Perintah Prabowo dan Perlawanan terhadap Penipu Beras

Posted on

Dalam dua hari berturut-turut, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan peringatan yang sama: jangan main-main dengan pangan rakyat. Dari Solo hingga Klaten, dua pidato berturut yang ditujukan langsung kepada Jaksa Agung dan Kepolisian menunjukkan bahwa presiden tidak lagi bersabar menghadapi para pelaku usaha yang mempermainkan distribusi beras.

Praktik pengoplosan beras, di mana beras subsidi dicampur lalu dikemas ulang dan dijual sebagai beras premium, dianggapnya bukan hanya pelanggaran hukum biasa, tetapi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan rakyat.

Presiden tidak berhenti pada narasi hukum. Ia juga menyebut fenomena ini sebagai bagian dari penyakit sistemik: keserakahan ekonomi yang menjadikan rakyat kecil sebagai objek eksploitasi. Istilah yang digunakan pun lugas dan politis: serakahnomics. Sebuah sindiran tajam terhadap pola pikir ekonomi yang menghalalkan segala cara untuk mengejar margin, bahkan dengan mengorbankan keadilan sosial.

Dalam konteks ini, Presiden menyebut kerugian akibat praktik curang beras mencapai Rp100 triliun setiap tahun, angka yang setara dengan potensi penghapusan kemiskinan jika dikelola dengan benar.

Dalam perspektif kebijakan publik, respons Presiden mencerminkan pergeseran dari kebijakan distributif menuju kebijakan yang bersifat redistributive, sebagaimana dijelaskan oleh Theodore Lowi.

Jika sebelumnya negara hanya berperan sebagai penyalur, mendistribusikan bantuan, mengatur harga, menyediakan cadangan, maka kini negara masuk ke ranah korektif: merebut kembali kontrol dari tangan aktor-aktor ekonomi yang menyimpang, dan mengalihkannya ke entitas yang berpihak pada rakyat, seperti koperasi desa. Ini tercermin jelas saat Prabowo menyatakan kesiapannya untuk menyita penggilingan padi nakal dan menyerahkannya kepada Koperasi Merah Putih.

Langkah ini bukan nasionalisasi sembarangan. Ini adalah upaya restoratif dalam logika redistribusi keadilan. Negara tak bisa hanya menjadi wasit netral dalam pasar yang timpang. Ketika kekuatan pasar terkonsentrasi di tangan segelintir pemain yang mempermainkan harga, menciptakan kartel, dan memanipulasi pasokan, maka intervensi negara menjadi sah dan perlu. Sebab tanpa itu, subsidi akan terus bocor, petani tak mendapatkan nilai tukar yang adil, dan konsumen tetap terjebak dalam harga tinggi yang tak masuk akal.

Dari kacamata hukum dan kebijakan publik, ketegasan Prabowo bisa dibaca sebagai penguatan fungsi negara sebagai pelindung kepentingan publik. Namun pidato saja tidak cukup.

Diperlukan langkah konkret dan sistemik: audit menyeluruh terhadap rantai pasok beras, penindakan terbuka terhadap pelaku usaha curang, dan pembenahan sistem distribusi agar koperasi dan badan usaha milik rakyat benar-benar punya peran sentral. Dalam situasi seperti ini, kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak dibangun dari retorika, melainkan dari tindakan yang berani menegakkan aturan secara setara.

Beras adalah kebutuhan dasar. Ia menyentuh sendi-sendi ketahanan nasional. Maka ketika Presiden menyebut manipulasi beras sebagai bentuk “subversi ekonomi”, publik memahami bahwa yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar harga, tetapi integritas negara. Dan dalam hal ini, Prabowo tidak hanya memimpin dengan kebijakan, tapi dengan keberanian.

Untuk itu, saya menyarankan agar pemerintah segera membentuk satuan tugas lintas lembaga untuk mengawasi distribusi beras bersubsidi secara real-time, mempercepat integrasi data stok dan pergerakan logistik berbasis teknologi, serta memberikan peran lebih besar kepada koperasi sebagai mitra utama distribusi yang akuntabel.

Penegakan hukum harus dilakukan terbuka dan tanpa kompromi. Dan yang tak kalah penting, pendidikan publik tentang hak atas pangan layak harus diperkuat, agar rakyat tidak lagi diam ketika hak dasarnya dicurangi.

Pemerintah perlu mengedukasi ke masyarakat untuk tidak membeli dan mengkonsumsi beras oplosan agar dampaknya tidak meluas ke aspek kesehatan dan ekonomi. Strategi edukasi yang tepat dan berkelanjutan akan bahayanya mengkonsumsi beras oplosan dan mendorong masyarakat untuk kritis dan teliti saat membeli beras di pasar atau di agen-agen penjualan.

Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *