Menulis Ulang Sejarah dengan Kemanusiaan

Posted on

Sudah berminggu-minggu, penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia awet mengemuka. Masih segar di pikiran kita bagaimana Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon, menyatakan pemerkosaan massal ’98 bukan termasuk “sejarah”. Pemerintah sibuk “memilah” partisipasi rakyat. Citra buruk disensor. Proyek ini tampak jauh dari kepentingan publik.

Menulis sejarah, kaitannya dengan menulis ulang, merupakan laku objektif. Sejarah yang ditulis harus benar-benar merepresentasikan peristiwa secara faktual, tidak ditambah maupun dikurangi. Namun, objektivitas ini justru berbenturan dengan kenyataan bahwa sejarah ditulis oleh manusia. Manusia menulis sejarah berdasarkan sudut pandangnya. Manusia mengakomodir sumber sejarah terdahulu. Lalu menerjemahkannya ke dalam sisi kemanusiaan, seperti kesedihan maupun kebahagiaan. Sekalipun hal Penulis mengolah narasi supaya teks sejarah tidak hanya membentuk peristiwa, tapi juga bagaimana sejarah membentuk sebuah realitas.

Melihat fenomena ini, objektivitas bukan berarti bertindak netral. Sebab manusia adalah subjek yang ingin dirinya hadir dalam sebuah wacana—meminjam apa yang dikatakan Slavoj Zizek. Maka pertanyaannya bukan bagaimana menulis sejarah dengan netral? Tapi bagaimana mengadopsi dorongan subjektif agar sejarah tetap objektif?. Jawabannya adalah dengan memperbanyak peran subjek. Peran yang tidak hanya dilakukan oleh penulis, tapi juga pelaku sejarah yang akan ditulis. Penulis sejarah harus bisa mengakomodir sisi-sisi kemanusiaan tersebut.

Upaya memperbanyak subjek dalam penulisan sejarah disebut sifat intersubjektif. Passerini (2000) menyebut intersubjektif merupakan produk negosiasi antara penulis, narasumber, dan pembaca. Artinya, siapapun dapat menjadi subjek dari teks sejarah. Ketika sejarah ditulis, muncul interaksi antara subjek penulis dengan subjek narasumber, seperti budayawan, pelaku sejarah, hingga masyarakat setempat. Lalu, ketika selesai ditulis, muncul interaksi dengan subjek pembaca. Seorang pembaca dapat mempertanyakan kebenaran teks sejarah. Maka tampaklah teks sejarah bukan sebuah wacana yang pasti. Teks sejarah diciptakan oleh banyak subjek.

Kiranya kita telah melihat polemik penulisan ulang sejarah Indonesia. Ada satu pernyataan pemerintah yang merangkum semua masalah tersebut: proyek ini bukan untuk menulis sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) tapi sejarah Indonesia (tirto.id). Dari sini kita melihat bagaimana peran para korban hingga organisasi kemanusiaan dihiraukan. Pun keluhan masyarakat sebagai pembaca disepelekan. Banyak subjek yang disisihkan dalam proyek penulisan ulang sejarah. Kita melihat pemerintah mengabaikan sisi kemanusiaan publik. Pemerintah berlaku sebagai subjek dominan, bahkan tunggal, sebagaimana disebutkan para pakar sejarah.

Tentu mengembalikan asas intersubjektif dalam penulisan sejarah perlu dilakukan. Namun upaya ini tentu tidak sekadar mengumpulkan kembali subjek-subjek yang terbuang. Para subjek perlu dilibatkan secara kemanusiaan. Maka bagaimana menyisipkan sisi kemanusiaan dalam teks sejarah?

Kuntowijoyo (2004) dalam artikel Sejarah/Sastra memandang sifat-sifat sastra dapat menghidupkan sisi kemanusiaan teks sejarah. Baginya, sisi kemanusiaan dalam teks sejarah hanya dapat terjalin apabila sastra masuk di dalamnya. Pandangan ini memperlihatkan kepada kita betapa nilai-nilai sastrawi dapat menjawab kebutuhan intersubjektif.

Kuntowijoyo memandang sejarah tertulis (written history) sebagai realitas yang terpotong-potong. Artinya, realitas dalam teks sejarah tidak utuh. Teks sejarah kerap menampilkan peristiwa yang tampak dan secara kronologis. Sejarah Indonesia merdeka, misalnya, mengurutkan proses pembentukkan Indonesia mulai dari kehidupan kerajaan, masa penjajahan, persiapan kemerdekaan, hingga proklamasi Indonesia. Teks sejarah tersebut melabelkan alur peristiwa, angka tahun, dan tokoh-tokoh partisipan di dalamnya. Kuntowijoyo menyebut ini sebagai realitas aktual.

Sedangkan sastra merupakan media yang berusaha mengungkap sisi-sisi subjektif manusia. Dalam puisi berlatar sejarah Indonesia merdeka, misalnya, penyair mengambil satu potongan sejarah Sumpah Pemuda. Penyair mengangkat rasa nasionalisme yang menghimpun rasa kesatuan para peserta sidang. Dalam contoh tersebut, kita melihat bagaimana sastra tidak hanya bersifat subjektif, akan tetapi mewakili seluruh subjek. Sastra menyentuh sisi empiris manusia. Sebuah pengalaman yang jarang disentuh teks sejarah. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai realitas simbolis.

Menurut Kuntowijoyo, realitas aktual dan simbolis harus ada dalam teks sejarah. Sastra mengambil bagian realitas simbolik untuk melengkapi sejarah yang sarat realitas aktual. Kuntowijoyo meminjam apa yang dikatakan Taufik Abdullah: Sejarah harus memperluas interpretasi dengan memakai khazanah sastra. Sejarah harus menyentuh sisi kemanusiaan untuk mengisi ruang yang tidak diisi olehnya. Caranya dengan menerjemahkan perasaan pelaku/korban sejarah ke dalam sebuah narasi. Ini dilakukan supaya sisi kemanusiaan meliputi kebahagiaan hingga penderitaan korban dapat dirasakan para pembaca.

Kita anggap sejarah Indonesia lama sebagai sebuah potongan realitas masa lalu. Maka penulisan ulang sejarah diasumsikan sebagai upaya untuk menambal potongan tersebut dengan realitas simbolis. Penolakan untuk melibatkan isu HAM dalam penulisan ulang sejarah Indonesia menggambarkan kurangnya kesadaran pemerintah untuk mengakomodir realitas simbolis. Pemerintah mengabaikan interpretasi sejarah. Akibatnya, perasaan kita sebagai pelaku, korban, atau pembaca sejarah menjadi tidak terwakili.

Di sisi lain, pemerintah juga harus merawat para subjek. Teks sejarah adalah simbol persatuan yang mewakili sisi kemanusiaan secara kolektif. Rasa kecewa dan marah kita terhadap peristiwa pemerkosaan ’98 misalnya, akan terwakili jika pemerintah benar-benar menuliskannya dalam teks sejarah Indonesia. Pengakuan tersebut berdampak luas. Pengakuan pemerintah terhadap sisi kemanusiaan membuat masyarakat hadir sebagai subjek sejarah. Mereka yang dilibatkan akan merasa menjadi bangsa yang satu.

Teks sejarah selalu berada dalam dialog panjang, sekalipun selesai ditulis. Sebagaimana Kuntowijoyo menyebut, sejarah harus dialektis dan berani berhadap-hadapan dengan masyarakat, menjadi kritik sosial. Tanpa melibatkan sisi kemanusiaan, teks sejarah hanyalah peristiwa kronologis yang rawan kepentingan politik.

Narendra Brahmantyo Karnamarhaendra Roosmawanto. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, Pemerhati sastra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *