Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon mendorong kolaborasi lintas negara di kalangan pemuda Asia Tenggara guna melestarikan budaya secara berkelanjutan. Hal ini disampaikan saat membuka acara Southeast Asian Youth Meeting and Culture Heritage Clinic di Jero Tumbuk Culture & Retreat, Karangasem, Bali, Sabtu (22/6).
Kegiatan yang berlangsung pada 21-26 Juni ini mengusung tema “Integrating Sustainability Development and Cultural Heritage for a Better Future”. Program ini merupakan hasil kerja sama Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia dan Southeast Asian Culture Heritage Alliance (SEACHA) yang berbasis di Bangkok, Thailand.
“Merupakan kehormatan bagi Kementerian Kebudayaan Republik indonesia untuk hadir dalam pertemuan penting ini, sebuah pertemuan yang lahir dari dedikasi SEACHA dan komitmen akar rumput dari Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia dengan mengangkat tema penting ‘Integrating Sustainability Development and Cultural Heritage for a Better Future,” ujar Fadli Zon dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).
Program Culture Heritage Clinic merupakan inisiatif untuk memberdayakan pemimpin-pemimpin muda dan organisasi pemuda lokal dari negara-negara anggota SEACHA. Tahun ini, Culture Heritage Clinic berfokus pada isu penting mengenai kebijakan pariwisata dan dampaknya terhadap warisan budaya, serta memberikan pemahaman mengenai prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan.
Program Culture Heritage Clinic ini sangat penting untuk membangun masa depan pariwisata yang berkelanjutan bagi negara-negara anggota SEACHA. Dengan membahas kebijakan pariwisata serta prinsip- pariwisata berkelanjutan, program ini memberdayakan pemangku kepentingan, seperti pejabat daerah dan kota, serta organisasi pemuda lokal, untuk membuat keputusan yang tepat demi keberlangsungan warisan budaya dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Diselenggarakan mulai tanggal 21 hingga 26 Juni 2025 di Jero Tumbuk Culture & Retreat dan Pura Agung Besakih, Karangasem, Bali, program pelatihan diikuti oleh perwakilan delegasi dari negara-negara ASEAN. Program diisi dengan berbagai kegiatan, di antaranya ekskursi ke destinasi budaya, sejumlah presentasi dan diskusi budaya, serta ditutup dengan cultural dinner.
Fadli Zon menuturkan, bahwa kehadiran seluruh peserta dalam kegiatan ini bukan semata untuk membahas pelestarian budaya secara teoritis, melainkan untuk terlibat langsung dalam konteks nyatanya. Ia mencontohkan dua lokasi yang menjadi tempat berlangsungnya kegiatan ini.
“Di Jero Tumbuk, yang terletak di tengah persawahan, para peserta akan melihat secara langsung bagaimana ekowisata berbasis komunitas mengalokasikan 15 persen dari pendapatannya untuk melestarikan tradisi lisan yang mulai langka,” ujarnya.
Sementara itu, di Pura Agung Besakih, peserta dapat melihat bagaimana jumlah peziarah yang mencapai 50.000 setiap bulannya dapat dikelola dengan baik, tanpa mengurangi kesakralan tempat suci tersebut.
“Kedua lokasi ini menjadi contoh konkret pengelolaan warisan budaya yang berakar pada komunitas dan dilandasi oleh nilai-nilai spiritual,” tambah Fadli Zon.
Lebih lanjut, menurut Fadli Zon, program ini menunjukkan bahwa dialog lintas negara dapat diwujudkan menjadi aksi nyata di tingkat komunitas.
“Sejak pertama kali diselenggarakan di Siak pada 2020-2021, kemudian berlanjut ke San Carlos di Filipina dan Songkhla di Thailand, program ini tidak hanya membangun kapasitas peserta, tetapi juga menumbuhkan rasa solidaritas dan kepemilikan bersama terhadap warisan budaya,” jelasnya.
Head of Advisory Board Jero Tumbuk Culture & Retreat, I Gusti Lanang Muliarta meyampaikan mengenai pekerjaan pelestarian budaya yang dilakukan di tempatnya.
“Hari ini kami mengundang perwakilan desa adat yang memerlukan perhatian khusus terhadap keberlanjutan budaya di daerahnya. Sebut saja tari gambuh, tari sanghyang, tari baris perisi, wayang wong, juga subak,” jelasnya.
Di Jero Tumbuk, akan dilakukan pelestarian budaya dengan menghadirkan para pengajar yang berasal dari masyarakat sekitar. I Gusti Lanang Muliarta berharap apa yang dilakukan di Jero Tumbuk bisa berkelanjutan, berkembang lebih besar, dan bisa ditiru oleh daerah lain sehingga tumbuh bibit-bibit pelestarian budaya di Bali, khususnya di Karangasem.
Tak hanya memusatkan perhatiannya terhadap pelestarian nilai budaya, di Jero Tumbuk juga dilakukan bisnis berbasis sosial melalui Koperasi Tani Mandiri serta meningkatkan ekonomi termasuk sektor pariwisata berbasis budaya dan alam.
Chairperson Executive Board SEACHA, Ivan Hanares menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas partisipasi Indonesia, khususnya Bali dalam penguatan pengembangan kapasitas melalui kolaborasi dalam program Heritage Management Clinic.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Kami telah membangun kolaborasi dengan negara sahabat lainnya di Asia Tenggara, kami juga telah berjejaring bersama pada pemangku kepentingan di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Terima kasih sudah berpartisipasi dalam kegiatan ini dan tentunya dengan melibatkan komunitas lokal yang ada di Bali,” ucapnya di hadapan para undangan termasuk delegasi sejumlah negara ASEAN yang hadir.
Hadir dalam acara ini Chairperson Jero Tumbuk Culture & Retreat, Catrini Pratihari Kubontubuhl; Direktur Warisan Budaya, I Made Dharma Suteja; Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan XV Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat, Kuswanto; Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia, Putu Supadma Rudana; Ketua DPD Partai Gerindra Bali, Made Muliawan Arya; Perwakilan delegasi Southeast Asian Youth Meeting and Culture Heritage Clinic dari Singapura, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, Laos, dan Indonesia; serta sejumlah pejabat daerah dan perwakilan desa adat.
Di akhir sambutannya, Fadli Zon meluncurkan Map of Jero Tumbuk Mindfulness Work dan berharap Jero Tumbuk hadir sebagai wadah yang menaungi ekspresi budaya di Karangasem. Fadli Zon juga berharap kegiatan ini dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya kolektif seluruh negara dalam melestarikan dan memanfaatkan kekayaan budaya.