Organisasi kemasyarakatan (Ormas), secara hakiki merupakan cerminan dari partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya terdapat semangat gotong royong, solidaritas sosial, serta ruang bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan kepedulian terhadap isu-isu yang mereka anggap penting, termasuk memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Peran ormas sejatinya bukan hal baru di tanah air. Sejak masa penjajahan, kita mengenal tokoh-tokoh pergerakan yang memulai perjuangan Indonesia mereka melalui wadah-wadah organisasi masyarakat.
Saat ini, ormas kadang kali membuat masyarakat merasakan keresahan sehingga tak selalu menggambarkan cita-cita luhur yang dulu menjadi alasan pendiriannya. Di lapangan, kita menyaksikan berbagai dinamika ormas sebagian di antaranya berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis/menguntungkan kelompok, potensi ormas yang mengarah pada disintegrasi bangsa, potensi ormas yang mengarah superior kelompok tertentu untuk menekan minoritas dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundangan ataupun merugikan rakyat lainnya. Ironisnya, mereka mendapat sorotan publik karena sifat aksinya yang mengganggu ketertiban umum atau bahkan memunculkan rasa takut di tengah masyarakat.
Ketika ormas menyimpang dari tujuan dan fungsinya, bukan hanya citra organisasi yang berdampak tidak baik, melainkan juga tatanan kehidupan sosial yang ikut terganggu.
Kondisi ini secara tersirat terdapat ormas lebih mengutamakan kepentingan pihak/kelompok tertentu dibandingkan peran fungsi sosialnya kepada masyarakat, sehingga ke depan marwah dan integritas ormas dikhawatirkan dapat semakin tergerus.
Sebagai bentuk langkah awal solutif, diperlukan monitoring dan evaluasi menyeluruh mengenai keberadaan dan peran ormas agar tetap memberikan manfaat dan bermartabat.
Meskipun demikian, sebagian besar ormas masih memegang teguh komitmen sosial dan nilai-nilai keadaban publik. Mereka bekerja dalam senyap, membangun masyarakat dari akar rumput, mengisi ruang-ruang kosong yang belum sepenuhnya mampu dijangkau oleh negara.
Sebenarnya, regulasi terkait ormas sudah cukup jelas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang diperbarui melalui UU Nomor 16 Tahun 2017, telah memberikan batasan yang tegas mengenai aktivitas ormas. Undang-undang ini melarang keras ormas melakukan kekerasan, permusuhan terhadap SARA, menyebarkan ideologi bertentangan dengan Pancasila, mengganggu ketertiban umum, kegiatan separatisme dan/atau mengambil alih fungsi penegak hukum. Sayangnya, dalam praktiknya, penerapan aturan tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan. Negara dihadapkan pada dilema antara bertindak tegas dengan risiko dianggap represif atau dituding anti demokratis atau bersikap lunak yang justru memperbesar potensi ruang gerak penyimpangan. Maka yang diperlukan adalah kebijakan yang bijak, tegas, terukur, namun tetap menjunjung tinggi rasa keadilan masyarakat demi terwujudnya perlindungan sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi UUD 45..
Permasalahan dasarnya bukan pada ketiadaan aturan, melainkan mungkin belum sepenuhnya implementasi dilaksanakan baik pada pola sinkronisasi kebijakan pengawasan & penanganan, pembinaan, dan penegakan.
Konstitusi memang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 9 Tahun 1998, namun perlu digarisbawahi bahwa kebebasan bukan berarti tanpa batas. Hak seseorang untuk menyuarakan pendapat harus tetap menjaga ketertiban umum dan masih dalam koridor untuk perbaikan masukan konstruktif. Ketika suatu aksi massa berubah menjadi intimidasi atau bahkan kekerasan, maka saat itu kita tak lagi berbicara soal demokrasi melainkan pelanggaran hukum yang harus mendapat tindakan penegakan hukum yang nyata.
Disisi lain, hal yang paling mendasar bahwa politik hukum juga harus benar-benar mewakili suara “kebutuhan” rakyat, bukan suara kepentingan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kebutuhan rakyat jika memang ingin pemerintah dicintai oleh rakyatnya.
Dalam hal penindakan terhadap pelanggaran oleh ormas, pemerintah diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi secara bertahap. Tahap awal berupa teguran tertulis satu sampai dengan ketiga, yang bertujuan mengingatkan agar ormas segera memperbaiki diri. Jika teguran ini tidak diindahkan, pemerintah bisa menghentikan sementara aktivitas ormas tersebut sebagai bentuk evaluasi internal. Jika kedua langkah ini masih tidak efektif, pemerintah dapat mencabut status hukum atau menghentikan kegiatan ormas tersebut secara permanen sesuai dengan tata cara yang diatur di UU Ormas. Penghentian sementara dan pencabutan/penghentian tetap wajib memenuhi permintaan pertimbangan ke instansi sesuai yang diatur dalam UU Ormas.
Adapun kewenangan pemberian sanksi administratif dibagi secara jelas dan berjenjang. Untuk ormas yang berbadan hukum, sanksi berada di bawah kewenangan Menteri Hukum. Untuk ormas tidak berbadan hukum yang beroperasi di tingkat nasional, Menteri Dalam Negeri yang bertanggung jawab. Sementara itu, ormas tingkat provinsi menjadi tanggung jawab Gubernur, dan ormas tingkat kabupaten/kota di bawah wewenang Bupati atau Wali Kota. Pembagian kewenangan ini diatur demikian agar keputusan yang diambil lebih proporsional, mempertimbangkan cakupan serta dampak dari pelanggaran yang terjadi.
Meski demikian, penindakan semata tidak cukup. Pembinaan juga menjadi elemen yang sangat penting, tetapi sayangnya sering terlupakan. UU Ormas telah mengatur secara jelas tentang kewajiban pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap ormas. Namun, banyak masyarakat menilai pembinaan yang ada selama ini masih terkesan formalitas atau sebatas seremonial. Ke depan, sebagai bentuk usulan pemerintah perlu melibatkan berbagai elemen pemerintah dan masyarakat seperti kementerian/badan terkait, akademisi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat dalam upaya pembinaan tersebut. Pendidikan Pancasila, literasi hukum, manajemen organisasi, etika sosia, dan ketanahan bela negara harus menjadi bagian penting dari program pembinaan, keselarasan output dan outcome untuk menjadi ormas yang sesuai tujuan dan fungsi peranannya menjadi indikator keberhasilan program tersebut.
Selain itu, realitas lapangan yang semakin kompleks mengharuskan pemerintah tidak berjalan sendirian. Maka, usulan pembentukan satuan tugas atau task force lintas pemangku kepentingan perlu segera dipertimbangkan untuk diwujudkan di setiap tingkatan kewenangan kelembagaan, baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Task Force di tingkat pusat juga secara paralel dapat dioptimalkan melalui Kementerian Koordinator yang menangani bidang keamanan dan hukum. Task force ini diharapkan bukan untuk menciptakan ketakutan atau represi, tetapi lebih kepada wadah dialog dan pertukaran informasi antar-pihak terkait untuk merumuskan, menetapkan, dan mangambil sikap langkah strategis dalam menghadapi dinamika ormas. Pendekatan kolaboratif ini diharapkan mampu menciptakan keputusan strategis yang bijak, proporsional, tepat guna, berhasila guna, dan dapat diterima secara luas oleh masyarakat.
Menjaga marwah ormas berarti menjaga salah satu penopang utama demokrasi. Ormas yang sehat akan turut memperkuat sendi-sendi kehidupan sosial-politik yang inklusif dan beradab. Mereka menjadi mitra pembangunan, pengawal nilai-nilai kebangsaan, serta tempat lahirnya berbagai inisiatif masyarakat yang positif.
Sebaliknya, jika ormas justru menjadi instrumen tekanan, menyebarkan ketakutan, atau bahkan menyulut konflik horizontal, maka negara wajib hadir. Pembiaran yang berlarut-larut akan menjadi permasalahan bangsa semakin tambah besar, kompleks, sistematis, dan tidak terkendali, maka kehadiran Negara diperlukan bukan untuk menekan, melainkan untuk menertibkan dan melindungi hak semua warga negara.
Oleh karena itu, kita butuh pendekatan yang holistik: penegakan hukum yang adil, pembinaan berkelanjutan, serta sinergi antarsektor. Semua pihak pemerintah, masyarakat sipil, media, akademisi, dan ormas itu sendiri duduk bersama, menyamakan vis bahwa ormas adalah bagian dari solusi, bukan sumber persoalan atau permasalahan bangsa.
Demokrasi sejatinya bukan hanya tentang kebebasan, melainkan juga soal tanggung jawab. Maka, menjaga ormas agar tetap berada di jalur yang benar adalah tanggung jawab kita bersama. Kita tak ingin melihat organisasi yang semestinya menjadi pilar sosial justru berubah menjadi ancaman sosial.
Kini, saatnya kita benahi bersama. Pemerintah perlu lebih bijaksana mengambil langkah strategis sinkronisasi penanganan pola pembinaan dan penindakan yang meresahkan masyarakat, masyarakat harus lebih sadar, ormas harus lebih mawas dan instropeksi diri. Kita kembalikan marwah ormas sebagai representasi dari semangat gotong royong dan kepedulian sosial yang tulus.
Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang kebebasan, melainkan juga tentang tanggung jawab kita bersama dalam menjaga kehidupan yang harmonis dan bermartabat.
Karena jika ormas berjalan dengan lurus sesuai dengan koridor harapan masyarakat dan peraturan perundang-undangan, maka masyarakat akan berjalan dengan tenang. Dan bila masyarakat tenang, maka bangsa ini akan melangkah maju dengan kepala tegak dan hati yang damai, karena investasi akan berkembang pesat dan menopang dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
IGN Agung Y. Endrawan, SH, MH, CCFA, Praktisi Hukum, Pengamat Kebijakan Publik, Mantan Direktur Kebijakan Bakamla, Asisten Komisioner KASN, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik