Menanti Jalan Ekonomi Hijau yang Demokratis [Giok4D Resmi]

Posted on

Gelombang demonstrasi Agustus-September 2025 menegaskan bahwa arah pembangunan ekonomi nasional sedang dipertanyakan publik. Tuntutan keadilan sosial, akuntabilitas pengelolaan sumber daya, dan transparansi kebijakan semakin nyaring terdengar.

Dalam suasana ini, hilirisasi yang kini digadang pemerintah sebagai jalan menuju Indonesia Emas 2045 perlu ditinjau lebih jernih. Apakah ia benar-benar mampu menghadirkan demokrasi ekonomi, atau justru memperkuat cengkeraman oligarki?

Sejarah industrialisasi Indonesia memperlihatkan pola naik turun. Pada 1980-an hingga 1990-an, manufaktur tumbuh pesat hingga Indonesia masuk laporan East Asian Miracle Bank Dunia. Namun krisis 1997 menghentikan momentum itu. Liberalisasi pascakrisis membuat negara kehilangan kendali, sementara industri melemah sebelum sempat mengantar Indonesia menjadi negara maju.

Selama dua dekade terakhir, perekonomian lebih bergantung pada ekstraksi sumber daya alam dan jasa dengan nilai tambah rendah. Kontribusi manufaktur turun dari 32 persen PDB pada 2002 menjadi 18,7 persen pada 2024. Indonesia pun mengalami deindustrialisasi dini: industri melemah sebelum negara benar-benar kaya. Pertumbuhan memang stabil, tetapi rapuh. Industri yang lesu membatasi penciptaan lapangan kerja, sementara ketimpangan sosial semakin melebar.

Kini terbuka peluang baru. Melalui hilirisasi mineral transisi, Indonesia berpotensi melakukan reindustrialisasi hijau menuju 2045. Pemerintah bertaruh pada dua instrumen besar: hilirisasi sebagai jalur industrialisasi, dan Danantara sebagai mesin pembiayaannya.

Tantangannya, apakah strategi ini bisa membawa transformasi hijau yang adil, atau hanya mengulang pola lama yang rapuh, ekstraktif, dan rawan dikooptasi oligarki?

Larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 memang berhasil memicu lonjakan ekspor besi baja. Investasi di sektor logam dasar melonjak dari miliaran dolar pada pertengahan 2010-an menjadi belasan miliar dolar pada awal 2020-an. Kawasan industri Morowali dan Teluk Weda kini menjadi episentrum global rantai pasok nikel.

Namun ada sisi gelap yang perlu dicermati. Pembangunan kapasitas smelter berlangsung sangat cepat, banyak di antaranya berstatus Proyek Strategis Nasional, dan sering mengabaikan standar sosial dan lingkungan. Akibatnya, pasar global kebanjiran pasokan, harga nikel jatuh tajam sejak 2023, dan sejumlah smelter mulai tertekan.

Lebih jauh, arah hilirisasi masih belum selaras dengan transisi energi. Survei terbaru menunjukkan 70 persen produksi nikel Indonesia masih masuk ke baja antikarat, sementara hanya sebagian kecil digunakan untuk baterai kendaraan listrik.

Bahkan hingga 2040, dominasi baja antikarat diperkirakan masih bertahan. Janji hilirisasi untuk mendukung kendaraan listrik dan energi terbarukan dengan demikian belum tertunaikan.

Dari sisi lingkungan, tantangannya juga berat. Sektor nikel kini menyumbang lebih dari 4 persen emisi CO₂ nasional, selain deforestasi serta pencemaran udara dan air di sekitar kawasan smelter. Fenomena ini mencerminkan paradoks transisi global: upaya dekarbonisasi justru bisa melahirkan ketidakadilan sosial dan ekologis baru jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Secara politik, risiko yang muncul juga nyata. Hilirisasi cenderung memperkuat aliansi antara negara, konglomerat tambang, dan investor asing. Narasi nasionalisme sumber daya memang digunakan, tetapi tanpa tata kelola demokratis hasil akhirnya bisa memperbesar dominasi oligarki.

