Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan menyelenggarakan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada 3-9 November 2025 untuk jenjang SMA/SMK. Saat ini tercatat 3,5 juta siswa telah mendaftar setelah pendaftaran ditutup pada Minggu, 5 Oktober 2025. Salah satu fungsi utama TKA, menurut Toni Toharudin, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), adalah sebagai alat validasi nilai rapor dalam penerimaan mahasiswa baru jalur prestasi.
Selain itu, hasil TKA juga digunakan untuk pendaftaran ke jenjang lebih tinggi di sekolah negeri melalui jalur prestasi. Secara konsep, TKA diharapkan menambah instrumen penilaian yang lebih objektif. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran publik bahwa nilai rapor kerap “di-markup” oleh sekolah demi meloloskan siswanya ke perguruan tinggi negeri atau sekolah favorit.
Namun, upaya menciptakan objektivitas melalui tes terstandar menyimpan sejumlah problem dan berpotensi melahirkan bentuk ketimpangan baru. Pertama, potensi munculnya cognitive fatigue atau kelelahan kognitif akibat terlalu banyak tes yang dihadapi siswa. Saat ini dengan Kurikulum Merdeka siswa telah dibebani berbagai asesmen: Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), ujian tengah/akhir semester, serta asesmen berbasis proyek.
Penambahan TKA dapat menambah tekanan psikologis dan beban belajar. Baru-baru ini ada tuntutan dari seorang siswa dalam bentuk petisi pada laman change.org yang meminta pemerintah untuk membatalkan TKA “karena sistem ini menambah tekanan bagi siswa dan siswi”, tutur siswa yang menginisiasi petisi tersebut. Selain itu waktu yang diberikan untuk persiapan TKA juga sangat singkat, 112 hari atau 3,5 bulan dan ada kendala server saat simulasi TKA diadakan (Tempo, 27/10/2025).
Kedua, keberadaan TKA bisa menggeser fokus pembelajaran. Guru dan siswa akan lebih berorientasi pada strategi memperoleh nilai tinggi ketimbang mengembangkan pembelajaran mendalam berbasis proyek, inkuiri, atau pemecahan masalah. Hal ini beralasan karena secara naluriah, mereka akan menaruh perhatian pada apa yang dinilai (Dylan William, 2011). Dan hal ini pun terbukti dari keterangan siswa yang menuntut petisi yang merasakan bahwa kisi-kisi TKA yang dibagikan terlalu luas yang artinya siswa cenderung belajar pada kisi-kisi ujian saja.
Padahal, filosofi Kurikulum Merdeka dan pembelajaran mendalam menekankan pengembangan kompetensi holistik, bukan sekadar skor tes. Dampaknya bisa diidentifikasi sebagaimana studi terdahulu menunjukkan bahwa tes terstandar mengurangi skup dan kualitas muatan pembelajaran, menurunkan peran guru dalam hal kreativitas menyusun pembelajaran yang menarik, dan menjauhkan siswa dari pembelajaran aktif (McNeil, 2009, Standardization, Defensive Teaching, and the Problems of Control).
Ketiga, meski TKA disebut tidak wajib, faktanya hasilnya menjadi syarat penerimaan mahasiswa baru jalur prestasi. Artinya, TKA berubah menjadi ujian dengan konsekuensi besar atau high-stakes test. Hal itulah yang kemudian membuat siswa dan guru akan merasa tertinggal bila tidak ikut, sehingga ujian ini menjadi “wajib” meski tidak secara langsung dinyatakan.
Membludaknya jumlah peserta TKA bisa jadi bukan karena sukarela tetapi ada rasa tidak nyaman ketika tidak mengikuti meskipun tidak benar-benar siap. Apalagi ramai di pemberitaan bahwa TKA akan dijadikan syarat masuk perguruan tinggi dengan jalur prestasi.
Akibatnya, situasi itu bisa menyerupai era Ujian Nasional. Sekolah, guru, siswa dan orang tua terobsesi dengan skor. Industri bimbingan belajar (bimbel) pun kembali bergairah dengan biaya yang tidak murah. Bagi siswa dari keluarga mampu mereka lebih mudah mengakses bimbel dan materi latihan yang berkualitas, sementara siswa yang kurang mampu hanya mengandalkan soal dari laman resmi Kemendikdasmen.
Itupun kalau siswa memiliki akses internet yang bagus dan tidak terkendala servernya. Kondisi semacam itulah yang lagi-lagi memperlebar jurang ketimpangan pada akses pendidikan yang berkualitas.
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa TKA merupakan upaya untuk menjamin pendidikan bermutu bagi semua, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, pada kenyataannya pemerintah justru sedang menerapkan rezim neoliberalisme.
Seperti yang dicatat Clarke dan Morgan (2011), rezim semacam ini “melanggengkan ketidakadilan melalui penyangkalan terhadap perbedaan dan penekanan pada kesetaraan formal (yaitu perlakuan yang sama), alih-alih keadilan (yaitu perlakuan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing).
Persoalan lain adalah desain TKA yang menggunakan standar nasional berisiko mengabaikan keragaman konteks daerah. Mata uji yang terbatas pada Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan satu mata pelajaran pilihan tidak cukup mewakili kompleksitas kecerdasan siswa. Juga tes nasional berbasis norma pusat (norm-referenced) seringkali tidak mempertimbangkan perbedaan sumber daya guru, fasilitas sekolah, dan karakteristik sosial budaya dari Sabang sampai Merauke.
