Sepuluh tahun berlalu sejak malam ketika Paris berubah menjadi kota luka. Pada 13 November 2015, suara tembakan dan ledakan memecah ritme kehidupan: 130 orang tewas, lebih dari 400 lainnya terluka. Dunia menyebutnya serangan teroris. Orang-orang Paris menyebutnya malam yang tak pernah usai.
Di tahun kesepuluh ini, para penyintas dan pemimpin negeri bersiap memperingati tragedi itu – sebuah ritual duka yang telah menjadi bagian dari kalender kenegaraan. Presiden Emmanuel Macron, bersama Wali Kota Anne Hidalgo, akan memimpin upacara di taman memorial baru di depan Balai Kota Paris. Di sana, enam tugu batu menandai lokasi-lokasi serangan, dengan nama-nama korban terukir di permukaannya.
Arthur Denouveaux, presiden asosiasi korban Life for Paris, masih mengingat info-info ketika dentuman musik berubah menjadi pekik. Ia sedang menonton konser Eagles of Death Metal di teater Bataclan, ketika tiga pria bersenjata masuk dan menembaki kerumunan. Sembilan puluh orang mati di tempat itu.
“Tahun kesepuluh ini datang membawa ketegangan yang sama,” katanya. “Kami hidup di antara kenangan dan kehilangan. Dunia di luar seakan menjauh.”
Namun kehidupan, kata Denouveaux, selalu menuntut kembali. “Yang paling berat justru tanggal 14 November, ketika kita harus berpura-pura kembali ke kehidupan normal,” ujarnya pada Associated Press.
Malam itu, bukan hanya Bataclan yang diserbu. Di jalanan Paris, kafe-kafe menjadi sasaran. Di Stade de France, tempat tim nasional Prancis menjamu Jerman, bom meledak di luar gerbang stadion. Sebuah kota yang dikenal karena cahaya dan cinta berubah jadi simbol ketakutan global.
Kini, saat upacara mengenang digelar, warga Paris diundang menaruh kartu dan bunga di Place de la Republique dan di bawah menara Eiffel. Di stadion Parc des Princes, sebelum laga kualifikasi Piala Dunia melawan Ukraina, akan ada satu menit hening—sebuah jeda di tengah riuh bola dan sorak penonton.
Macron dan Hidalgo juga akan meletakkan bunga di lokasi tragedi.
Didier Deschamps, yang melatih tim nasional sepuluh tahun lalu, mengaku resah bermain di hari peringatan teror Bataclan. “Tapi kami tak punya pilihan lain,” katanya. “Kehidupan – juga pertandingan – tak bisa ditunda selamanya.”
Dari para pelaku, hanya satu yang hidup: Salah Abdeslam, kini menjalani hukuman seumur hidup. Sembilan belas lainnya telah divonis bersalah.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid
