Laporan bahwa “korban sakit dan terluka dieksekusi secara kejam,” ditulis Koordinasi Komite Perlawanan Sudan (Sudanese Coordination of Resistance Committees), sebuah organisasi nonpemerintah, dua hari setelah Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) menguasai El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan.
Menurut organisasi tersebut, para milisi RSF telah membunuh hampir semua orang atau membiarkan mereka mati di Rumah Sakit Al Saudi di kota itu.
Citra satelit yang dianalisis Humanitarian Research Lab, Yale School of Public Health, mengonfirmasi bahwa sejak akhir pekan lalu muncul “kumpulan objek yang konsisten dengan ukuran tubuh manusia dan perubahan warna tanah kemerahan” di luar rumah sakit-rumah sakit di El-Fasher.
Beberapa sumber menyebut hingga 2.000 warga sipil telah tewas dalam tiga hari terakhir. Laporan dari lapangan masih sulit diperoleh karena RSF mematikan komunikasi satelit bagi penduduk.
Seorang perempuan yang berhasil melarikan diri dari El-Fasher kepada DW pada hari Rabu (29/10) mengatakan, “RSF mengambil semua yang kami miliki, mereka bahkan menggeledah pakaian dalam kami dan meninggalkan kami tanpa apa-apa — tanpa uang, tanpa ponsel.”
“Mereka melakukan uji coba militer terhadap orang-orang, dan jika mengetahui seseorang memiliki pengetahuan atau keterkaitan dengan urusan militer, mereka langsung dieksekusi,” tambahnya.
Pembunuhan massal terbaru ini merupakan eskalasi terbaru dari konflik Sudan yang meletus pada April 2023. Saat itu, Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) di bawah komando Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF, pimpinan Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemeti, berselisih terkait integrasi milisi ke dalam angkatan nasional.
Sejak itu, Sudan hancur oleh perang. Menurut International Rescue Committee, negara kaya emas dan minyak ini, dengan tanah subur yang luas, telah menjadi lokasi krisis kemanusiaan dan pengungsian terbesar yang pernah tercatat. Dari 51 juta penduduk, sekitar 14 juta terpaksa mengungsi. Kelaparan meluas, demikian pula wabah kolera dan penyakit lain. Organisasi internasional memperkirakan hingga 140.000 orang telah terenggut nyawanya.
Setelah merebut El-Fasher, kendali wilayah RSF kini mencakup Darfur dan sebagian selatan, sementara SAF menguasai ibu kota Khartoum serta wilayah utara dan tengah negara itu.
Organisasi kemanusiaan internasional menuntut RSF membuka koridor kemanusiaan bagi sekitar 177.000 orang yang tak bisa meninggalkan kota.
“Dengan SAF mundur, terutama warga sipil yang mendukung SAF kini mencoba melarikan diri, RSF memiliki kepentingan untuk menghina SAF dengan melampiaskan kekerasan pada warga sipil,” ujar Hager Ali, peneliti di GIGA Institute for Global and Area Studies, Jerman, kepada DW. “RSF juga berusaha menakut-nakuti warga sipil agar patuh di wilayah yang mereka kuasai.”
Pada Maret lalu, RSF dan kelompok bersenjata lain membentuk Sudan Founding Alliance (TASIS), dengan mandat membentuk “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan” untuk Darfur dan sebagian selatan. TASIS menegaskan di X (Twitter):
“Kami menegaskan posisi kami mengecam segala pelanggaran dan bekerja terus-menerus untuk menghentikannya. Namun perlu diluruskan: banyak video pelanggaran di media sosial adalah rekayasa dari media gerakan Islam, tentara bayaran dari pasukan gabungan, dan lainnya.”
Namun menurut Leena Badri, peneliti kebijakan Sudan, pernyataan itu tak lebih dari upaya TASIS “mendapat legitimasi politik untuk mendirikan struktur pemerintahan paralel mereka.”
Kedua belah pihak dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia(HAM) sepanjang konflik. Pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden menjatuhkan sanksi kepada kedua jenderal. RSF dituduh melakukan genosida dan pelanggaran HAM berat, sementara SAF dituduh menyerang warga sipil dan menghambat transisi demokratis.
“RSF tidak lebih brutal daripada kekuatan lain di dunia. Namun perbedaannya adalah kebijakan mereka bersifat sistematis dan genosidial,” ujar Shayna Lewis, spesialis Sudan dan penasihat senior PAEMA, sebuah LSM di AS yang fokus pencegahan kekejaman.
“Pembunuhan tanpa batas pasien dan staf medis di rumah sakit adalah modus operandi RSF,” tambahnya. RSF berkembang dari milisi Janjaweed yang terkenal dengan kekerasan ekstrem di Darfur antara 2003–2005, membunuh sekitar 300.000 warga sipil yang dianggap bukan Arab, melainkan Afrika.
Para pengamat menekankan bahwa sekutu internasional dari pihak yang bertikai menentukan apakah perang Sudan berakhir atau berlanjut. RSF diduga mendapat dukungan senjata dari Uni Emirat Arab (UEA) melalui Chad. SAF mendapat dukungan Mesir dan Qatar, sementara Arab Saudi menyatakan netral.
Darfur menjadi prioritas RSF, tidak hanya karena ini wilayah asal mereka, tetapi juga karena sumber daya penting seperti emas. Emas dibutuhkan untuk menghindari sanksi dan membeli senjata. Kedekatan Darfur dengan perbatasan Libya dan Chad memungkinkan RSF mengendalikan populasi sipil untuk mempermudah pengadaan senjata dan amunisi.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha







