Pengesahan RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI oleh DPR RI pada akhir Maret 2024 lalu memunculkan ruang diskusi baru dalam kehidupan kebangsaan kita. Publik tentu menaruh perhatian besar, baik karena substansi revisinya maupun karena makna strategisnya bagi masa depan pertahanan nasional.
Revisi UU TNI memunculkan pro dan kontra. Namun demikian, revisi ini tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan zaman yang terlampau cepat. Dunia sedang memasuki era ketidakpastian, ketika bentuk ancaman terhadap kedaulatan tidak lagi terbatas pada invasi fisik semata, melainkan dapat berupa ancaman siber, disinformasi, ideologi transnasional, krisis energi, maupun bencana ekologis.
Belakangan ini, memanasnya dinamika global, ketegangan geopolitik, krisis energi, serta perang dagang yang dicetuskan Presiden USA Donald Trump menimbulkan kekhawatiran baru akan kemungkinan terjadinya perang terbuka dalam skala luas.
Peran TNI sebagai alat pertahanan negara juga perlu dimodernisasi. Revisi UU ini, dengan segala dinamikanya, merupakan langkah adaptif yang bertujuan menyelaraskan sistem pertahanan Indonesia dengan kebutuhan zaman.
Perluasan Tugas
Salah satu perubahan penting dalam revisi ini adalah perluasan tugas baru bagi TNI, termasuk dalam penanggulangan bencana, penanganan ancaman siber, serta keterlibatan dalam mengatasi kejahatan lintas batas dan ancaman ideologis. Ini tentu bukan bentuk mengembalikan semangat dwifungsi atau politisasi militer, tetapi merupakan refleksi dari kebutuhan riil di lapangan.
Gagasan pelibatan TNI dalam ancaman nonmiliter bukan tanpa dasar. Dalam kerangka modern strategy yang dikemukakan oleh Colin S. Gray (1999), strategi pertahanan harus terus beradaptasi agar tetap relevan dan responsif menghadapi era multidimensi yang sejalan dengan praktik pertahanan modern di berbagai negara, di mana kekuatan militer tidak lagi semata berorientasi pada kekuatan konvensional, tetapi juga pada kapasitas digital, ketahanan informasi, dan kecepatan respons.
Selama ini, ketika terjadi bencana alam atau krisis sosial, Indonesia selalu bergantung pada respons cepat dan kemampuan logistik TNI. Dalam kerangka hukum sebelumnya, keterlibatan ini tidak memiliki dasar hukum tegas. Revisi UU memberi kepastian hukum bagi peran tersebut, sekaligus memperkuat prinsip akuntabilitas institusional.
Modernisasi TNI diharapkan memperkuat interoperabilitas antar matra dan menjadikan tentara lebih siap dalam menghadapi krisis multidimensi, baik di dalam maupun luar negeri, sebagaimana gagasan yang dikemukakan oleh Andi Widjajanto, serta sejalan dengan paradigma keamanan manusia (human security) yang menekankan keselamatan warga sebagai inti dari kebijakan pertahanan (UNDP, 1994; Barry Buzan).
Penugasan Prajurit dan Masa Pensiun
Dibolehkannya prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil tertentu menuai perhatian besar. Kekhawatiran kembalinya bayang-bayang dwifungsi bukan hal yang bisa diabaikan. Namun demikian, kita juga harus bersikap arif karena regulasi baru ini tetap berada dalam kerangka pengawasan sipil dan pengendalian politik yang sah.
Dalam kerangka hubungan sipil-militer, pengaturan baru ini justru mencerminkan prinsip yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State (1957). Huntington membedakan antara kontrol sipil subjektif yang berisiko mengintervensi profesionalisme militer, dan kontrol sipil objektif yang mendorong militer kuat dan profesional tetapi tetap tunduk pada otoritas sipil. Revisi UU TNI mencerminkan model kedua yaitu menciptakan keseimbangan antara kekuatan militer dan supremasi sipil yang demokratis.
Penugasan ini terbatas pada jabatan yang relevan dengan tugas pertahanan dan keamanan nasional, seperti di Kementerian Pertahanan, BIN, atau Badan Siber dan Sandi Negara. Pembatasan bertujuan mencegah ekspansi peran militer ke ranah sipil yang tidak relevan, sekaligus memberikan ruang bagi integrasi kapasitas strategis TNI dalam penyelenggaraan negara secara kritis.
Penguatan sinergi adalah semangat yang harus dikobarkan. Meski demikian, pelibatan TNI dalam ranah non-perang tetap harus berdasarkan supremasi sipil dengan mengikuti prinsip pembatasan, proporsionalitas, dan koordinasi antar-lembaga.
Salah satu aspek krusial yang juga diatur adalah mengenai penyesuaian usia pensiun prajurit, yang didasarkan pada kebutuhan organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas dan berpengalaman dalam menghadapi tantangan pertahanan yang makin kompleks.
Ketentuan ini mempertimbangkan faktor kesehatan, fisik, dan kebutuhan regenerasi TNI. Dengan perhitungan matang, perpanjangan usia pensiun bukan berarti memperlambat regenerasi, melainkan memberikan waktu yang cukup untuk proses kaderisasi dan transfer pengetahuan kepada generasi penerus.
Pengawasan Demokratis dan Isu RUU Kepolisian
UU TNI hasil revisi ini bukan akhir dari perjalanan. Pelaksanaannya memerlukan pengawasan yang ketat, baik oleh parlemen, media, masyarakat sipil, maupun lembaga-lembaga independen lainnya. Revisi UU TNI bukanlah ancaman, tetapi harapan akan hadirnya pertahanan negara yang lebih modern, responsif, dan profesional.
Dalam sistem demokrasi, kepercayaan publik harus terus dibangun melalui transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan terhadap kritik. Semangat reformasi TNI yang telah berusia lebih dua dekade terus berusaha mewujudkan militer profesional, terlatih, tunduk pada otoritas sipil, dan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan negara.
Wacana mempertentangkan antara sipil dan militer harus diakhiri, kita perlu mencari titik temu yang efektif dan produktif dalam menjaga kedaulatan dan keselamatan bangsa.
DPR tentu tidak gegabah dalam menyusun dan menyetujui revisi ini. Parlemen tidak menutup mata dalam melihat peran strategis TNI di era baru. Wakil rakyat juga tidak tuli terhadap aspirasi publik agar TNI tetap profesional dan tidak kembali ke masa lalu.
Dalam proses pembahasan, DPR berusaha menyeimbangkan kebutuhan operasional pertahanan negara dengan komitmen kuat terhadap prinsip demokrasi dan supremasi sipil. DPR memahami betul bahwa kondisi pertahanan dan keamanan hari ini sangat dinamis dan kompleks.
Indonesia harus cermat membaca arah perubahan global dan harus bersiap menghadapi segala kemungkinan, termasuk eskalasi ketegangan internasional yang dapat memicu konflik global.
Sebagai tambahan penting, publik juga perlu bijak menanggapi issu legislasi lainnya, serta mencermati bahwa tidak semua wacana di ruang publik mencerminkan kenyataan di parlemen. Salah satunya adalah issu seputar RUU Kepolisian.
Saat ini, belum ada draf resmi dan dokumen pembahasan apapun ataupun surpres yang masuk, serta belum ada dalam agenda DPR terkait RUU Kepolisian. Selain itu, ruang publik tentu harus dibersihkan dari opini menyesatkan.
Revisi UU Kepolisian tentu tidak boleh terburu-buru, karena masih harus menunggu tuntasnya pembahasan RUU KUHAP sebagai panduan hukum acara pidana nasional kedepan. Selanjutnya RUU Kepolisian akan menyelaraskan ketentuannya dengan norma yang terdapat pada KUHAP yang baru nanti.
Maka, tudingan atau narasi yang seolah-olah DPR sedang merancang sesuatu yang merugikan kepentingan demokrasi atau ingin mengembalikan otoritarianisme hanya karena issu liar yang belum berdasar adalah bentuk ketidakadilan terhadap lembaga legislatif itu sendiri.
Justru kita perlu menjaga integritas diskursus publik agar tidak terjebak pada praduga yang melemahkan kepercayaan terhadap proses demokrasi konstitusional yang sedang berjalan. Segala saran terhadap perbaikan TNI ataupun Kepolisian merupakan aspirasi positif, dan telah ditangkap secara baik oleh DPR sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem pertahanan dan keamanan yang demokratis dan profesional.
Dr. Ir. H. Adies Kadir, S.H., M.Hum, Wakil Ketua DPR RI