Kejar tayang pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus mengalami eskalasi. Di samping pengesahannya yang harus menyelaraskan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, sejumlah norma pun masih dilakukan pengayaan karena menuai kontroversi dari publik.
Salah satu poin kritis dari draf terkini RUU KUHAP adalah ketentuan mengenai mekanisme praperadilan. Status quo praperadilan mengandung senarai masalah, mulai dari prosesnya yang baru dapat dilakukan setelah pelanggaran prosedur upaya paksa (post factum), hanya memeriksa hal formil, hingga proses pemeriksaannya yang hanya berlangsung 7 hari dan akan gugur dalam hal perkara pokoknya sudah mulai diperiksa.
Kondisi tersebut melahirkan suatu hipotesa bahwa perlu adanya mekanisme yang lebih dari praperadilan guna menjamin akuntabilitas upaya paksa.
Pembentuk undang-undang tetap perlu berpedoman pada Pasal 9 ayat (3) ICCPR yang menyatakan bahwa setiap orang yang ditahan termasuk yang dikenakan upaya paksa lainnya harus dihadapkan segera ke hadapan hakim.
Ketentuan tersebut sudah sepatutnya dimaknai sebagai landasan untuk menempatkan pengawasan hakim guna memastikan pelaksanaan upaya paksa yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Pada RUU KUHAP, semua jenis upaya paksa merupakan objek praperadilan. Namun jika melihat Pasal 149 ayat (1) huruf a justru berbunyi, “Upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk dalam objek praperadilan”.
Ketentuan pada Pasal tersebut justru mereduksi seluruh objek praperadilan yang telah ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 (“Putusan 21”).
Sekilas dalam Putusan 21, MK secara legal-formal memutus polemik penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan. Dalam putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
MK beranggapan KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai batasan jumlah alat bukti dari ketiga frasa tersebut. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30/2002 yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal 2 alat bukti.
Ketiga frasa tersebut dalam KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).
Sementara dalam pranata praperadilan, meski dibatasi secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang terbuka kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang oleh penyidik yang termasuk dalam perampasan HAM.
Kemudian timbul suatu pertanyaan, bagaimana jika kalau ada yang salah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka?
Secara konseptual, tidak masuknya penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan tidaklah salah secara mutlak, mengingat KUHP yang dianut oleh Indonesia menganut due process model. Negara-negara yang menganut konsep demikian sudah menolak konstruksi pemikiran memasukkan penetapan tersangka sebagai bagian dari ruang lingkup praperadilan.
Dalam Putusan 21, Hakim Gede Palguna beranggapan tidak dimasukannya penetapan tersangka tidak dapat dipersalahkan menurut hukum internasional (internationally wrongful act) yang dapat dijadikan dasar menuntut adanya tanggung jawab negara (state responsibility).
Substansi Pasal 77 huruf a KUHAP sesungguhnya pun identik dengan Pasal 9 ICCPR, sehingga Indonesia hakikatnya telah mengatur substansi perlindungan terhadap HAM.
Selain itu, Hakim Aswanto pun menambahkan bahwa memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan bukanlah persoalan penafsiran. Sebab jika dicermati, tiada frasa dalam Pasal 77 huruf a KUHAP yang dapat dimaknai sebagai penerapan tersangka.
Memasukkan penetapan tersangka adalah membuat norma baru yang bukan kewenangan dari MK. Oleh karenanya, tidak diaturnya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam Pasal a quo tidak menjadikan ketentuan tersebut inkonstitusional.
Pengaturan upaya paksa dalam RUU KUHAP cenderung bermasalah, khususnya terkait penangkapan. Permasalahan pertama terlihat dalam Pasal 89 tentang syarat penangkapan yang tidak harus didasarkan pada izin pengadilan. Padahal sejatinya penangkapan harus didasarkan pada izin pengadilan, terkecuali dalam keadaan tertangkap tangan.
Kemudian, dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP, penangkapan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas pada keadaan tertentu. Pada bagian Penjelasan, disebutkan salah satu contoh keadaan tertentu yaitu jika jarak antara tempat tersangka dengan kantor penyidik terdekat memiliki waktu tempuh lebih dari sehari. Dengan penormaan demikian, tiada jaminan bahwa pembatasan hanya terkait dengan kondisi tersebut. Terlebih lagi, RUU KUHAP tidak mengatur adanya kewajiban untuk menghadapkan secara fisik diri tersangka ke hadapan hakim.
Melihat standar internasional, penangkapan hanya dapat dilakukan 48 jam dan setelahnya harus dihadapkan kepada hakim secara fisik untuk diuji apakah penangkapan yang dilakukan sesuai prosedur atau tidak.
Pada Pasal 90 ayat (3) RUU KUHAP, diatur batasan waktu penangkapan sehari dan dapat diperpanjang tanpa batasan hari selama dihitung sebagai masa penahanan. Hal tersebut bermasalah, pasalnya penangkapan dan penahanan memiliki tujuan yang berbeda. Terlebih, RUU KUHAP tidak memberi kewajiban pihak yang ditangkap harus dihadapkan ke hakim.
Di sisi lain, RUU KUHAP pun tidak jelas mengatur perbedaan syarat 2 alat bukti dalam penetapan tersangka dan dalam penangkapan. Masing-masing upaya tersebut harus didasarkan pada bukti yang spesifik, bukan kemudian 2 alat bukti yang digunakan dalam penetapan tersangka serta merta dapat digunakan dalam upaya lain.
Berkaitan dengan penahanan, syaratnya diatur dalam Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP dengan daftar alasan penahanan yang lebih banyak dari KUHAP. Meskipun demikian, alasan penahanan dalam RUU KUHAP cenderung elastis, antara lain mencakup memberikan informasi yang tidak sesuai fakta saat pemeriksaan, tidak bekerja sama dalam pemeriksaan, dan menghambat proses pemeriksaan.
Alasan penahanan berupa memberikan informasi yang tidak sesuai fakta saat pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum acara pidana yang memberikan hak ingkar bagi tersangka. Hal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penahanan yang seharusnya berdasarkan keadaan objektif-jika penahanan tidak dilakukan, proses pemeriksaan akan terhambat.
Kriteria pemenuhan tindakan-tindakan sebagai alasan penahanan dalam RUU KUHAP pun tidak ditentukan. Padahal, salah satu permasalahan utama dalam praktik penahanan adalah tidak adanya standar yang jelas.
Adapun penggeledahan yang diatur dalam Pasal 105 huruf e RUU KUHAP, khususnya terkait penggeledahan informasi elektronik cenderung tidak jelas. Pada dasarnya, penggeledahan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan bukti elektronik berupa data atau informasi yang tersimpan di dalam suatu perangkat elektronik.
Namun, guna mengakses bukti elektronik tersebut, maka penggeledahan bukan dilakukan terhadap data atau informasi, melainkan terhadap perangkat elektroniknya.
Selanjutnya terdapat frasa “keadaan mendesak” pada Pasal 106 ayat (4) RUU KUHAP terkait penggeledahan. Seharusnya frasa tersebut diuraikan dalam norma pasal, bukan hanya dijelaskan dalam Penjelasan. Hal tersebut guna membedakan “keadaan mendesak” yang dimaksud dalam setiap upaya paksa.
Setidaknya keadaan mendesak perlu memuat bukti bahwa perkara yang sedang berjalan berada di tempat yang sedang atau dapat bergerak, terdapat ancaman keselamatan, terdapat kekhawatiran bahwa seseorang akan menghilangkan bukti, atau bukti dapat terlihat dengan jelas berdasarkan penglihatan normal berada di tempat yang akan digeledah.
Ketidakjelasan indikator keadaan mendesak juga terlihat dalam Pasal 112 ayat (2) RUU KUHAP. Pasal a quo tidak mengatur jangka waktu pemberitahuan kepada pengadilan apabila penyitaan dilakukan dalam keadaan mendesak.
Seharusnya pemberitahuan harus dilakukan sehari setelah penyitaan itu dilaksanakan guna menjamin kesegeraan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya pengaturan terkait penolakan izin penyitaan, akan berimplikasi pada barang yang telah disita dan mekanisme pengembalian barang tersebut.
Selanjutnya terkait dengan penyadapan, idealnya hanya dapat dilakukan untuk kondisi pengecualian ketika semua upaya yang memungkinkan terjadinya pengumpulan fakta tidak dapat terungkap. RUU KUHAP tidak mengatur pembatasan tindak pidana apa saja yang dapat diungkap melalui penyadapan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud seharusnya terbatas pada beberapa kategori yang mengindikasikan adanya tingkat keseriusan dan kerumitan dalam pengungkapannya, seperti tindak pidana perdagangan orang, penyeludupan, pencucian uang, korupsi, terorisme, keimigrasian, dan lainnya.
Selain itu, pengaturan terkait mekanisme pemberitahuan penyadapan juga memiliki urgensi untuk diatur. Tujuannya adalah agar individu yang menjadi target penyadapan dapat memperoleh akses untuk mendapatkan hak mereka, termasuk pengembalian data atau informasi, jaminan penghapusan data hasil penyadapan, dan pemberian ganti rugi.
Muhammad Daffa Alfandy. Junior Associate Lawyer at Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC).