Perdagangan bukan sekadar pertukaran barang. Ia adalah jembatan peradaban. Dunia sedang berada di persimpangan yang genting. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi global melemah, ditandai oleh permintaan yang stagnan dan produktivitas yang tak kunjung pulih.
Di sisi lain, dua kekuatan ekonomi terbesar, Amerika Serikat dan Tiongkok sedang berjuang mencari pijakan baru dalam sistem global yang mereka bantu bangun, namun kini mulai kehilangan keseimbangan.
Di tengah turbulensi ini, Indonesia berdiri sebagai negara berkembang terbesar di Asia Tenggara, dengan bonus demografi dan stabilitas makroekonomi yang relatif terjaga. Dalam dunia yang penuh ketidakseimbangan, Indonesia tidak harus memilih antara dua kutub kekuatan. Justru, kita memiliki peluang untuk memainkan peran penting: sebagai jembatan global, penghubung strategis antara tabungan Tiongkok dan konsumsi Amerika antara Timur yang menabung dan Barat yang berbelanja.
Ketidakseimbangan global terjadi ketika arus tabungan dan perdagangan dunia menjadi timpang. Selama dua dekade terakhir, Tiongkok dan negara surplus lain seperti Jerman dan Jepang terus mencatatkan surplus neraca berjalan, sementara Amerika Serikat dan banyak negara berkembang mengalami defisit yang menahun. Dalam bahasa ekonom Paul Krugman, “Dunia yang kita lihat hari ini adalah dunia yang dipenuhi oleh tabungan namun kehilangan pertumbuhan. Uang berlimpah, tapi arah dan harapan investasi seakan menguap.”
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Tiongkok menjadi episentrum surplus dunia dengan tabungan domestik yang luar biasa besar, namun konsumsi swasta yang belum sejalan. Sebaliknya, Amerika Serikat menjalankan defisit kembar (fiskal dan eksternal) yang besar, namun tetap menjadi destinasi utama ekspor global dan pemegang kendali atas sistem keuangan internasional melalui dominasi dolar.
Kini keduanya menghadapi dilema. Tiongkok perlu mentransformasikan model pertumbuhannya dari ekspor-investasi menuju konsumsi domestik. Salah satu jalur yang ditempuh adalah internasionalisasi RMB (Renminbi) melalui pembiayaan lintas negara dalam CNH (offshore RMB), serta promosi penggunaan RMB dalam perdagangan bilateral.
Tanpa outlet kredibel di luar negeri, tabungan besar ini justru bisa menjadi beban struktural. Salah satu indikasinya adalah tingkat suku bunga domestik yang sangat rendah.
Sementara itu, Amerika Serikat sedang mengoreksi arah fiskal dan perdagangannya. Setelah puluhan tahun menikmati konsumsi global yang didanai oleh tabungan luar negeri, kini AS mencoba menghidupkan kembali manufaktur dan mengurangi ketergantungan pada arus dana dari Asia Timur. Dalam pidatonya, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa ketidakseimbangan dunia telah mencapai titik ekstrem dan dibutuhkan aksi bersama untuk mengatasinya.
Di sinilah posisi strategis Indonesia diuji. Sebagai ekonomi terbesar ke-16 di dunia, dengan lebih dari 270 juta penduduk dan bonus demografi yang masih panjang, kita memiliki tiga aset utama: (1) permintaan domestik yang kuat, (2) kebutuhan pembiayaan pembangunan jangka panjang, dan (3) posisi geopolitik yang netral dan terbuka. Hal-hal yang kita miliki ini membuka ruang untuk kebijakan pemerintah Presiden Prabowo menjadi lebih lebar. Satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Pemerintah bisa mendorong perekonomian nasional sekaligus dengan menjaga perdamaian dunia.
Dengan kombinasi yang kita miliki, Indonesia dapat membantu proses rebalancing global dengan cara: menerbitkan obligasi dalam mata uang CNH untuk membuka akses pembiayaan jangka panjang bersuku bunga rendah, sembari memperluas peran RMB di pasar ASEAN dan internasional. Dana tersebut dapat diarahkan untuk mendanai proyek strategis seperti industrialisasi hijau, pertanian presisi, dan konektivitas digital.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu meningkatkan impor strategis dari Amerika Serikat terutama barang modal, alat kesehatan, dan teknologi pertanian yang memperkuat transformasi struktural ekonomi nasional.
Dengan demikian, Indonesia berperan aktif menyalurkan surplus Tiongkok secara produktif, sekaligus mendukung target ekspor AS demi menyeimbangkan neraca perdagangannya. Kita tidak sekadar menjadi penghubung pasif, melainkan aktor utama dalam arsitektur global yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
Tentu saja, seluruh strategi ini harus ditopang oleh kebijakan industri nasional yang progresif dan berpihak pada penciptaan nilai tambah domestik. Ketika ini terwujud, pertumbuhan tinggi bukan lagi angan, tetapi menjadi hasil wajar dari sistem global yang lebih adil.
Seperti dikatakan Dani Rodrik, “Paradoks tertinggi dari globalisasi adalah: ia justru bekerja paling baik ketika tidak didorong terlalu jauh.” Maka peran Indonesia dini adalah bukan memilih pihak, tetapi menciptakan ruang baru untuk dialog ekonomi yang berpijak pada kedaulatan. Di tengah dunia yang makin proteksionis dan sempit dalam visi, kita dapat membuka jalan baru: keterbukaan yang terukur, transparan, dan berdampak langsung bagi pembangunan nasional.
Kini saatnya memulai era baru diplomasi ekonomi. Dengan bersikap aktif namun independen, Indonesia dapat memainkan peran sebagai simpul stabilitas dan katalis koreksi sistemik dunia. Ketika mekanisme perdagangan baru tercapai, maka perdamaian dunia bisa tercapai, sesuai amanat dalam pembukaan UUD 1945.
Fakhrul Fulvian. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia.