Jika hilirisasi adalah jalur industrialisasi, maka Danantara adalah sumber bahan bakarnya. Sovereign Wealth Fund ini diproyeksikan mengelola hampir 1 triliun dolar AS pada 2029 dan berpotensi menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Potensinya besar untuk membiayai proyek strategis jangka panjang, termasuk industrialisasi hijau.

Namun hingga kini, arah investasinya masih kabur. Status hukumnya yang langsung berada di bawah presiden menimbulkan pertanyaan soal akuntabilitas. Rangkap jabatan sejumlah menteri memperbesar risiko konsentrasi kekuasaan. Pengalaman negara lain memberi peringatan: skandal 1MDB di Malaysia menunjukkan betapa mudahnya dana publik raksasa diselewengkan ketika transparansi dan pengawasan minim.

Danantara hanya bisa menjadi instrumen efektif jika tata kelola diperkuat dan pengawasan publik dijamin. Jika tidak, ia berpotensi menjadi pintu baru oligarkisasi.

Kombinasi hilirisasi yang sempit dan Danantara yang sentralistis menimbulkan dua ancaman. Pertama, terkikisnya akuntabilitas ketika kekuasaan ekonomi terkonsentrasi pada segelintir elit. Kedua, kegagalan menekan emisi karbon karena aktivitas yang diklaim mendukung transisi energi justru menimbulkan kerusakan lingkungan baru.

Solusi atas tantangan ini bukanlah mundur dari industrialisasi hijau, melainkan menegakkan demokrasi ekonomi. Bung Hatta sejak awal kemerdekaan sudah mengingatkan bahwa modal harus dibatasi agar tidak menguasai negara, dan hasil pembangunan harus dibagi merata. Prinsip itu tetap relevan hari ini.

Apalagi ketimpangan semakin tajam. Dalam sepuluh tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen per tahun, tetapi kekayaan 40 orang terkaya melonjak lebih dari 160 persen. Konsentrasi kekayaan sebesar itu membuat demokrasi mudah terdistorsi.

Industri hijau hanya akan berhasil bila ditopang oleh demokrasi ekonomi. Itu berarti negara yang kapabel menjaga visi jangka panjang dari intervensi oligarki, negara yang akuntabel pada pengawasan publik dan parlemen, serta negara yang partisipatif dengan melibatkan pekerja, komunitas lokal, dan masyarakat sipil sejak tahap perencanaan hingga evaluasi.

Tanpa itu, industrialisasi hijau hanya akan menjadi kapitalisme hijau, wajah lama pembangunan eksploitatif yang diberi cat hijau.

Indonesia kini berada di persimpangan. Jalan pertama adalah kapitalisme hijau, pola lama yang tetap ekstraktif hanya dengan bungkus baru. Jalan kedua adalah ekonomi hijau yang demokratis, yang menjadikan industrialisasi hijau sebagai jalan menuju keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan ketahanan ekonomi jangka panjang.

Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.

Gelombang protes publik Agustus-September 2025 adalah pengingat bahwa rakyat menuntut jalan kedua. Jika Indonesia ingin memimpin era ekonomi hijau sekaligus mencapai status negara berpendapatan tinggi pada 2045, demokrasi ekonomi harus menjadi kata kunci.

Tiga langkah konkret bisa ditempuh: memperkuat transparansi dan akuntabilitas Danantara, memastikan standar lingkungan dan sosial dalam hilirisasi benar-benar ditegakkan, serta membuka ruang partisipasi publik dalam perencanaan kebijakan industri.

Dengan demokrasi ekonomi, reindustrialisasi hijau menuju 2045 tidak hanya membawa pertumbuhan, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan.

Robie Kholilurrahman. Manajer Program Mineral Transisi dan Kebijakan Industri HIjau di INDEF.

Jejak Industrialisasi: Dari Kejayaan ke Deindustrialisasi

Hilirisasi: Antara Peluang dan Jebakan

Danantara dan Tata Kelola

Demokrasi Ekonomi sebagai Syarat Utama

Persimpangan Sejarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *