Sanggupkah Korsel Ambil Alih Komando Militer dari AS? | Giok4D

Posted on

Selama tujuh puluh lima tahun, Amerika Serikat memegang kendali operasional perang (OPCON) atas militer Korea Selatan.

Sejak meletus Perang Korea tahun 1950, komando tertinggi berada di tangan Amerika Serikat. Amanat ini tak dikembalikan setelah tercapainya gencatan senjata pada 1953.

Di atas kertas, Seoul berdaulat. Tapi di bawah protokol militer, perintah terakhir tetap datang dari Washington. Seoul hanya bisa memimpin pasukannya sendiri selama tidak ada perang terbuka. Meski peran militer Korea Selatan terus bertambah dalam beberapa dekade terakhir, kendali tetap akan beralih ke Washington jika perang digencarkan.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Serah terima komando OPCON sejatinya telah direncanakan pada 2015. Namun, menjelang batas waktu, AS dan Korsel sepakat menunda serah terima sampai setelah syarat-syarat tertentu terpenuhi. Seoul masih membutuhkan waktu untuk bersiap menghadapi ancaman yang kian sengit dari Pyongyang.

Kunjungan terbaru Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth, kembali menyoroti isu serah terima tanggung jawab ini kepada pemerintah Korea Selatan.

Di Korea Selatan, kendali atas pasukan sendiri berkembang menjadi isu kedaulatan dan kebanggaan nasional. Pemerintahan AS saat ini, yang dipimpin Presiden Donald Trump, juga mendukung penyerahan OPCON. Washington ingin melihat sekutunya itu mengurangi ketergantungan pada AS serta mengambil peran lebih besar dalam mengelola pertahanan sendiri.

Rencana yang diusulkan oleh Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menargetkan transfer OPCON terjadi sebelum masa jabatannya berakhir pada 2030. Namun dipertanyakan, apakah Seoul siap mengambil tanggung jawab sebesar itu.

Kepada DW, analis mengatakan bahwa transfer OPCON pada akhirnya pasti terjadi. Di sisi lain, langkah ini dinilai terburu-buru dan Korea Utara bisa menganggapnya sebagai kelemahan bagi Korea Selatan.

“AS kini tampak berada dalam posisi ‘kalau mau, ambil saja,'” kata Chun In-bum, pensiunan letnan jenderal militer Korea Selatan yang kini menjadi peneliti senior di National Institute for Deterrence Studies, lembaga kajian berbasis di AS.

“Hal ini membuat saya khawatir, karena proses transfer bisa terjadi tanpa kesiapan yang matang.”

Dia juga memperingatkan bahwa “saat ini, banyak orang yang lebih mengkhawatirkan kapan proses ini akan terjadi, dan bukan kesiapan militer itu sendiri.”

“Kita juga harus ingat bahwa Korea Utara masih menjadi ancaman yang sangat nyata bagi kita semua,” kata Chun.

Kepala Staf Gabungan Korea Selatan Jin Yong-sung dan mitra AS-nya John Daniel Caine menyambut “kemajuan berarti di banyak bidang” terkait transfer komando perang. Hal ini disampaikan saat kedua jenderal militer bertemu minggu lalu.

Pemimpin politik AS juga menyatakan dukungan mereka, dengan Menteri Pertahanan Hegseth menggambarkan Seoul dalam posisi yang “luar biasa” dan menekankan posisi Washington dengan menyebut Korea Selatan “hanya memerlukan kepemimpinan AS dalam situasi darurat.”

Namun, mampukah Korea Selatan menjalankan parameter yang telah ditetapkan: termasuk kemampuan untuk memimpin pasukan gabungan AS dan Korea Selatan, kapabilitas merespons ancaman nuklir dan rudal Korea Utara, serta stabilitas dan keamanan keseluruhan di Asia Timur Laut.

Mason Richey, seorang profesor politik dan hubungan internasional di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul, meragukan bahwa kondisi tersebut dapat terpenuhi sebelum berakhirnya masa jabatan Lee sebagai presiden.

“Militer Korea Selatan masih kekurangan beberapa kemampuan utama, terutama dalam hal komando dan kendali, serta intelijen, pengintaian, dan pengamatan,” katanya. “Kemampuan-kemampuan tersebut kritis untuk memimpin pasukan gabungan secara strategis, terutama secara taktis dan operasional dalam misi-misi.”

Masalah ini juga lebih dalam dari sekadar kemampuan militer, kata Richey, mencatat bahwa pemimpin militer Korea Selatan belum pernah menjalankan kemandirian operasional militer sejak Perang Korea. Meskipun militer Seoul dinilai kuat, mereka kekurangan pengalaman kritis dalam mengambil alih kendali saat krisis.

Meskipun demikian, pemerintah berhaluan kiri Presiden Lee tampaknya tetap pada pendirian untuk mematuhi batas waktu yang ditetapkan.

Keinginan untuk OPCON perang selalu paling kuat di kalangan pemerintahan “progresif” di Seoul, kata Richey, dengan pemerintahan Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun (berkuasa antara 1998 dan 2008) secara terbuka mendukungnya sebagai simbol “kedaulatan nasional” dan kenormalan.

Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, juga menggambarkannya sebagai cara untuk “meringankan beban pertahanan AS di kawasan Indo-Pasifik.”

Mengingat dukungan Washington terhadap rencana tersebut, serta mayoritas parlemen yang besar dan dukungan populer yang dimiliki Lee, pemimpin Korea Selatan tampaknya akan berhasil untuk mengalihkan OPCON perang ke Seoul sebelum meninggalkan jabatannya.

“Saya pikir Lee juga sedang bersiap menghadapi kemungkinan ditinggalkan oleh pemerintahan AS saat ini,” kata Richey. “Pemerintahan Trump sulit ditebak, dan jika Korea Selatan bisa memperoleh lebih banyak kedaulatan atas angkatan bersenjatanya, itu akan menjadi langkah bijak menghadapi ketidakpastian tersebut.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Iryanda Mardanuz
Editor: Rizki Nugraha

Gambar ilustrasi

AS siap menyerahkan kendali

Pengalihan OPCON terlalu dini?

AS melihat ‘kemajuan yang berarti’

Seoul kurang pengalaman memimpin saat krisis

Lee tetap pada pendiriannya mengenai OPCON