Dalam beberapa hari terakhir, kita menyaksikan ribuan warga turun ke jalan memprotes rencana kenaikan tunjangan anggota DPR dan menuntut keadilan atas tewasnya seorang pengemudi ojek online. Ledakan amarah ini sesungguhnya berakar pada kekecewaan yang menumpuk terhadap elite kekuasaan yang kian jauh dari rakyat.
Pada 25 Agustus 2025, ribuan orang berkumpul di sekitar gedung DPR RI di Jakarta, berorasi meski dihadang barikade polisi. Mereka memprotes usulan tunjangan baru bagi anggota DPR-termasuk tunjangan perumahan sekitar Rp50 juta per bulan.
Kemarahan massa kian berkobar setelah kabar duka tersiar: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas pada 28 Agustus 2025 akibat tertabrak kendaraan taktis Brimob saat aparat membubarkan demonstrasi yang ricuh. Tragedi ini segera menjadi simbol ketidakadilan dan menyulut emosi publik.
Gelombang protes yang menjalar ke berbagai kota bukan semata soal angka tunjangan; ini merupakan akumulasi kekecewaan mendalam terhadap para elite yang hidup di menara gading, jauh dari derita rakyat.
Unjuk rasa yang bermula di Jakarta itu dengan cepat meluas ke berbagai daerah. Dalam sepekan terakhir Agustus, aksi solidaritas muncul di banyak kota di luar ibu kota. Tuntutan demonstran berkembang dari pembatalan tunjangan DPR hingga seruan agar lembaga tersebut dibubarkan. Penanganan aparat yang keras di beberapa tempat memicu kerusuhan: pos polisi dibakar, fasilitas publik dirusak, dan ratusan orang ditangkap.
Per 31 Agustus 2025, menurut Tempo, sedikitnya tujuh orang tewas dalam rangkaian protes di akhir Agustus, termasuk Affan Kurniawan sebagai korban pertama.
Pemerintah mencoba meredakan situasi: Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukacita dan memerintahkan investigasi transparan atas insiden Affan, sementara pimpinan DPR meminta maaf serta berjanji meninjau ulang kebijakan tunjangan. Namun hingga awal September 2025, kemarahan massa belum surut-mencerminkan betapa dalam frustrasi yang melatari gerakan ini.
Kepercayaan publik terhadap institusi adalah modal sosial yang tak ternilai. Rakyat “mungkin” bisa menerima kebijakan pahit jika percaya pemimpinnya adil dan empatik. Tetapi belakangan modal kepercayaan itu menipis: ketika wakil rakyat mengistimewakan diri dengan tunjangan fantastis dan melontarkan komentar yang meremehkan penderitaan publik, legitimasi moral mereka terpukul.
Seorang anggota DPR berdalih tunjangan besar dibutuhkan karena ia “sulit berangkat kerja”, bahkan ada yang menyebut warga pengkritik parlemen sebagai “terbodoh sedunia”. Ucapan-ucapan nyaris satiris itu membentangkan jurang psikologis antara rakyat dan elite. Di mata publik, para pemimpin ini tak lagi memahami realitas hidup konstituen. Maka tak heran kepercayaan pun mudah berubah menjadi kemarahan.
Mengapa kemarahan itu meledak sekarang? Literatur gerakan sosial menunjukkan perlunya pemantik dan “jendela peluang” bagi aksi kolektif. Dalam kasus ini, kondisi ekonomi yang sulit dan ketidakpuasan umum ibarat bahan bakar yang terakumulasi; isu tunjangan DPR menjadi percikan apinya. Kematian Affan Kurniawan lalu menjelma pemicu yang mengobarkan emosi publik secara luas.
Sosok Affan-bahkan dilaporkan tidak ikut demonstrasi-menjadi martir di mata banyak orang. Tragedi itu mempersatukan kemarahan beragam kelompok: mahasiswa, buruh, pengemudi, hingga kelas menengah yang merasa hidup mereka “cukup layak”. Saat momentum tercipta dan rasa senasib menguat, massa turun ke jalan dengan keyakinan bahwa mereka memiliki legitimasi moral untuk menuntut perubahan.