Penelitian terbaru oleh Reza Aditia dan Krisztián Széll tahun 2025 dengan judul “Belonging matters: How context and inequalities shape student achievement in Indonesia” menunjukkan bahwa di Indonesia prestasi belajar siswa tidak hanya soal kemampuan individu, tetapi juga asal-usul sosial dan tempat tinggal.
Ada pula persoalan logis: bagaimana jika nilai TKA tidak sejalan dengan nilai rapor? Apakah rapor yang disusun melalui proses panjang guru dianggap tidak sahih hanya karena hasil satu kali tes berbeda? Rapor mencakup seluruh mata pelajaran dan aspek sikap, sedangkan TKA hanya menguji beberapa bidang akademik. Menggunakan TKA semata untuk “memvalidasi” rapor tentu tidak proporsional.
Lagipula, jika persoalan utama adalah ketidaksamaan standar penilaian antar sekolah, solusi mestinya bukan dengan tes baru yang bersifat penyortiran, tetapi dengan memperkuat kompetensi guru dalam melakukan asesmen yang adil dan autentik.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Jika tidak, TKA justru menjadi alat eksklusi yang mempersempit akses siswa ke pendidikan berkualitas dan memperkuat budaya perlombaan nilai (rat race) antar sekolah dan daerah dan lagi-lagi guru akan menjadi pihak yang bertanggung jawab atas rendahnya nilai TKA. Kendati dirjen GTK, Nunuk Suryani dalam keterangan media menepis hal itu, siapa yang bisa menjamin pelaksanaannya di lapangan tidak akan menyalahkan guru.
Linda Darling-Hammond (1994) dalam artikelnya di Harvard Educational Review berjudul Performance-Based Assessment and Education Equity menekankan pentingnya prinsip demokratis dalam asesmen. Pertama, tes seharusnya tidak sekadar menjadi mekanisme seleksi, tetapi sarana diagnosis untuk memperbaiki praktik pembelajaran.
Kedua, penilaian seharusnya mendorong perbaikan instrumen dan strategi mengajar, bukan alat pengawasan eksternal yang menghukum sekolah atau siswa. Ketiga, hasil asesmen seharusnya menjadi dasar pemerataan sumber daya dan kebijakan afirmatif, bukan sekadar menentukan siapa yang layak atau tidak.
Alih-alih menjadikan TKA hanya sebatas alat validator dan perbandingan serta dengan cara pelaksanaan secara nasional dan serentak, ada beberapa opsi kebijakan sebagai jalan tengah.
Pertama, perlu ada penekanan bahwa TKA dan jenis asesmen yang lain memang benar untuk saling melengkapi bukan untuk saling menegasikan apalagi menghadap-hadapkan bahwa penilaian yang dilakukan sekolah dan tertera dalam rapor banyak nilai sedekahnya.
Jika masih belum baik penilaian yang dilakukan oleh guru di sekolah, tindak lanjutnya adalah memperkuat literasi penilaian bagi para guru melalui berbagai pelatihan pengembangan profesionalisme guru yang berkelanjutan.
Tentu penilaian hasil belajar tidak sebatas penilaian aspek pengetahuan melalui tes. Tetapi juga perlu melalui portofolio, refleksi diri, proyek, dan juga observasi. Guru-guru perlu banyak dilatih untuk melakukan penilaian-penilaian jenis itu. Penilai-penilaian proses itu juga bisa menjadi pertimbangan dalam penentuan seleksi masuk perguruan tinggi negeri atau untuk melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi lainnya.
Kedua, TKA harus benar-benar bersifat sukarela dan fleksibel. Siswa dapat memilih waktu ujian sesuai kebutuhan, tanpa target jumlah peserta. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi dengan perguruan tinggi sebagai penyelenggara TKA. Sehingga, TKA bisa diselenggarakan dengan variasi bidang keilmuan (sains, sosial, humaniora), sehingga relevan dengan jurusan yang dituju dan dapat dilaksanakan kapan saja.
Selain itu, format TKA sebaiknya menilai kemampuan berpikir kritis dan penalaran tingkat tinggi (Higher Order Thinking) dan tidak mengacu pada muatan kurikulum yang ada saat ini. Untuk itu, kisi-kisi soal TKA dapat diselaraskan dengan model asesmen internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) agar lebih relevan dengan tantangan global. Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi alat seleksi, tetapi juga sarana pembelajaran nasional untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia.
Kemendikdasmen juga perlu menyediakan sumber belajar terbuka berupa tutorial dan latihan soal berkualitas agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mempersiapkan diri. Program pembagian smart screen dapat menjadi bagian dari diseminasi materi TKA, sehingga tidak hanya sekolah elit yang mampu memberikan bimbingan intensif.
Pada akhirnya, yang lebih mendesak bukan sekadar menciptakan tes baru, tetapi memastikan sistem asesmen kita adil, inklusif, dan berpihak pada keragaman potensi peserta didik. Tanpa itu, TKA hanya akan mengulang sejarah Ujian Nasional-berniat memperbaiki kualitas pendidikan, tetapi justru mempertegas ketimpangan yang telah lama ada.
Waliyadin. Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa PhD di University of Canberra, Australia.
Tonton juga video “Menaker Yassierli Copot Pejabat yang Terlibat Kasus Suap Pengurusan TKA” di sini:







