Positioning Politik Prabowo

Posted on

Posisi adalah salah satu hal yang paling krusial dalam strategi perang. Menurut buku Art of War karya filsuf Tiongkok klasik Sun Tzu, mengetahui posisi diri sendiri dan lawan adalah kunci memenangkan perang. “If you know your enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles.”

Masih menurut Sun Tzu, musuh akan sulit menyerang pasukan yang unggul dalam posisi strategis. “You can ensure your safety of your defense if you only hold positions that cannot be attack.”

Tak heran dalam perang besar, penempatan posisi yang baik (positioning) bisa mengubah peta jalannya sejarah. Ini seperti pasukan Vietcong yang kalah segalanya dari pasukan Amerika tapi bisa menang dalam perang 1960-1970-an. Penempatan posisi yang baik dalam strategi lubang tikus membuat babak belur pasukan Amerika.

Sebaliknya pasukan Islam kalah dalam Perang Uhud karena kesalahan penempatan posisi. Ini akibat pasukan tak mengindahkan perintah Rasulullah dengan meninggalkan posisi strategis bukit Uhud.

Strategi perang ini berlaku pula di kehidupan sehari-hari. Di dunia bisnis, penempatan posisi (positioning) produk menjadi amat penting. Menukil apa yang disampaikan Al Ries dan Jack Trout (1980) dalam buku bertajuk Positioning: A Battle for Your Mind bahwa di tengah arus informasi yang melimpah, keunikan dan kesesuaian dengan kebutuhan konsumen adalah positioning yang paling penting. Keduanya ditopang dengan fokus pada satu ide yang kuat terkait produk. Banyak ide malah akan merusak penempatan posisi sebuah produk. Jika sebuah produk tidak memiliki ciri pembeda, tidak fokus, plus tidak sesuai dengan kebutuhan pembeli, maka alamat produk itu babak belur di pasar.

Teori marketing soal positioning itu berlaku pula di dunia politik. Calon yang tak punya keunikan dan isunya tak kompatibel dengan kebutuhan mayoritas rakyat, maka alamat ditinggal pemilih. Tak peduli apakah calon itu S3 atau pakar omon-omon.

Perubahan penempatan posisi Prabowo dari oposisi (2014 dan 2019) menjadi koalisi pemerintah (2024) adalah kunci positioning yang membuatnya menjadi Presiden kini. Berkat penempatan posisi itu Prabowo tak hanya berhasil mempertahankan sebagian suara loyalnya dari kelompok oposisi tapi juga merebut mayoritas suara pemilih Jokowi (koalisi).

Posisi Prabowo ini jelas lebih unik dibanding dua rivalnya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang positioningnya relatif sama sebagai oposisi. Ini ditambah ide Prabowo yang lebih fokus dan kompatibel dengan kebutuhan mayoritas pemilih; makan gratis.

Saat memerintah, Prabowo terus menjaga positioning politik pemerintahannya. Positioning saat Prabowo berkuasa berbeda dengan positioning Jokowi. Positioning politik Jokowi saat itu mengandalkan basis pendukung yang berhadapan secara tajam dengan oposisi. Sehingga untuk mempertahankan positioningnya, Jokowi butuh dukungan ‘petarung-petarung’ yang siap berhadapan dengan oposisi. Tak heran gaya komunikasi politik pemerintahan era Jokowi pun lebih frontal dan reaktif dengan munculnya sosok seperti Ali Mochtar Ngabalin.

Positioning era Jokowi berbanding terbalik dengan era Prabowo. Sebab positioning Prabowo berdiri di atas dukungan kelompok kontra dan pro Jokowi. Dalam positioning seperti itu Prabowo butuh orkestrasi proaktif yang menyatukan. Karenanya tak heran Prabowo kerap mengutip adagium, “seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.”

Prabowo tak butuh sosok yang gemar bertarung di publik, melainkan dia butuh figur pemersatu. Walhasil gaya komunikasi yang kompatibel dengan positiong Prabowo adalah gaya proaktif dan meminimalisir kontroversi. Sosok yang gemar ‘berkelahi’ dan menciptakan kontroversi di publik tak sesuai dengan positioning politik Prabowo.

Dengan positioning seperti itu Prabowo dapat menjaga angka kepuasan masyarakat yang menurut survei mencapai kisaran 80 persen. Positioning Prabowo yang merangkum kekuatan eks oposisi dan koalisi itu yang akan tetap dijaga. Sehingga jika ada pengamat yang mengatakan Prabowo akan meninggalkan Jokowi maka hal itu sulit rasanya menjadi realita. Sebaliknya kekuatan yang selama ini kritis di era Jokowi juga tetap dijaga. Seimbang.

Positioning yang unik ini penting dijaga oleh Prabowo. Mengutip teori five forces Porter (1980), saat positioning tak terjaga maka peluang munculnya threat of new entrants and substitute product.

Oleh karena itu penting bagi Prabowo untuk menjaga positioningnya. Menteri yang diandalkan Prabowo adalah menteri yang memiliki positioning yang selaras. Menteri yang bisa menjaga kondusvitas dan meminimalisir kontroversi.

Layaknya strategi perang, Prabowo ibarat jenderal yang kini memimpin pasukannya menduduki posisi di atas bukit. Kekuatannya maksimal karena didukung gravitasi kekuasaan. Jarak pandangnya pun luas untuk mengamati segala potensi ancaman. Baik itu potensi ancaman dari dalam ataupun luar.

Abdullah Sammy. Pengamat Strategic Management dan peneliti Sejarah dari Universitas Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *