Ketegangan antara India dan Pakistan baru-baru ini tidak melibatkan ultimatum terbuka atau ancaman perang secara langsung. Namun, rangkaian aksi saling balas serangan, pesan-pesan tersirat, dan upaya mediasi internasional yang intensif secara perlahan memicu kekhawatiran terbesar di kawasan tersebut: perang nuklir.
Konflik dua negara tetangga ini mungkin tidak akan berujung pada perang nuklir, namun insiden baru-baru ini ini menjadi peringatan betapa cepatnya ketegangan di wilayah ini dapat memicu kemungkinan yang mengerikan itu.
Para ilmuwan pun telah membuat model yang menggambarkan betapa mudahnya situasi di sana bisa memburuk.
Sebagai contoh, sebuah penelitian pada 2019 oleh tim ilmuwan internasional memulai simulasinya dengan skenario mengerikan: serangan teroris di parlemen India pada 2025 yang memicu perang nuklir dengan Pakistan.
Enam tahun setelah penelitian tersebut, perselisihan di dunia nyata meski diredam gencatan senjata yang ditengahi AS pada Sabtu (10/05) lalu memicu kekhawatiran akan konflik besar yang mungkin terjadi dan mengingatkan betapa rapuhnya stabilitas kawasan ini.
Seiring meningkatnya krisis, Pakistan mengirimkan “sinyal ganda” dengan melakukan pembalasan serangan militer sekaligus mengumumkan pertemuan Otoritas Komando Nasional (NCA), sebuah pengingat kepada publik akan kemampuan nuklirnya.
NCA bertanggung jawab atas kendali dan potensi penggunaan senjata nuklir Pakistan.
Apakah langkah ini sekadar simbolis, bagian dari strategi, atau peringatan sesungguhnya, sulit dipastikan. Langkah ini juga bertepatan dengan laporan intervensi Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio untuk meredakan ketegangan.
Presiden AS Donald Tumrp tak hanya menjadi penengah gencatan senjata tapi juga mencegah terjadinya apa yang disebut sebagai “konflik nuklir”.
Pada Senin (12/05) dalam pidatonya, Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan: “India tak akan terintimidasi oleh ancaman nuklir.”
“Tiap tempat berlindung teroris yang beroperasi dengan dalih ini menghadapi serangan yang tepat dan tegas,” tambah Modi.
India dan Pakistan masing-masing memiliki sekitar 170 senjata nuklir, menurut lembaga riset Stockholm International Peace Research Institute (Sipri).
Hingga Januari 2024, Sipri memperkirakan ada 12.121 hulu ledak nuklir di seluruh dunia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 9.585 hulu ledak disimpan di gudang militer, 3.904 dalam kondisi aktif, atau 60 lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Adapun AS dan Rusia bersama-sama memiliki 8.000 senjata nuklir.
Menurut Christopher Clary, ahli keamanan di Universitas Albany AS, sebagian besar senjata yang dimiliki India dan Pakistan adalah rudal berbasis darat.
Namun, kedua negara ini sedang mengembangkan triad nuklir agar dapat meluncurkan hulu ledak dari darat, udara, dan laut.
“Kemungkinan besar India memiliki kekuatan udara (pesawat yang mampu membawa senjata nuklir) yang lebih besar daripada Pakistan,” ujar Clary kepada BBC.
“Meskipun kita paling sedikit tahu tentang kekuatan laut Pakistan, masuk akal untuk menilai kekuatan laut India lebih maju dan lebih mumpuni dibandingkan dengan kekuatan nuklir berbasis laut Pakistan,” lanjutnya.
Salah satu alasannya, kata Clary, adalah karena Pakistan tidak menginvestasikan “waktu atau uang” sebanyak India dalam membangun kapal selam bertenaga nuklir.
Hal ini memberikan India keunggulan “kualitatif yang jelas” dalam kemampuan nuklir maritim, menurut Clary.
Sejak uji coba senjata nuklir pada 1998, Pakistan belum pernah secara resmi mendeklarasikan kebijakan nuklir mereka.
Sebaliknya, setelah uji coba nuklirnya pada 1998, India mengadopsi kebijakan no-first use, atau tidak akan menggunakan senjata nuklir kecuali jika diserang terlebih dulu dengan senjata nuklir.
Namun, pendirian ini menunjukkan tanda-tanda melunak. Pada 2003, India mencadangkan hak untuk menggunakan senjata nuklir sebagai respons terhadap serangan kimia atau biologi yang secara efektif memungkinkan penggunaan senjata nuklir dalam kondisi tertentu.
Ketidakjelasan soal kebijakan nuklir di India semakin bertambah pada 2016 ketika Menteri Pertahanan saat itu, Manohar Parrikar, menyarankan agar India tidak merasa “terikat” oleh kebijakan tersebut, yang menimbulkan keraguan tentang keberlanjutannya dalam jangka panjang.
Parrikar kemudian mengklarifikasi bahwa itu adalah pandangan pribadinya.
Menurut Sadia Tasleem dari Carnegie Endowment for International Peace, meskipun Pakistan tidak memiliki doktrin formal, pernyataan resmi, wawancara, dan perkembangan nuklir memberikan indikasi yang jelas mengenai postur operasional nuklirnya.
Meskipun batasan pasti yang akan memicu respons nuklir Pakistan tidak diketahui, pada 2001, Khalid Kidwai, yang saat itu mengepalai Divisi Rencana Strategis NCA, mengidentifikasi empat kondisi utama yang dianggap sebagai garis merah: hilangnya wilayah yang signifikan, hancurnya aset-aset militer penting, kondisi ekonomi yang sangat tertekan, atau kekacauan politik yang parah.
Pada 2002, Presiden Pervez Musharraf menegaskan bahwa “senjata nuklir Pakistan hanya ditujukan untuk India” dan penggunaannya hanya akan terjadi jika “keberadaan Pakistan sebagai sebuah negara” terancam.
Dalam memoarnya, mantan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menulis bahwa dia terbangun tengah malam untuk berbicara dengan “rekannya India” yang tidak disebutkan namanya, yang khawatir Pakistan sedang bersiap menggunakan senjata nuklir selama ketegangan dengan India pada 2019 silam.
Hampir bersamaan, media Pakistan mengutip seorang pejabat tinggi yang menyampaikan peringatan keras kepada India: “Saya harap Anda mengerti apa arti [Otoritas Komando Nasional] dan apa saja wewenangnya. Saya katakan bahwa kami akan memberikan kejutan kepada Anda. Tunggu kejutan itu… Anda telah memilih jalan perang tanpa menyadari konsekuensinya bagi perdamaian dan keamanan kawasan.”
Selama Perang Kargil pada 1999, Menteri Luar Negeri Pakistan saat itu, Shamshad Ahmed, memperingatkan bahwa negaranya tidak akan “ragu menggunakan senjata apa pun” untuk mempertahankan wilayahnya.
Beberapa tahun kemudian, seorang pejabat AS bernama Bruce Riedel bilang intelijen mengindikasikan Pakistan sedang menyiapkan senjata nuklirnya untuk kemungkinan digunakan.
Tentara India berpatroli di tepi kawah, lokasi uji coba nuklir bawah tanah pada bulan Mei 1998 (AFP via Getty Images)
Meskipun demikian, ada keraguan dari kedua belah pihak mengenai klaim-klaim tersebut.
Mantan Komisaris Tinggi India untuk Pakistan, Ajay Bisaria, menulis dalam memoarnya bahwa Pompeo melebih-lebihkan risiko peningkatan nuklir dan peran AS dalam meredakan konflik pada 2019.
Sementara itu, seorang analis Pakistan berpendapat bahwa selama Perang Kargil, Pakistan “tahu bahwa Angkatan Udara India tidak akan melintasi wilayahnya” sehingga tidak ada pemicu nyata adanya ancaman nuklir.
Menurut Ejaz Haider, seorang analis pertahanan di Lahore, “Sinyal strategis mengingatkan dunia bahwa setiap konflik berpotensi meningkat dan dalam kasus India dan Pakistan, risikonya lebih besar karena adanya ancaman nuklir.”
“Namun, ini bukan berarti bahwa kedua negara secara aktif mengancam menggunakan senjata nuklir.”
Namun eskalasi konflik nuklir bisa terjadi secara tidak sengaja.
“Hal ini bisa terjadi karena kesalahan manusia, peretas, teroris, kegagalan komputer, data satelit yang keliru, dan pemimpin yang tidak stabil,” kata Profesor Alan Robock dari Universitas Rutgers.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Pada Maret 2022, India secara tidak sengaja menembakkan rudal jelajah yang memiliki kemampuan nuklir ke wilayah Pakistan, dan dilaporkan merusak properti sipil.
Para ahli menyatakan bahwa Pakistan menuduh India tidak memanfaatkan saluran komunikasi militer atau mengeluarkan pernyataan publik selama dua hari.
Kelalaian ini, jika terjadi saat ketegangan meningkat, berpotensi mengubah insiden menjadi konflik yang serius.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah India memberhentikan tiga perwira angkatan udara terkait “peluncuran rudal yang tidak disengaja”.
Namun, bahaya perang nuklir tetap “relatif kecil” antara India dan Pakistan, menurut Clary.
“Selama tidak ada pertempuran darat yang besar di sepanjang perbatasan, risiko penggunaan nuklir tetap relatif kecil dan dapat dikelola,” ujarnya.
“Dalam pertempuran darat, dilema ‘gunakan atau lenyapkan’ muncul karena adanya risiko posisi darat Anda direbut musuh.”
‘Gunakan atau lenyapkan’ mengacu pada tekanan yang mungkin dirasakan oleh negara pemilik senjata nuklir untuk meluncurkan senjatanya sebelum musuh menyerang dengan senjata nuklir mereka.
Sumit Ganguly, peneliti senior di Hoover Institution Universitas Stanford, meyakini “baik India maupun Pakistan tidak ingin dicap sebagai pelanggar pertama tabu nuklir pasca-Hiroshima”.
“Lebih jauh lagi, pihak mana pun yang menggunakan senjata nuklir akan menghadapi pembalasan besar-besaran dan menderita kerugian,” kata Ganguly kepada BBC.
Di sisi lain, baik India maupun Pakistan tampaknya sedang meningkatkan kemampuan persenjataan nuklir mereka.
Menurut The Nuclear Notebook, yang diteliti oleh Nuclear Information Project dari Federasi Ilmuwan Amerika, dengan sistem pengiriman baru yang sedang dikembangkan, empat reaktor plutonium, dan perluasan pengayaan uranium, potensi persenjataan nuklir Pakistan dapat mencapai sekitar 200 hulu ledak pada akhir dekade 2020-an.
Sementara itu, pada awal 2023, International Panel on Fissile Materials memperkirakan India memiliki sekitar 680 kg plutonium tingkat senjata, yang cukup untuk sekitar 130-210 hulu ledak nuklir.
Walau kerap terjadi krisis dan situasi yang hampir mengarah pada konflik nuklir, kedua negara sejauh ini berhasil menghindarinya.
Analis di Islamabad, Umer Farooq, menulis bahwa “Faktor pencegahan masih berlaku. Apa yang dilakukan Pakistan hanyalah merespons serangan konvensional dengan serangan balasan konvensional mereka sendiri.”
Kendati demikian, keberadaan senjata nuklir terus-menerus menciptakan risiko laten yang tidak dapat sepenuhnya diabaikan, terlepas dari seberapa berpengalaman para pemimpin atau seberapa terkendalinya niat mereka.
“Ketika senjata nuklir berpotensi terlibat, selalu ada tingkat bahaya yang tidak dapat ditolerir,” kata John Erath, direktur kebijakan senior di organisasi nirlaba Center for Arms Control and Non-Proliferation, kepada BBC.
“Pemerintah India dan Pakistan telah berhasil melewati situasi-situasi seperti ini pada masa lalu, jadi risikonya kecil. Namun, dengan senjata nuklir, bahkan risiko kecil pun terlalu besar.”