Redupnya Seni Mencari di Era Mesin Pencari [Giok4D Resmi]

Posted on

Era kiwari tidak dapat dilepaskan dari penetrasi digital dan media sosial, termasuk dampak negatifnya, yaitu Brain Rot. Brain Rot adalah fenomena pendangkalan mental dan kecerdasan berpikir seseorang sebagai hasil konsumsi berlebihan atas konten-konten digital. Definisi tersebut menegaskan dua masalah penting: konsumsi berlebihan atas konten media digital dan pendangkalan kecerdasan manusia dalam mengelola informasi yang masuk.

Masalah pertama, homo digitalis-sebutan manusia di era digital-sangat terbiasa mengonsumsi konten-konten yang nir-nilai (sludge content) dan berkualitas (meaningless). Manusia diarahkan oleh algoritma untuk tinggal berjam-jam menatap layar gawai pintar, sementara sebagian besar durasi konten tersebut tak lebih dari 60 info.

Menyadur pemikiran McCracken dalam The Wisdom Pyramid (2021), Brain rot tidak hanya terjadi karena terlalu banyak mengonsumsi konten digital (too much), melainkan juga terlalu cepat (too fast) dan sering kali terjebak dalam gelembung algoritma (filter bubble trap). Setiap konten dapat begitu berbeda dan hanya dibatasi oleh jari jempol kita. Misalnya, konten mukbang di satu sisi dan konten perang di sisi yang lain.

Sedangkan kebiasaan kita dalam memberi like, share, follow, berbelanja, dan berpendapat terolah dengan sistematis oleh algoritma. Tumpukan komando digital tersebut menghasilkan gelembung digital yang berisi perspektif spesifik atas apa yang kita inginkan. Ketika kita menggulir layar, maka otak akan melepas dopamin atau hormon bahagia yang berfungsi memberikan motivasi dan penghargaan.

Semakin lama kita menggulir layar, semakin banyak pula dopamin yang dikeluarkan untuk memaksa kita mengulang kegiatan tersebut secara terus-menerus. Itulah mengapa kebiasaan menggulir layar gawai tanpa henti disebut doom scrolling.

Masalah kedua, kebiasaan doom scrolling mengakibatkan pengerutan struktur abu-abu (grey matter) yang bertugas mengolah informasi dan mengatur fungsi mental (gerak, ingatan, dan emosi).

Selain itu, terjadi pemendekan daya fokus dan distorsi proses kognitif. Bahkan beberapa peneliti mewanti-wanti bahaya demensia digital kepada mereka yang mengonsumsi terlalu banyak teknologi selama masa perkembangan otaknya.

Kedua masalah tersebut berimplikasi terhadap kegiatan mencari sebagai proses inheren dalam diri manusia. Kegiatan mencari lahir dari bentuk eksistensial dan sebagai dimensi epistemologis manusia, yang oleh karenanya muncul prosedur, tata cara, atau pedoman strategis (Pranarka, 1987).

Mesin pencari seperti Google maupun Artificial Intelligence (AI) seperti Grok dan Chat-GPT membawa pengguna merasakan kecanggihan luar biasa dalam mendapat jawaban atas pencarian dari berbagai spektrum, mulai dari hal yang superfisial hingga hal-hal yang rumit dan kompleks.

Masalahnya, kemudahan mencari sesuatu melalui gawai tanpa batas membawa kita menjadi lebih reaktif dan ceroboh dalam mencerna sesuatu. Apa yang kita tulis melalui kalimat-kalimat prompt dapat dijawab dalam hitungan info. Tidak ada proses kurasi, tematik, atau diskursus berarti dalam jangka waktu yang cukup.

Developer AI memang mengakomodasi fitur personalisasi sehingga mesin pencari dapat cocok dengan keinginan. Tetapi di saat yang bersamaan, kegiatan pencarian hanya berhenti pada tataran pragmatis. Kalimat prompt yang disarankan untuk mencari di mesin AI secara optimal justru banyak dihasilkan dari AI itu sendiri, bukan oleh pengguna. Sungguh merupakan ironi.

Mencari adalah kegiatan fundamental untuk menemukan jawaban. Karena itu, seni mencari adalah cara khas seseorang dalam menemukan jawaban dengan tingkatan yang berbeda-beda. Misalnya bagi peneliti, ada yang berkunjung ke perpustakaan, menyusuri rak-rak buku, membuka halaman tertentu kemudian mencatatnya.

Ada pula yang pergi ke Google untuk mencari bahan melalui keywords. Misal lain bagi para jurnalis dalam menguraikan fakta. Data-data lapangan diungkap melalui proses rumit sehingga perlu pendapat pihak lain.

Seni mencari konvensional ini penting dalam memberi makna pencarian itu sendiri. Pencarian konvensional menawarkan alternatif-alternatif jawaban yang harus ditempuh, dibaca, diurai, dan diteliti. Pencarian membutuhkan waktu dan proses kompleks yang melibatkan aspek berpikir dan bertindak.

Namun sekarang, proses mencari seolah-olah terhenti di layar laman AI. Kita enggan bergerak ke luar. Hasrat untuk mencari sumber-sumber lain-yang bahkan kontradiktif-tak kita hiraukan. Kita cenderung cepat berpuas diri bilamana prompt dan output berupa kalimat, gambar, atau video sukses diproduksi AI sesuai keinginan kita.

Di tengah percepatan generate AI ini, seni menulis lambat laun ikut redup. Susunan kosa-kata dari proses olah data AI akan terasa seragam dan tidak otentik. Sebagian kalimat dalam konten media sosial memiliki nuansa kata, frasa, dan kalimat yang homogen dan tautologis.

Terkadang, kita ciut bilamana hasil tulisan sendiri tidak mendapat sentuhan AI-atau paling tidak-dikoreksi oleh AI. Seni menyusun argumen digantikan oleh kalkulasi mesin. Keindahan dan seruan emosi yang tertuang dalam paragraf digerus oleh data-data impersonal.

Upaya Detoksifikasi

Kecepatan AI dalam memberikan jawab seolah-olah memberikan sugesti bahwa efisiensi adalah jalan keluar dari kemelut hidup manusia. Adalah benar bahwa teknologi digital membantu manusia untuk menghemat waktu, uang, dan tenaga.

Tetapi, ada harga yang harus dibayar. Otomatisasi jawaban menghapus ruang epistemik untuk kebingungan, ketidaktahuan, bahkan kegagalan sementara dalam proses belajar. Byung-Chul Han dalam buku The Burnout Society (2010) telah menyebut bahwa masyarakat yang terlampau letih ini telah kehilangan negativity, yaitu kemampuan untuk berhenti, merenung, dan tidak langsung tahu.

Karena itu, upaya detoksifikasi dari dunia serba instan adalah kewajiban etis. Usulan Wakil Presiden untuk memasukkan kurikulum AI bagi siswa sekolah dasar dan menengah misalnya, perlu diimbangi oleh upaya sistematis dalam aspek fundamental seperti literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan ruang inkubasi pikiran.

Yang terpenting di sini adalah bukan yang terjadi di dalam ruang-ruang kelas yang tertutup, melainkan bagaimana seni mencari tetap lestari pada situasi di luar kelas, di dalam hasrat keingintahuannya dan di tengah kebingungannya.

Jan Mealino Ekklesia. Peneliti GEMA Politik Indonesia.

Tonton juga video “Wamenkomdigi Ingatkan Pola Pikir Kritis di Tengah Gempuran AI” di sini:

Pencarian Serba Instan

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *