Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja () Paruh Waktu telah dilaksanakan pada 28 Agustus hingga 27 September 2025 lalu. Kebijakan ini merujuk pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2025 tentang PPPK Paruh Waktu.
Saat ini, program tersebut telah memasuki tahap penetapan Nomor Induk PPPK, dan sejumlah instansi telah melaksanakan proses pengangkatan pegawai PPPK Paruh Waktu.
Program ini disebut sebagai salah satu solusi penataan tenaga non-ASN yang selama ini belum sepenuhnya terserap dalam formasi ASN.
Pemerintah menyebut kebijakan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ASN, memberi kepastian status bagi pegawai non-ASN, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Namun, di balik niat baik pemerintah tersebut, muncul perdebatan baru mengenai status kepegawaian, kesejahteraan, dan keberlanjutan karir para pegawai PPPK Paruh Waktu.
Sebagian pihak menilai, meski memiliki status ASN, hak-hak mereka sangat berbeda dengan PPPK penuh waktu.
Berbeda dengan sistem PPPK penuh waktu, skema PPPK Paruh Waktu dirancang lebih fleksibel dan adaptif. Jam kerja lebih pendek, dengan kontrak yang dapat disesuaikan setiap tahun sesuai kebutuhan instansi dan kemampuan anggaran.
Kebijakan ini berawal dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang menegaskan bahwa ASN terdiri atas dua kategori, yaitu PNS dan PPPK, dengan seluruh proses kepegawaiannya dijalankan berbasis sistem merit yaitu pengelolaan pegawai ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.
Masalah saat ini muncul karena dari jutaan pegawai non-ASN yang terdata di sistem Badan Kepegawaian Negara (BKN), tidak semuanya dapat diangkat menjadi PPPK.
Pemerintah kemudian mencari alternatif agar pegawai non-ASN tersebut tetap memiliki kejelasan status. Maka di sinilah konsep PPPK Paruh Waktu akhirnya diusulkan.
Target utama kebijakan ini adalah bagi pegawai non-ASN yang telah terdaftar dalam database BKN, tetapi tidak lolos seleksi CPNS Tahun Anggaran 2024, serta telah mengikuti seluruh rangkaian seleksi PPPK namun belum dapat mengisi formasi kebutuhan.
Sesuai ketentuan, PPPK Paruh Waktu berhak atas pendapatan setara upah minimum atau minimal sama dengan penghasilan terakhir saat menjadi pegawai non-ASN, tergantung mana yang lebih tinggi. Selain itu, instansi pemerintah juga dapat memberikan pendapatan lain (jika tersedia anggaran dan diatur secara internal):
1. Tunjangan Hari Raya (THR) dan Gaji ke-13, secara proporsional berdasarkan jam kerja;
2. Tunjangan kinerja yang disesuaikan dengan beban kerja;
3. Jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan melalui BPJS.
Meski begitu, status ASN yang disandang belum sepenuhnya diikuti oleh hak yang setara, terutama terkait tunjangan kinerja, jenjang karir, dan kepastian kontrak jangka panjang.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana PPPK Paruh Waktu dapat menjadi instrumen efektif untuk penyelesaian tenaga non-ASN tanpa menciptakan ketimpangan baru di birokrasi pemerintah?
Bagi sebagian instansi, kebijakan PPPK Paruh Waktu dianggap solusi realistis di tengah keterbatasan anggaran. Namun bagi para pegawai, status ASN yang “setengah penuh” ini masih menyisakan tanda tanya, “apakah kebijakan ini akan menjadi langkah transisi menuju status ASN seutuhnya, atau justru menjadi bentuk baru dari ketidakpastian?”
Ke depan pemerintah berencana melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi PPPK Paruh Waktu untuk menentukan keberlanjutan dan efektivitasnya dalam mendukung sistem merit pegawai ASN di Indonesia.
Kehadiran PPPK Paruh Waktu tak hanya mengubah pola kerja, tetapi juga menimbulkan pertanyaan baru, “apakah ke depan pemerintah masih akan membuka formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara besar-besaran?”
Selama ini, sistem rekrutmen ASN diketahui melalui dua jalur yaitu CPNS untuk jabatan karir jangka panjang dan PPPK untuk jabatan pro hire berbasis kontrak. Namun dengan hadirnya PPPK Paruh Waktu, muncul kecenderungan bahwa kebutuhan pegawai di level teknis dan administratif akan lebih banyak diisi oleh PPPK, karena dianggap lebih fleksibel dan efisien dari sisi anggaran.
Jika tren ini berlanjut, jumlah formasi CPNS kemungkinan akan semakin terbatas dan difokuskan pada jabatan strategis yang menuntut kompetensi, kualifikasi, serta kepemimpinan tinggi.
Sebaliknya, posisi pelaksana dan jabatan fungsional pendukung berpotensi lebih banyak diisi oleh PPPK, baik penuh waktu maupun paruh waktu. Kebijakan ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah.
Apakah skema PPPK Paruh Waktu benar-benar menjadi bagian dari transformasi sistem merit menuju birokrasi yang adaptif, atau justru menandai mulai berkurangnya rekrutmen CPNS secara perlahan?
Ika Ardhile Nugrahaningtyas. Mahasiswa S2 di Universitas Indonesia dan seorang PNS di BKN.
Simak juga Video: Pengangkatan CPNS Paling Lambat Juni, PPPK Oktober 2025