Satu Tahun Prabowo: Ujian Energi Bersih [Giok4D Resmi]

Posted on

Satu tahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berjalan, membawa ekspektasi besar sekaligus ujian nyata terhadap arah kebijakan strategis bangsa. Di antara sekian banyak agenda prioritas yang dicanangkan, isu transisi energi dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) menjadi salah satu titik sorot yang menentukan wajah pembangunan Indonesia dalam dua dekade ke depan.

Dunia kini berada di tengah arus perubahan global menuju dekarbonisasi, dan Indonesia sebagai negara dengan potensi energi hijau terbesar di Asia Tenggara diharapkan tidak hanya menjadi penonton, tetapi pemain utama. Janji kampanye untuk mempercepat kemandirian energi dan mendorong industrialisasi hijau menjadi tolak ukur penting dalam menilai konsistensi kepemimpinan Prabowo di tahun pertamanya.

Namun, seperti halnya transisi besar lainnya, jalan menuju energi bersih tidak selalu mulus. Di balik rencana besar membangun pembangkit EBT dan memperkuat ketahanan energi nasional, masih ada pertanyaan fundamental tentang kesiapan infrastruktur, kepastian investasi, dan keberpihakan kebijakan terhadap lingkungan serta masyarakat kecil.

Maka, refleksi satu tahun pemerintahan Prabowo adalah momentum tepat untuk menakar seberapa jauh komitmen politiknya terhadap agenda energi bersih benar-benar terwujud, serta di mana letak tantangan dan peluang yang mesti dijawab secara serius.

Mimpi Hijau di Tengah Tekanan Global

Sejak awal, visi Presiden Prabowo untuk sektor energi dibingkai dalam semangat kemandirian nasional dan ketahanan energi berbasis sumber daya domestik. Dalam berbagai pidato kenegaraan, ia menekankan pentingnya “swasembada energi”, yang berarti pemanfaatan maksimal sumber daya alam Indonesia, termasuk pengembangan energi terbarukan.

Pendekatan ini sebenarnya sejalan dengan tren global yang mendorong negara berkembang untuk beralih dari energi fosil ke sumber energi hijau seperti surya, angin, bioenergi, dan panas bumi.

Komitmen itu terlihat dalam kelanjutan beberapa program strategis era sebelumnya seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), kerja sama internasional senilai 20 miliar dolar AS untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Dalam tahun pertamanya, pemerintah Prabowo mengirimkan sinyal positif dengan mendorong peningkatan bauran EBT hingga mendekati target 25 persen pada 2025, meski masih jauh dari ideal.

Beberapa inisiatif seperti proyek PLTS terapung di Cirata, eksplorasi panas bumi di Sulawesi, serta dorongan investasi untuk kendaraan listrik (EV) menunjukkan niat melanjutkan agenda energi bersih.

Di sisi lain, tekanan global terhadap emisi karbon semakin kuat. Dunia menuntut negara-negara penghasil komoditas besar seperti Indonesia untuk segera mengubah pola produksi dan konsumsi energi. Tekanan ini bukan hanya bersifat moral, melainkan juga ekonomi, karena investor global kini lebih memilih portofolio hijau.

Dalam konteks ini, kebijakan energi Prabowo menghadapi tantangan besar bagaimana mengimbangi ambisi industrialisasi berbasis mineral kritis seperti nikel dan bauksit dengan komitmen terhadap keberlanjutan. Sebab, tanpa tata kelola lingkungan yang ketat, industrialisasi hijau justru bisa melahirkan paradoks baru ekonomi hijau yang kotor di hulu.

Namun, pada sisi optimistis, pendekatan Prabowo yang berfokus pada hilirisasi dan integrasi industri energi terbarukan bisa menjadi modal besar. Bila dilakukan dengan tata kelola yang transparan dan inklusif, strategi ini berpotensi menempatkan Indonesia sebagai pemain utama dalam rantai pasok global teknologi hijau, mulai dari baterai kendaraan listrik hingga penyimpanan energi masa depan.

Satu tahun pertama pemerintahan Prabowo sekaligus menjadi cermin antara retorika dan realitas. Dalam tataran kebijakan, pemerintah memang menegaskan kembali target net zero emission pada 2060, bahkan berupaya mempercepatnya dengan berbagai inisiatif.

Namun, di lapangan, sejumlah data menunjukkan capaian transisi energi masih berjalan lamban. Rasio elektrifikasi EBT memang meningkat, tetapi kontribusinya terhadap total produksi listrik nasional baru menyentuh sekitar 15 persen. Sementara itu, ketergantungan terhadap batu bara masih sangat tinggi, terutama karena kepentingan menjaga harga energi domestik dan stabilitas industri.

Kondisi ini mencerminkan dilema klasik di satu sisi, ada tuntutan global untuk mempercepat energi bersih di sisi lain, ada tekanan domestik untuk menjaga pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Pemerintahan Prabowo memilih pendekatan pragmatis menyeimbangkan antara keberlanjutan dan stabilitas yang dalam banyak hal justru memperlambat laju perubahan struktural di sektor energi. Subsidi untuk energi fosil masih sangat besar, bahkan meningkat untuk menjaga daya beli masyarakat. Di sisi lain, dukungan fiskal dan insentif untuk proyek-proyek energi terbarukan belum sepenuhnya kompetitif.

Dari perspektif kebijakan publik, hal ini menunjukkan bahwa transisi energi bukan semata soal teknologi, tetapi juga soal keberanian politik untuk melakukan redistribusi kebijakan. Tanpa reformasi subsidi energi yang jelas dan penataan ulang tata kelola perizinan EBT, agenda besar itu berisiko menjadi slogan tanpa transformasi nyata.

Namun, penting juga diakui bahwa pemerintah tengah menghadapi kompleksitas struktural. Pembangunan infrastruktur energi bersih membutuhkan biaya besar, teknologi canggih, serta kepastian hukum yang kuat.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Dalam konteks ini, langkah pemerintah mendorong Public-Private Partnership (PPP) dan membuka ruang investasi hijau patut diapresiasi. Meski belum optimal, kemitraan semacam ini menjadi kunci dalam membangun ekosistem energi terbarukan yang berkelanjutan.

Setahun kepemimpinan Prabowo memberi gambaran bahwa arah kebijakan energi Indonesia masih berada dalam fase transisi ganda transisi dari ketergantungan pada batu bara menuju energi terbarukan, sekaligus transisi dari paradigma pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi menuju ekonomi berkelanjutan. Dua transisi ini berjalan paralel dan saling mempengaruhi.

Ke depan, tantangan terbesar bukan sekadar membangun lebih banyak pembangkit listrik EBT, tetapi memastikan bahwa seluruh rantai nilai energi bersih menciptakan keadilan sosial dan ekonomi.

Transisi energi yang adil (just transition) menjadi prinsip utama agar masyarakat lokal, terutama di daerah tambang dan pedesaan, tidak menjadi korban dari pergeseran ekonomi. Dalam konteks ini, kebijakan energi Prabowo perlu mengintegrasikan aspek sosial dengan inovasi teknologi dan efisiensi ekonomi.

Selain itu, pemerintah harus memperkuat tata kelola kelembagaan transisi energi. Saat ini, koordinasi antar kementerian masih menjadi hambatan utama.

Tanpa desain institusional yang terintegrasi misalnya melalui badan khusus transisi energi, arah kebijakan seringkali tumpang tindih antara kepentingan investasi, lingkungan, dan fiskal. Transparansi data dan kepastian hukum juga menjadi faktor penentu dalam menarik investasi energi hijau jangka panjang.

Yang juga tak kalah penting adalah pembangunan kapasitas sumber daya manusia. Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di bidang teknologi energi terbarukan, terutama dalam riset penyimpanan energi dan sistem jaringan cerdas (smart grid). Pemerintahan Prabowo perlu menempatkan pendidikan dan riset energi hijau sebagai prioritas strategis, bukan sekadar pelengkap.

Jika pemerintah mampu menjawab tiga tantangan utama reformasi subsidi energi, tata kelola kelembagaan, dan penguatan SDM maka jalan menuju kemandirian energi bersih bukanlah utopia. Dalam konteks geopolitik Asia Tenggara, Indonesia bahkan berpotensi menjadi energy hub regional, mengekspor listrik hijau dan teknologi energi bersih ke negara tetangga.

Namun, bila langkah-langkah itu tertunda, transisi energi bisa berubah menjadi “transisi setengah hati”, di mana ambisi politik tidak sejalan dengan realitas teknis dan sosial. Dalam skenario demikian, Indonesia berisiko kehilangan momentum global, apalagi ketika negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina bergerak lebih cepat mengadopsi energi terbarukan.

Satu tahun pemerintahan Prabowo menunjukkan bahwa arah kebijakan energi nasional tengah memasuki fase ujian sesungguhnya. Ada semangat kuat untuk mempercepat transformasi menuju energi bersih, namun masih dibayangi oleh berbagai keterbatasan struktural dan politik.

Optimisme tetap perlu dijaga, terutama karena peluang besar Indonesia dalam memanfaatkan potensi surya, angin, dan panas bumi belum sepenuhnya tergarap.

Namun, keberhasilan sejati transisi energi tidak akan diukur dari banyaknya proyek yang diresmikan, melainkan dari sejauh mana kebijakan tersebut membawa perubahan nyata bagi kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam hal ini, kepemimpinan Prabowo menghadapi pilihan penting yang menjadikan energi bersih sebagai pilar utama pembangunan nasional, atau sekadar simbol dalam pidato politik.

Ujian energi bersih belum selesai justru baru dimulai. Dan satu tahun pertama pemerintahan Prabowo hanyalah bab pembuka dari perjalanan panjang menuju Indonesia yang benar-benar berdaulat dan berkelanjutan dalam mengelola sumber energinya sendiri.

Annisa Nuril Deanty. Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Srikandi Energi Indonesia.

Antara Komitmen Politik dan Realitas Lapangan

Menakar Arah Transisi Energi ke Depan

Antara Janji dan Aksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *