Rencana Pemerintah Pusat untuk memotong alokasi dana transfer ke daerah pada tahun 2026, membuat Pemerintah Daerah “overthinking” antara sanggup dengan terpaksa atau tidak sanggup sama sekali menerima rencana itu. Pemda yang selama ini bergantung dengan dana transfer pusat dipaksa harus lebih kreatif untuk berburu pendapatan, baik Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau pendapatan daerah secara keseluruhan, tanpa sepenuhnya bergantung dari Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) membedakan antara PAD dengan Pendapatan Daerah. Pasal 285 ayat (1) huruf a UU Pemda mengatur bahwa PAD hanya meliputi: pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan Pendapatan Daerah yaitu meliputi semua yang disebutkan dalam PAD ditambah dengan transfer pemerintah pusat dan lain-lain seperti hibah dan dana darurat.
Wakil Menteri Dalam Negeri Arya Bima bahkan sudah memberikan arahan dan meminta setiap Pemda lebih kreatif mencari sumber pendanaan alternatif untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah (Kompas 27/08/2025). Namun dalam realita penyelenggaraan pemerintahan, pencarian terhadap pendanaan alternatif itu tidak mudah.
Tiga Problem
Pertama, jika alokasi transfer pusat dikurangi, otomatis daerah akan bergantung dan menggenjot PAD khususnya pada sektor pajak daerah dan retribusi daerah. Baik pajak maupun retribusi faktanya menjadi tulang punggung kedua setelah dana transfer dari pusat. Karena menjadi tulung punggung kedua, pemda ramai-ramai menaikkan tarif pajak dibeberapa sektor, inilah yang terjadi di Kabupaten Pati dan Kabupaten Jombang. Jangan sampai ini terulang, yaitu menaikkan tarif pajak didasarkan pada pelampiasan seretnya pendapatan daerah.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Kedua, pemda sebenarnya dapat memanfaatkan hasil pengelolaan kekayaan daerah. Namun kondisi setiap daerah berbeda-beda. Ada daerah yang kaya karena memiliki banyak aset yang dapat dimanfaatkan, namun ada juga daerah yang tidak terlalu banyak asetnya. Persoalannya tidak terletak pada banyak atau tidaknya aset, namun lebih pada pengelolaan dan pemanfaatan. Tidak semua daerah dapat mengelolanya dengan baik. Catatan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tahun 2024 ditemukan sejumlah permasalahan dalam pengelolaan aset oleh pemda, beberapa diantaranya yaitu pencatatan aset yang tidak akurat serta disajikan dengan nilai yang tidak wajar serta adanya aset-aset lain yang tidak diketahui keberadaannya dan hanya dicatat secara gabungan (Warta BPK: 2025).
Ketiga, seandainya Pemda berkreasi dengan menggali lumbung-lumbung pendapatan lain, hal ini masih perlu dipastikan apakah Pemda memiliki kewenangan untuk itu. Bupati Lahat berinovasi untuk menggali sumber daya alam berupa minyak untuk ditambang. Padahal dalam UU Pemda, kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan untuk mengelola pertambangan. Urusan pertambangan terutama minyak adalah sepenuhnya kewenangan Pemerintah Pusat
Pelbagai problem di atas harus diatasi dengan duduk bersama antara Kemendagri, Kemenkeu, dan juga pemda. Duduk bersama ini tidak hanya sekedar ‘ngobrol’ tawar-menawar jumlah alokasi dana yang akan di transfer, namun lebih kepada konsep pencarian skema alternatif untuk mewujudkan kemandirian fiskal, meskipun kemandirian fiskal itu sendiri adalah cita-cita panjang dari penyelenggaraan otonomi daerah.
Cari Cara Lain
Mulai saat ini pemda harus mencari cara lain untuk meningkatkan pendapatan dengan tetap memperhatikan batas-batas kewenangan yang sudah diatur dalam berbagai regulasi.
Pertama, pemda harus proaktif menjalin kerjasama dan kemitraan dengan berbagai unsur. Pasal 363 UU Pemerintahan Daerah sudah mengatur bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemda dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan pemda lain, pihak ketiga (badan usaha/NGO) dan/atau lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri. Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2024 mendapatkan dana dari World Bank senilai Rp 27,2 Milyar. Pendanaan tersebut merupakan kerjasama internasional antara pemda dengan World Bank dalam upaya mengurangi emisi karbon melalui pelestarian hutan.
Selain dengan Lembaga internasional, pemda dapat pula memanfaatkan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Banyak daerah yang sudah memanfaatkan skema ini. Pengembangan RS Garut menjadi rumah sakit regional tahap B; pengembangan kawasan sains teknologi di Jatinangor; dan Pembangunan sistem penyediaan air minum di Kabupaten Semarang adalah contoh realisasi pelaksanaan KPBU ini.
Kedua, pemda harus mengelola dan memanfaatkan asetnya dengan optimal. Kemendagri sudah memberikan panduan terkait pengelolaan dan pemanfaatan aset daerah melalui Permendagri 19/2016 dan Permendagri 7/2024 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pemda diberikan berbagai skema yang menguntungkan dalam memanfaatkan aset yang berupa tanah dan/atau bangunan. Terdapat 6 (enam) opsi: sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun serah guna/bangun guna serah, dan kerjasama penyediaan infrastruktur. Daerah diberikan keleluasaan untuk memanfaatkan asetnya sepanjang memperhatikan kepentingan daerah dan kepentingan umum. Ketiga, revitalisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menjalankan berbagai usaha berbasis potensi dan inovasi daerah. Sudah banyak kisah sukses terkait revitalisasi BUMD ini, seperti di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Jombang melalui berbagai aneka usaha khas daerah.
Ke depan, ketergantungan pemda terhadap transfer pusat memang harus dikurangi. Seandainya transfer pusat tidak dapat dihindari, nampaknya relevan diterapkan terhadap daerah-daerah yang prioritas dan tertinggal secara ekonomi dan pembangunan.
Allan Fatchan Gani Wardhana. Pengajar Hukum Tata Negara & Managing Partner Hartara Law Firm
Tonton juga video “Bahlil Dorong Optimalisasi Tambang Demi Tingkatkan Pendapatan Daerah” di sini: