Insiden Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi saat menegur sekelompok pemuda yang membentangkan spanduk berisi “Selamatkan Persikas” sempat mengagetkan publik. Insiden berakhir manis dengan permintaan maaf saat kunjungan supporter Persikas ke kediaman Gubernur yang akrab disapa KDM ini. Peristiwa ini mengingatkan kita pada pentingnya strategi komunikasi publik yang efektif dan beretika bagi pejabat, terutama di era media sosial yang serba cepat dan terbuka.
Gubernur Dedi Mulyadi yang sedang berkomunikasi dengan seorang ibu yang ditinggal suaminya, mendadak marah ketika melihat gerombolan anak muda membawa spanduk yang menyuarakan penolakan Persikas Subang dijual. Persikas merupakan tim sepak bola Subang yang berkompetisi di Liga 2. Alhasil, video kemarahan menjadi viral, dan banjir komentar netizen.
Gaya komunikasi yang temperamental atau emosional sering kali menimbulkan kehebohan di ruang publik. Dalam konteks penyampaian pesan komunikasi, gaya ini yang menyita waktu dan tenaga, bahkan tak jarang mengaburkan substansi pesan yang ingin disampaikan. Hal ini selaras dengan George Herbert Mead (1934), tokoh utama teori interaksionisme simbolik, dia menjelaskan emosi yang tidak terkelola dengan baik dalam komunikasi bisa mengganggu proses pembentukan makna bersama yang penting dalam interaksi sosial.
Niat Baik Saja tak Cukup
Fenomena pemimpin Indonesia yang temperamental diulas Haresti Asysy Amrihani (2021) dalam artikel ilmiah bertajuk “Retorika Deliberative: Komunikasi Marah Marah Pejabat di Ruang Publik”. Hasil riset Amrihani menunjukkan bahwa pejabat publik di Indonesia sering menggunakan gaya komunikasi yang menekankan urgensi dan motivasi perubahan.
Berdasarkan Social Judgement Theory, audiens akan menilai pesan berdasarkan kerangka referensi mereka, sehingga gaya komunikasi emosional dapat memicu polarisasi dan memperkeruh diskusi publik. Contoh serupa juga terjadi pada pejabat lain seperti Tri Rismaharini dan Basuki Tjahaja Purnama, yang meski berniat baik, mengalami resistensi akibat gaya komunikasi yang kurang tepat konteks.
Bagaimana dengan KDM? Rasanya sulit untuk mengelak kehadiran niat baik dan kasih sayang KDM pada rahayat Jabar. Tak terhitung berbagai konten di media sosial yang menggambarkan interaksi KDM dengan warganya. Ekspresi kasih sayang ditunjukkan mulai dari pelukan, kunjungan ke rumah warga, hingga kesediaan Sang Gubernur menggendong warga yang dibantunya. Namun, terselip pula sejumlah insiden yang menunjukkan ekspresi emosional KDM. Manusiawi memang, namun sebagai tokoh publik hal ini perlu diminimalisasi agar tak memicu polarisasi dan memperkeruh diskusi publik seperti yang digambarkan Social Judgement Theory.
KDM berhasil memperkuat kepercayaan publik dengan mendengarkan langsung keluhan masyarakat, merespons cepat, dan menyampaikan kebijakan secara terbuka. Pendekatan ini menciptakan kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat, sekaligus menurunkan jarak antara pejabat dan warga. Hal ini sudah cukup, tak perlu diberi “warna” aksi temperamental.
Di era digital, media sosial membuka ruang dialog yang lebih luas, namun menuntut kehati-hatian ekstra. Pejabat publik perlu mengedepankan prinsip keterbukaan, empati, dan kejelasan pesan agar kebijakan dapat diterima secara konstruktif. Komunikasi yang baik bukan berarti selalu lembut, tetapi harus berbasis data, tepat konteks, dan menghindari ekspresi emosional berlebihan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Komunikasi Pemimpin Sunda
Sejatinya KDM memiliki modal komunikasi yang cukup memadai. Gaya komunikasinya sangat kental dengan kearifan lokal Sunda yang humanis, naratif, dan membumi. Ia menggunakan bahasa daerah, cerita sehari-hari, serta nilai budaya lokal yang melekat di hati rakyatnya. Pendekatan ini membuat pesan lebih relevan dan mudah diterima, sekaligus memperkuat ikatan sosial antara pemimpin dan masyarakat.
Tak jarang, KDM dianggap meneladani jejak kepemimpinan Sunda dari Prabu Siliwangi. Hal ini menjadi modal penting yang membentuk citra positif KDM di hati masyarakat Sunda. Oleh karena itu, sangat penting bagi KDM untuk terus mengembangkan komunikasi yang berlandaskan penghormatan pada nilai-nilai budaya Sunda, agar hubungan dengan masyarakat semakin kuat dan pesan-pesan kepemimpinan dapat diterima dengan lebih baik.
Ke depan, KDM dan tim komunikasi publiknya sebaiknya belajar dari sistem Tri Tangtu di Buana dalam tradisi Sunda kuno saat menentukan strategi komunikasi publik yang efektif bagi rahayat Jabar. Melansir ulasan Rangga Saptya Mohamad Permana berjudul “Makna Tri Tangtu di Buana yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik dalam Fragmen Carita Parahyangan“, sistem politik di Kerajaan Sunda membagi kekuasaan dalam tiga pilar: Prebu (raja/eksekutif), Rama (tokoh masyarakat/legislatif), dan Resi (kaum intelektual/yudikatif), yang saling mengontrol dan mengambil keputusan secara musyawarah. Prinsip ini mencegah kekuasaan otoriter dan memperkuat legitimasi melalui dialog dan kolaborasi lintas kelompok.
Dalam konteks komunikasi politik modern, nilai-nilai Tri Tangtu di Buana menuntut pejabat publik untuk mengedepankan dialog partisipatif, transparansi, dan musyawarah, bukan komunikasi satu arah yang otoriter atau emosional. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal Sunda dan prinsip Tri Tangtu di Buana ke dalam strategi komunikasi, pejabat publik tidak hanya membangun kepercayaan dan kedekatan dengan masyarakat, tetapi juga menciptakan ruang diskusi yang sehat, demokratis, dan produktif.
Masyarakat kini menuntut pejabat yang tidak hanya punya niat baik, tetapi juga mampu mengelola komunikasi secara profesional dan adaptif terhadap dinamika ruang publik. Strategi komunikasi yang matang akan menjaga kepercayaan publik, menghindari kesalahpahaman, dan memastikan kebijakan yang baik benar-benar dipahami serta didukung rakyat. Sudah saatnya pejabat publik menyeimbangkan niat baik dengan komunikasi yang cerdas, etis, dan berakar pada nilai-nilai lokal.
Rinda Aunillah
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung
Simak juga Video: Demul Sentil Warga Konsumtif Setelah Dapat Uang Pembebasan Lahan