Ada pula soal keadilan prosedural dan kebijakan responsif. Publik tidak hanya marah karena substansi keputusan para pemimpin, tetapi juga karena cara keputusan itu diambil dan direspons. Orang bisa menerima keputusan pahit jika prosesnya dianggap adil dan transparan. Sebaliknya, kebijakan yang disusun tanpa konsultasi publik-misalnya tunjangan fantastis bagi DPR tadi-dirasa mengkhianati rasa keadilan kolektif.
Apalagi di tengah hidup yang mereka rasa makin sulit. Ketika masyarakat menyampaikan protes, tanggapannya justru gas air mata dan pentungan. Maka pesan yang tertangkap jelas: aspirasi rakyat dianggap gangguan. Akibatnya, jarak emosional kian melebar dan krisis kepercayaan kian dalam.
Ada tudingan bahwa gerakan ini “ditunggangi” kepentingan politik tertentu. Mungkin ada. Dan kita-pemerintah dan rakyat-tidak boleh memberi ruang bagi para provokator yang menginginkan kerusahan melebar menjadi isu kekuasaan. Namun, protes besar selalu membuka ruang bagi oportunis. Penumpang gelap mungkin saja menyusup; tetapi keberadaan mereka tidak boleh membatalkan hak publik untuk bersuara, apalagi menutup luka moral para demonstran damai.
Energi publik yang meluap perlu direspons dengan langkah nyata. Pemerintah, untuk jangka pendek, mesti mengambil tindakan konkret untuk meredakan ketegangan. Investigasi independen dan transparan atas kematian Affan Kurniawan harus diprioritaskan, dengan perkembangan hasil diumumkan berkala kepada publik. Rencana kenaikan tunjangan DPR dan fasilitas “wah” yang mereka dapatkan harus dibatalkan sambil dievaluasi ulang; paparkan terbuka dasar perhitungannya beserta alasannya demi memulihkan kepercayaan publik.
Selain itu, aparat keamanan wajib menerapkan protokol de-eskalasi saat menangani demonstrasi: kedepankan dialog, hindari kekerasan berlebihan, dan pastikan jurnalis serta demonstran damai terlindungi.
Dalam jangka panjang, reformasi mendasar tak bisa ditawar lagi agar jurang antara penguasa dan warga bisa dipersempit. Partai politik perlu berbenah: rekrutmen kader berdasarkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas-bukan sekadar popularitas.
Pendanaan kampanye harus transparan: laporannya terbuka untuk publik, diaudit independen, dan-bila perlu-disajikan secara real time, yang kini sepenuhnya memungkinkan berkat teknologi informasi.
Para wakil rakyat perlu mengadopsi kode etik baru yang menjaga kedekatan dengan konstituen: reses dijalankan serius untuk menyerap aspirasi, layanan konstituen dibuat proaktif, dan kanal umpan balik yang terlacak. Aturan pencegahan konflik kepentingan serta kewajiban lapor harta diperkuat dengan pengawasan independen.
Diperlukan pula mekanisme respons cepat agar keluhan publik berujung pada koreksi kebijakan. Yang tak kalah penting, tunjukkan empati-bukan jarak. Agar publik yakin pemerintah sungguh mendengar.
Usai gejolak ini, semua pihak perlu kembali menatap inti persoalan: akuntabilitas. Rakyat menuntut pertanggungjawaban-dari DPR agar berpihak pada kepentingan publik, dan dari aparat keamanan agar menghormati hak berpendapat.
Jangan biarkan energi protes teralihkan oleh provokasi atau narasi pinggiran yang menjauhkan dari solusi. Peluang memperbaiki keadaan ada jika fokus tertuju pada reformasi sistemik, bukan pada kegaduhan politik semata.
Kemarahan di jalanan hari ini adalah peringatan bahwa jarak antara penguasa dan rakyat tak boleh dibiarkan membentang terlalu jauh. Di balik riuh demonstrasi, terselip harapan: jarak itu masih bisa dijembatani-tentu jika para pemimpin tulus mendengar bukan dengan mendiskreditkan suara rakyat. Sudah saatnya elite-meminjam istilah penyair Sapardi Djoko Damono-‘melipat jarak’ dengan rakyatnya.
Hidayatul Fajri. Dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara, Universitas Negeri Padang.
