanian menabrak ortodoksi lebih penting daripada menjaga kenyamanan teori lama.

Indonesia Hari Ini, Arsitektur Lama, dan Purbaya

Hari ini Indonesia berada pada persimpangan yang serupa. Kas negara menggunung dalam bentuk SAL dan idle balance, tetapi konsumsi belum pulih penuh, investasi belum menemukan momentumnya. Aturan lama, UU Keuangan Negara 2003 dan UU Perbendaharaan Negara 2004, lahir dari trauma krisis, dengan spirit fiscal conservatism yang ketat: lebih baik uang diam di Bank Indonesia, aman dan steril, daripada salah langkah. Dulu aturan itu menyelamatkan kita. Namun zaman berubah, dan arsitektur lama bisa menjadi beban baru.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kini memikul dilema Eccles di zamannya: bagaimana menjadikan kas negara bukan sekadar saldo, melainkan fiscal valve yang menghidupkan denyut ekonomi. Kebijakan penempatan dana pemerintah di bank komersial melalui KMK 276 adalah sinyal perubahan itu. Seperti TT&L dulu, langkah ini dianggap tak lazim, bahkan dituduh melemahkan disiplin. Tapi sejarah Eccles mengingatkan: kebijakan yang tidak biasa justru kadang dibutuhkan, ketika cara lama tak lagi memadai.

Dua puluh tahun lalu, ketika sektor swasta kuat dan perdagangan internasional berkembang, negara bisa berperan sebagai penyeimbang saja. Kini, dengan globalisasi melemah, trade war memukul perdagangan, dan swasta enggan menambah risiko, absennya negara justru akan memperdalam perlambatan ekonomi. Inilah urgensi baru: negara harus hadir, bukan sekadar sebagai penjaga kas, tetapi sebagai penggerak pertumbuhan.

Pelajaran dari Eccles untuk Indonesia ada empat pelajaran kunci yang harus diingat:

1. Koordinasi fiskal-moneter mutlak. Fiscal activism tanpa dukungan bank sentral hanya akan berhenti di angka, bukan berdampak pada riil.

2. Timing yang tepat: ketika output gap besar dan inflasi rendah, tambahan likuiditas menjadi pemantik produksi, bukan ancaman stabilitas.

3. Institusionalisasi dan transparansi membuat pasar percaya. TT&L berhasil karena dilembagakan; kebijakan penempatan dana pemerintah juga harus dibuat jelas dan terbuka.

4. Narasi pro-growth: lebih dari angka, pasar menunggu cerita. Eccles berhasil karena ia bisa meyakinkan publik dan Kongres bahwa defisit adalah obat, bukan racun.

Gedung marmer putih di Washington itu masih berdiri, menjadi monumen keberanian yang pernah menyelamatkan ekonomi dunia. Ia mengingatkan kita bahwa kebijakan besar lahir bukan dari kenyamanan, tetapi dari keberanian menantang ortodoksi.

Indonesia kini berdiri di persimpangan yang sama. Arsitektur hukum lama lahir dari trauma, dan dulu ia berfungsi sebagai pagar. Tetapi pagar yang sama kini menahan air yang seharusnya menghidupi sawah. Menteri Keuangan Purbaya, seperti Mariner Eccles di masa Roosevelt, dihadapkan pada pilihan sederhana tapi berat: berani menyalakan api pertumbuhan, atau membiarkan ekonomi terus berjalan lemas.

Sejarah memberi pelajaran: keberhasilan bukan ditentukan oleh seberapa besar kas negara tersimpan aman, tetapi oleh seberapa besar kepercayaan publik bahwa negara hadir untuk menggerakkan ekonomi. Itulah inti dari reflasi fiskal, bukan sekadar menggeser saldo, melainkan menggeser harapan.

Fakhrul Fulvian. Kepala Ekonom, Trimegah Sekuritas Indonesia