Di tengah hiruk pikuk pertumbuhan ekonomi dan geliat digitalisasi, ada satu lapisan masyarakat Indonesia yang kini bergerak secara frontal-kelas menengah. BPS, 2024 mencatat bahwa jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia ada sebanyak 66,35 persen dari total penduduk Indonesia. Oleh karena itu, kelas menengah memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional atau sering juga disebut sebagai the backbone of modern economy.
Selama dua dekade terakhir, narasi seputar kelas menengah Indonesia cenderung optimistik. Dilihat dari laporan lembaga-lembaga internasional seperti World Bank dan McKinsey menggambarkan kelompok ini sebagai tulang punggung pembangunan -“the consuming class“: mereka punya daya beli, bisa mengakses pendidikan tinggi, dan mendorong sektor informal serta digital.
Sejenak berkaca ke belakang, bahwa sejak reformasi 1998 kelas menengah Indonesia tumbuh pesat berkat reformasi ekonomi, ekspansi pendidikan tinggi, dan urbanisasi. Sesaat melihat hari ini adalah bukti sukses pembangunan pasca-Reformasi.
Di Indonesia sendiri, narasi umum menyebut kelas ini sebagai “motor pertumbuhan ekonomi” dikarenakan posisinya sebagai konsumen utama, pelaku UMKM, dan katalis inovasi. Namun ternyata, narasi ini pun sudah mulai retak. Mengapa tidak? Karena di balik statistik pertumbuhan PDB dan geliat startup, secara bersamaan juga menciptakan kelas menengah itu sendiri menyimpan paradoks.
Ketimpangan tetap tinggi (Koefisien Gini stagnan di angka 0,38-0,40), mobilitas sosial vertikal makin sulit, dan sektor informal tetap menyerap sebagian besar tenaga kerja kelas menengah bawah. Hal ini menjadikan kelas menengah Indonesia menghadapi tekanan struktural yang kian nyata.
Biaya hidup naik, ketimpangan memburuk, dan pekerjaan formal menyusut. Banyak dari mereka hidup dalam ilusi mobilitas sosial ke atas, padahal dalam realitasnya, justru stagnasi yang lebih sering terjadi. Maka yang kelas ini yang seharusnya dianggap sebagai penyangga stabilitas dan motor pertumbuhan konsumsi, kini kelas ini menunjukkan gejala yang lebih kompleks: ada keresahan politik, ketidakpuasan ekonomi, dan semangat protes yang melampaui sekadar isu dompet.
Sebenarnya situasi keresahan ini terjadi tidaklah secara tiba-tiba, seperti petir di siang bolong. Jika kita mencermati sejak pandemi COVID-19 sudah mulai ada kegelisahan. Walaupun pasca-pandemi Covid-19, statistik makro kembali menunjukkan pemulihan, akan tetapi tidak sedikit juga rumah tangga kelas menengah merasakan “penurunan kualitas hidup”: biaya pendidikan dan kesehatan naik, lapangan kerja formal menyempit, dan utang konsumtif cenderung meningkat.
Di saat yang sama, pemerintah saat ini fokus pada program atau proyek mercusuar yang mana itu jauh dari aspirasi publik. Hal ini terlihat dari munculnya kebijakan-kebijakan kontroversial dan cenderung populis. Sebut saja ada program makan bergizi gratis (MBG), ada koperasi desa merah putih (KDMP), sekolah rakyat dan seterusnya yang pada akhirnya juga belum tentu bisa berhasil.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Semua program-program itu tentu membutuhkan anggaran yang sangat fantastis, di tengah-tengah kondisi fiskal negara masih cenderung stagnan. Ini membuktikan bahwa pemerintah terlalu memaksakan kebijakan yang berdasarkan keinginan penguasa tidak secara evidence-based policy.
Karena kebijakan yang diambil berdasarkan keinginan semata dan cenderung populis, masyarakat yang direpesentasikan dari golongan kelas menengah dirasa tidak berpihak dan berdampak secara nyata. Akhirnya, muncullah gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus 2025 sampai hari-hari ke depan ini yang mana dimotori oleh mahasiswa, buruh, driver ojol hingga profesional muda, bukanlah gerakan tanpa arah. Inilah yang kami sebut sebagai revolusi kelas menengah.
Aksi ini sebagai akibat artikulasi dari keresahan kelas menengah yang dirasakan saat ini. Bahkan jika kita lihat lebih jauh, tuntutan aksi demonstrasi tidak lagi sekadar memperjuangkan ekonomi, tapi juga isu etika, keadilan sosial, dan masa depan demokrasi. Masyarakat yang tergolong dalam kelas ini sudah skeptis terhadap janji-janji pembangunan yang dirasa tidak inklusif.
Parahnya, para elite politik kita sering kali gagal membaca dinamika yang terjadi di masyarakat. Pemerintah bersama elite-elite itu melihat protes ini sebagai hanya sebagai ulah anak muda yang belum paham realitas, atau sekadar keluhan kelas menengah urban semata. Padahal, jika ini diabaikan terus-menerus, keresahan ini bisa tumbuh menjadi alienasi kolektif yang jauh lebih berbahaya bagi legitimasi negara.
Lalu pertanyaannya sekarang adalah, jika sudah terjadi seperti ini apa yang harus dilakukan? Pertama, negara harus berhenti melihat kelas menengah hanya sebagai “pasar” atau cenderung mengabaikan bahkan. Mereka-mereka itu adalah warga negara yang memiliki harapan terhadap tata kelola publik yang adil dan inklusif.
Di sini pemerintah sebagai pembuat kebijakan adalah perlu mendengarkan dan membaca gelombang ini dengan jernih. Merespons kritik mereka dengan represif atau sinis hanya akan memperparah keadaan dan memperdalam jurang ketidakpercayaan.
Kedua, di situasi saat ini akademisi dan para kaum intelektual tidak boleh lagi bersikap pasif. Sudah saatnya ruang-ruang akademik menjadi pusat pembacaan kritis terhadap fenomena ini, bukan hanya mengandalkan jargon teoretis, tetapi dengan keberpihakan pada realitas sosial yang sedang terjadi dan berubah cepat.
Ketiga, penulis memiliki pandangan bahwa posisi kelas menengah ini sebagai “penjaga moral” masyarakat. Golongan ini adalah orang-orang memiliki kesadaran lebih tinggi terhadap nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan pembangunan sosial.
Sehingga kelas menengah itu sendiri pun harus terus berjuang bahkan perlu melampaui sekadar retorika moral. Harus mengambil langkah nyata, dengan memperkuat konsolidasi lintas sektor-akademisi, buruh, mahasiswa, diver ojol, jurnalis, dan profesional muda-agar terbentuk sebuah ekosistem politik yang sehat dan representatif.
Terakhir, revolusi kelas menengah yang terjadi di Indonesia saat ini bukan sebuah anomali. Revolusi kelas menengah ini menandai fase baru dalam relasi negara-masyarakat.
Ini merupakan manifestasi dari krisis sistemik dalam demokrasi dan pembangunan kita. Jika tidak ditanggapi dengan serius, maka energi kritis ini akan membusuk menjadi sinisme. Tetapi jika dikelola dengan bijak, revolusi yang terjadi ini bisa menjadi kekuatan transformatif menuju masyarakat yang lebih adil dan demokratis.
Pristanto Silalahi. Peneliti dan Dosen di Ekonomi Pembangunan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.